image by hamptonthink.org

Feminis Marxis adalah salah satu cabang feminisme dari banyaknya feminisme yang ada. Semua ini didasari oleh teori kelas yang dipopulerkan oleh Karl Marx. Dimana Karl Marx memandang masyarakat sebagai sekat-sekat kelas yang saling terhubung. Kelas atas bernama borjuis, mereka memiliki akses terhadap alat produksi dan modal, yang nantinya akan menjadi senjata daripada kaum borjuis. Sedangkan kelas bawah bernama proletar, mereka tidak memiliki akses terhadap modal serta alat produksi, yang nantinya akan menjadi budak borjuis.

Feminis Marxis mempunyai dua gelombang dalam kemunculannya, yaitu di Amerika Serikat oleh tokoh kunci bernama Charlotte Gilman, dia menulis buku yang berjudul Women and Economics pada tahun 1898. Dan gelombang kedua perkembangannya, berada di Eropa. Perkembangan di Eropa ditengarai oleh dua tokoh kunci, yang pertama ada Alexandra Kollontai, dia adalah salah satu perempuan yang ada di jajaran petinggi partai Bolshevik, setidaknya Kollontai berpengaruh besar pada pandangan Lenin terhadap perempuan dan kelas sosial. Dan yang kedua ada Clara Zetkin, dia adalah salah satu pembesar Partai Sosialis Demokrat Jerman pada awal 1900-an. Dia berfokus pada kelas dan perempuan, bukan hanya sekedar kelas saja, seperti teoritisi marxis pada umumnya.

Feminis Marxis dapat hadir saat itu, karena untuk menjawab tesis feminis liberal yang saat itu masih menjadi ideologi feminis yang paling dianggap benar. Salah satu kritik feminis marxis adalah untuk membantah klaim liberalisme, bahwa kesetaraan gender hanya dapat dicapai dengan membebaskan hak-hak individu untuk melakukan apapun. Dalam artian, negara ataupun masyarakat harus mampu membebaskan individu-individunya untuk berekspresi apapun, laki-laki ataupun perempuan, asalkan tidak melanggar kebebasan individu yang lain.

Oleh Karena itu, Feminis Marxis berusaha mengkritik ide-ide kaum liberal, yang seolah-olah masalah ketimpangan gender akan selesai jika wacana “Emansipasi Wanita” telah dilaksanakan.

Misalnya kita ambil contoh untuk kasus tersebut dalam konteks di Indonesia. Bahwa peraturan di Indonesia mengharuskan perempuan menempati parlemen, setidaknya 30% dari total bangku yang ada. Dan pada tahun 2019, KPU mencatat telah ada 20% perempuan yang berada di Parlemen. Tentunya 30% adalah batas ideal yang diperlukan, tetapi grafik terus meningkat setiap pemilu diadakan, dan diharapkan ada 25% perempuan pada pemilu 2024 mendatang.

Hal itu dalam konteks politik, lalu bagaimana dalam konteks pendidikan? Tentunya dalam konteks pendidikan, perempuan dapat pergi ke sekolah sudah menjadi hal yang umum dimana-mana, tidak ada berita yang kita dengar untuk saat ini, hanya laki-laki saja yang boleh sekolah, perempuan tidak boleh. Bahkan kita banyak menemukan perempuan-perempuan yang berhasil hingga menjadi profesor. Hal ini menandakan, bahwa akses terhadap pendidikan, tidak memandang gender lagi.

Begitu juga dengan hak-hak perempuan dalam konteks sosial, pekerjaan, dan lain-lainnya. Bahwa pencapaian itu hanya bisa terjadi akibat ide-ide liberatif. Dimana semua orang mempunyai hak-hak yang sama dimata hukum.

Tetapi apakah semuanya benar? tentang apa yang saya sampaikan sebelumnya. Apakah tidak ada yang janggal? Beginilah jawaban Feminis Marxis.

Bahwa benar saja kebebasan politik untuk perempuan telah diusahakan, bahwa benar saja kebebasan pendidikan untuk perempuan telah diusungkan, bahwa benar saja kebebasan sosial untuk perempuan telah digaungkan, bahwa benar saja kebebasan pekerjaan untuk perempuan telah diutarakan. Tapi pertanyaannya hanya satu, perempuan yang mana?

20% perempuan di Parlemen, apakah mereka dari kelas-kelas bawah yang miskin atau jangan-jangan mereka anak para pengusaha kaya dan juga pejabat? Lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan yang jadi profesor, apakah kebanyakan mereka dari orang-orang miskin, atau jangan-jangan mereka anak daripada rektor? Lalu bagaimana dengan para perempuan yang bekerja hingga malam, bukannya stigma buruk tentang pekerjaan malam hanya ada pada perempuan kelas bawah? Padahal perempuan kelas atas juga melakukan pekerjaan malam.

Itulah keresahan para feminis marxis terhadap kaum liberal, bahwa kebebasan diatas kertas undang-undang tidaklah cukup. Karena yang akan mendapatkan akses kepada ruang prestasi, tetaplah perempuan-perempuan pemilik modal.

Bukankah itu sama saja dengan zaman feodal dulu? dimana perempuan pun juga pernah menjabat jadi ratu atau penguasa, bukankah perempuan yang memiliki akses politik dan pendidikan juga telah ada dari dulu? yaitu perempuan-perempuan bangsawan. Lalu apa yang diperjuangkan para kaum liberal?

Inilah pondasi dasar dari feminis marxis, mereka tidak peduli dengan ketimpangan gender yang ada, karena ketimpangan gender hanyalah ilusi belaka, yang nyata hanyalah ketimpangan kelas sosial. Jika setiap orang mempunyai kelas sosial yang sama, maka kesetaraan gender pun akan mengikuti.

Bahwa Kaum Marxis sedari awal telah menyadari, bahwa akar dari segala penindasan adalah ketimpangan kelas, bukan ras, gender, sex, suku, ataupun yang lainnya. Kita tidak akan pernah mendapati dunia yang setara, yang didalamnya ada banyak suku, gender, sex, ras untuk hidup dalam damai, jika mereka dipisahkan oleh sekat-sekat kelas.

Feminis marxis pada akhirnya menentang keras wacana “Emansipasi Wanita” kaum liberal. Bahwa yang akan emansipasi, ialah perempuan-perempuan anak orang kaya saja, sedangkan perempuan-perempuan miskin, tetap berada pada kemiskinan yang memperihatinkan. Sehingga ini bukan tentang membebaskan seluruh individu dengan bebas, lalu membiarkannya bersaing satu sama lain atas nama pasar bebas, tentu saja itu tidak adil. Dalam kehidupan yang nyata, persaingan bebas hanya akan menyingkirkan kelas-kelas bawah untuk semakin terpinggikan, dan makin membuat kelas-kelas atas semakin kaya.