image by editoraunesp.com.br

Sesuai misi amanah yang dibawa oleh Nabi Muhammad.SAW dengan diutusnya di bumi adalah untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Diciptakan dari saripati tanah (QS: Al- Mukminun:12), manusia seharusnya tidak berperilaku seperti binatang meskipun terkadang perilakunya menyerupai sifat binatang. Apapun yang dilakukan manusia akan berakibat pada dampak dari tindakan yang dilakukannya. Namun manusia mempunya tindakan yang khas agar distingsi diri manusia dengan binatang bisa jelas,mana yang tindakan manusia dan mana tindakan yang biasa dilakukan oleh binatang. Jika tidak dibedakan, tindakan tersebut bisa jadi identitas manusia pada akhirnya sama dengan binatang yang hanya manusia adalah jenis spesies binatang yang diberi akal dalam kepalanya (Animal Rational).

Tindakan dapat mencapai taraf nilai moral yang hakiki jika terlepas dari efek kebahagian, kesedihan, bahkan untung dan rugi serta keinginan lain yang dicapai oleh manusia. Menurut Immanuel Kant, kebahagian sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan moralitas. Melainkan seberapa hormat atau patuh manusia terhadap kewajiban yang mengikat pada hukum moral tersebut. Sesuai dengan apa yang dikatakan ibunya pada Kant ketika ia masih kecil bahwa terdapat hukum moral dalam diri manusia.

Etika Deontologi (Deontological-Ethics) Immanuel Kant

Dalam teori filsafat ada tiga macam klasifikasi etika, yaitu etika hedonistik, utilitarian, dan deontologi. Etika Immanuel Kant dikategorikan etika deontologi. Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep etika deontologi agar lebih mudahnya kita memahami apa definisi antara etika dan moralitas. Karena keduanya biasa diartikan sama padahal memiliki definisi yang berbeda. Tindakan yang mengharuskan kita untuk berlaku baik itu bukan etika melainkan ajaran moral yang menuntut kita harus patuh terhadapnya. Sedangkan etika dipakai untuk menyebut ilmu dan prinsip-prinsip dasar penilaian baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Etika sendiri merupakan filsafat moral yang objek materialnya adalah tindakan manusia sebagai manusia.

Etika deontologi menekankan bahwa tindakan moral manusia bisa dikatakan baik apabila berawal dari kehendak baik seseorang sejalan dengan prinsip kewajiban yang mengikatnya. Dalam etika deontologi tindakan seorang manusia sama sekali tidak ada kaitannya dengan dampak dari akibat tindakan tersebut dilakukan, entah outputnya membawa kebahagian, kesedihan, atau faktor lain yang mempengaruhi dari adanya tindakan tersebut dilakukan oleh manusia. Esensi dari tindakan moral ini menitikberatkan pada kehendak baik manusia karena ada kewajiban yang mengikat didalam dirinya untuk mengharuskan melakukan tindakan tersebut.

Menurut Immanuel Kant, seseorang bisa dikatakan baik jika tindakan yang dilakukannya hanya semata-mata karena dia memenuhi kewajiban (tanggung jawab). Adapun bunyi kaidah dari teori etika deontologi sebagai berikut: “Benar salahnya suatu tindakan tidak tergantung dari apakah tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, tetapi apakah kaidah yang mendasari tindakan tersebut dapat sekaligus dikehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum atau tidak”. Dengan kata lain, apakah tindakan tersebut sesuai dengan hukum moral atau tidak, karena hukum moral adalah hukum yang mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional.

Manusia akan bersikap moral jika dia taat pada kewajiban hukum moralnya. Bisa dipastikan, perbuatan apapun yg dilakukan manusia berawal dari kehendak baik yang taat pada hukum moral pada dirinya. Kemudian dari bunyi kaidah diatas akan muncul sebuah pertanyaan, apa yang mendasari dari adanya kehendak menjadi baik?. Menurut Immanuel Kant kehendak akan menjadi baik kalau perbuatan yang dilakukan atas dasar kewajiban dan memang tidak ada motif terselubung lain yang menjadi tujuan dari seseorang melakukan perbuatan tersebut. Jika seorang manusia melakukan perbuatan kepada manusia lainnya masih ada maksud lain maka perbuatannya tidak bisa dikatakan baik.

Dari adanya kehendak baik (Good Will) merupakan kebaikan yang pasti tanpa syarat dalam kondisi dan situasi apapun. Manusia yang baik akan menguasai kehendak baiknya dan mampu mengikuti hukum moral. Kalau pun manusia berniat atau berkehendak jelek dengan motif baik itu tetap tidak bisa disebut baik. Dinamakan kehendak baik, apabila manusia memang bersih hanya kebaikan yang dia lakukan dan kewajiban apa yang harus dia lakukan dengan mentaati hukum moral yang mengikat pada dirinya.

Adapun praksis dari etika deontologi Immanuel Kant biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari, hanya saja kita yang terkadang mengabaikannya dan cenderung memikirkan timbal balik dari apa yang sudah kita lakukan. Diantara salah satu contohnya, seorang akademisi yang ingin memiliki wawasan pengetahuan yang luas maka ia harus memperbanyak baca buku. Narasi contoh ini mengandung perintah suatu tindakan baik dalam arti tertentu yaitu “memperbanyak baca buku” sebagai sarana untuk nantinya memiliki pengetahuan yang luas. Padahal nilai moral yang terdapat pada contoh itu, tidak seharusnya seorang akademisi tersebut memiliki alasan (motif) lain dari aktivitas membaca buku yang memang sudah keharusan seorang akademisi dan tindakan itu baik. Bisa dibilang “kenapa seorang akademisi harus banyak baca buku, ya, karena itu baik, dan itu sudah keharusan (kewajiban) seorang akademisi ”.

Esensi etika deontologi sendiri jika ditarik ke belakang bisa dilihat dari seseorang berkehendak baik atau niat awalnya melakukan suatu perbuatan/tindakan yang memang tidak ada tujuan (motif) lain. Perbuatan moral ini didahului kehendak baik manusia dan kehendak baiknya karena ada kewajiban (hukum moral) yang mengikat pada dirinya untuk mengharuskan melakukan perbuatan tersebut dengan tanpa mempertimbangkan apapun konsekuensi dari apa yang sudah manusia lakukan.

Klasifikasi Imperatif Etika Deontologi

Untuk lebih memperdalam memahami tentang etika deontologi, Immanuel Kant mengklasifikasikan ada dua jenis imperatif dari teori etika deontologi yang merupakan ruh teori etikanya. Imperatif berarti suatu hal yang bersifat perintah atau keharusan dan larangan untuk melakukan suatu perbuatan. Adapun klasifikasi imperatif etika deontologi Immanuel Kant; Imperatif hipotesis dan imperatif kategoris. Pertama, imperatif hipotesis adalah suatu perintah perbuatan yang mana di awal atau di akhir, baik di syarat awal maupun di tujuan akhirnya. Seseorang akan melakukan suatu perbuatan jika ada imbalannya entah berwujud materi atau immateri.

Jadi seperti ada suatu prasyarat yang mengharuskan seseorang mencapai keinginannya atau hal-hal yang membuat seseorang dengan melakukan perbuatan, tindakan, amaliyah, nantinya seseorang tersebut akan mendapatkan keinginan feedbacknya, meskipun feedback yang diterima terkadang belum pasti hal yang bersifat manis. Misalnya, mahasiswa yang ingin mendapat nilai cumlaude, maka harus rajin belajar. Perintah ini memberikan suatu tindakan baik melalui “rajin belajar” sebagai instrumen untuk tujuan (motif) tertentu berupa “ingin mendapat nilai cumlaude”.

Sedangkan yang Kedua, imperatif kategoris adalah suatu perintah yang memang bersih dari berbagai prasyarat keinginan seseorang yang hanya menguntungkan pribadi, dan bentuk tindakan atau perbuatan yang sudah seharusnya seseorang itu melakukan hal tersebut tanpa diselubungi motif lain. Imperatif kategoris ini merupakan perintah yang berpondasi pada kepekaan kesadaran pribadi dan keinginan kehendak baik dari hati nurani seseorang terhadap keharusan objek.

Menurut Kant, bahwa seseorang dengan melakukan suatu tindakan imperatif kategoris, bisa membawa seseorang tersebut pada hierarki tertinggi dari moralitas. Sebagai contoh, apabila seorang akademisi telah melihat sampah yang berserakan dikelas kuliah atau diruang diskusinya dan itu jelas mengganggu pandangan konsentrasi belajar, karena melihat hal yang demikian, melalui kehendak baik hati nuraninya, akademisi tersebut langsung membersihkan sampah yang berserakan tanpa ada tambahan niat motif lain, entah ada wacana biar dipuji dosennya, diklaim si paling bersih sama temannya itu semua bukan urusannya. Nilai moral yang dapat diambil dari tindakan akademisi tersebut yaitu semata-mata karena tindakan itu baik. Menurut hemat penulis, kode etik imperatif kategoris bisa dilantangkan “apa yang seharusnya seseorang lakukan terhadap suatu tindakan kebaikan, tanpa embel- embel motif apapun”.

Dapat disimpulkan bahwa etika deontologi Immanuel Kant terdapat dua imperatif yang memiliki kriteria dimasing-masing imperatifnya, namun patut dipahami bahwa perbuatan moral seseorang dinilai bukan dari seberapa tindakan tersebut dapat mencapai tujuan tertentu dan mementingkan nasib keberuntungan melainkan memang perbuatan/tindakan atas dasar perintah moral mutlak yang keluar dari kehendak baik hati nurani seseorang.

Sumber:

Strathern, P. (2001). 90 Menit Bersama Kant (terj. Frans Kowa). Jakarta: Erlangga

Abdullah, M. A. (2020). Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghozali dan Kant. Yogyakarta: Iscisod

Sudarminta, J. (2019), Etika Umum; Kajian tentang Berbagai Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius

Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta: Kanisius

Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik, edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama