Illustration by Louise Mézel via babbel.com

Sementara bahasa, yang oleh sebab hanya ia bahasa, boleh jadi dilewati begitu saja, tanpa makna. Tentu jua berarti tak menyisakan ubahnya sikap (alih-bentuk), dan betapapun hal-hal tak ada yang perlu dipaksa, mungkin juga dengan kita yang tak usah bersusah-susah hanyut untuk memahami makna. Barangkali kapan waktu, biarlah bahasa sendiri yang kan membuatnya mengerti atau, sesuatu yang lain terjadi.

Tapi adakah arti penting bahasa? tentu manusia hampir usai melalukan apa saja dan bagaimana semisal tak ada bahasa? Bukannya keadaan (semacam) kini dan disini cukup sukar untuk terjadi, bahwa takkan mungkin ada sesuatu yang dapat dipelajari; apa itu masa lalu? Bagaimana asal-usul umat manusia dan kemenangannya atas alam? Sebagai satu pertanyaan-pernyataan pengantar dari sekian pilihan. Kita telah berhutang pada bahasa.

Noam Chomsky, ahli bahasa, di hari yang telah lama berlalu memberikan pengantar menarik tentang bahasa, yang barang mungkin pada bahasa ia sekaligus bertutur kasih. Ia menulis: “Beberapa mutasi random terjadi, mungkin setelah hujan cahaya kosmik aneh, dan menyebabkan reorganisasi pada otak, menanam sebuah organ bahasa dalam otak primata.”

Sedang bagaimana sesuatu dimulai. Arus utama peradaban manusia adalah bahasa, yang unik yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang ditemukan di antara selain manusia, hingga, kemampuannya menggunakan bahasa dan berpikir lalu menegaskan perbedaanya dengan makhluk yang lain darinya.

Barang tentu, bahasa yang secara sederhana menjadi cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas, telah mengakomodasi sembarang upaya manusia untuk membawa perubahan ke arah kemajuan, yang sedikitnya pada kesadaran diri dan akal yang lebih besar. Tidak ada pintu masuk kedalam pengetahuan kecuali melalui bahasa dan tatanan representasinya. Sebab tak satupun hal terlepas dari bahasa, banyak lagi hal yang bisa ditulis untuknya. Tetapi mari kita beranjak lebih maju dan menanyakan apa itu bahasa?

Bahasa: Sebuah Perkenalan

Apa itu bahasa? Apakah ia berarti sebagaimana dipikirkan oleh banyak orang sebagai alat komunikasi yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan dari hasil ucapan manusia. Memang hampir kelihatannya tidak salah. Kita juga tak perlu menolak untuk itu. Bahasa hanya perlu dipahami sebagai suatu interaksi bunyi dan makna.

Bahasa, yang mulanya adalah bicara atau isyarat (boleh anggukan kepala, gerakan tangan, dan yang tidak ada kebohongan didalamnya) kemudian disandingkan dengan media lain menggunakan stimulus visual, yang berarti goresan, lukisan, tulisan dan sejenisnya. Dari sinilah dimulainya simbol yang digunakan untuk membentuk urutan, yang dikenal dengan kata; bagaimana kata digabungkan menjadi frasa dan penyebutan, sesuai dengan meningkatnya volume otak kala itu.

Roland Barthes lalu dengan baik menuliskan keadaan ini, bahwa: Bahasa tidak akan pernah eksis kecuali di dalam “massa yang bertutur-kata”; orang tidak bisa meng-handle tuturan kecuali dengan mengungkapkannya ke dalam bahasa. Sebaliknya, bahasa hanya mungkin mulai dari tuturan: secara historis, fenomena tuturan selalu mendahului fenomena bahasa (tuturanlah yang menyebabkan bahasa ada), secara genetik, bahasa dibentuk di dalam diri seorang individu karena bahasa adalah pelajaran yang diambil dari lingkungan yang bertutur-kata.

Di satu sisi, asumsi Barthes itu, yang selain menunjukkan tutur/bicara mendahului lukisan dan menggambarkan ke-masif-an tutur, turut juga memperlihatkan hubungan ketergantungan simbol pada bicara, dan sebaliknya. Sedangkan Jean-Jacques Rousseau, memandang tulisan sebagai pelengkap bahasa, keberadaannya hanya bersifat sekunder, persis sebagaimana tuturan itu sendiri terlepas dari apa yang dia ungkapkan (yang terungkap).

Dan bahasa, -yang diantaranya tak dapat dipisahkan dari simbol, tuturan, dan tulisan- barangkali hanya dapat kita kenali dalam sifatnya. Lihatlah disatu tempat yang bersejarah dimana terdapat sisa-sisa prasasti dan semakin beragam bekas (aksara) peninggalan kehidupan masa lalu, maka semakin tak dapat kita menyangkal satu kesimpulan yang pasti bahwa bahasa memiliki sifat produktif, yang selain berkembang untuk dirinya, bahasa, juga berkembang melayani fungsi sosial.

Oleh karena sifatnya yang produktif, bisa dikatakan, dalam keberadaan hidup yang selanjutnya bahasa mampu meleburkan dirinya dalam logika dan dunia nyata untuk menyampaikan, memproses, dan menetapkan makna dalam sebuah konsep (juga kata) dan makna dalam sebuah konteks. Sewaktu dimana bahasa mulai mengekspresikan berbagai hubungan dengan kenyataan atau kebenaran, sebagai keterangan yang menyatakan sikap terhadap perbuatan, keadaan, dan peristiwa. Maka bertambahlah pengetahuan manusia tentang keadaan, perbuatan dan peristiwa.

Bahasa dalam Periodisasi Filsafat

Sementara itu. Filsafat yang dengan senang hati meragukan segalanya, lalu bertanya tentang apa itu kenyataan, apa itu penampakan lahiriyah, dan apa yang berarti, pada akhirnya tak bergeser dari kemauan menemukan kebenaran ideal, yang padahal, kebenaran ideal masih selalu dalam proses becoming. Suatu periodeisasi yang juga akan dilalui bahasa untuk menentukan makna, dimana bahasa yang semakin berkembang juga bergerak untuk menemukan makna sebenarnya (sebagai kebenaran tunggal). Pada titik inilah antara filsafat dan bahasa lalu menjumpai hal yang sama, sebut saja, masalahnya.

Masalahnya, bagaimana bisa satu bahasa pada saat yang bersamaan menjadi sumber pengetahuan yang pasti, sekaligus menjadi sumber yang tak dapat dipercaya? Yang bahwa, dalam keraguan sebelumnya, bukan massa yang bertutur-kata yang melahirkan bahasa, melainkan, bahasa dan sejarah telah mendahului manusia tetapi sirna dan tertimbun begitu saja. Bahwa, manusia lahir tatkala sejarah dan bahasa yang telah ada sebelumnya memutuskan penggunaannya. Beruntung manusia kembali dapat hidup, menghidupi dan dihidupi oleh keberadaannya dalam bahasa.

Tetapi bagaimana manusia bisa menstransformasikan (menata ulang) dirinya melalui proses penamaan yang dilakukan berdasarkan kepastian yang tak dapat dipercaya ini. Barangkali sebab inilah filsafat ada, datang dalam periodeisasi ketika manusia mulai ingin mengenal dirinya (entah dimaksudkan untuk mengenali objek alam, tuhan, atau manusia sebagai wacana filosofis, yang jelas pada apa lagi bila bukan untuk membentuk keutuhan dirinya) dan kini melalui bahasa, “ditulislah” suatu metoda dan berbagai sistem untuk memperlihatkan hal secara utuh.

Sekiranya bahasa terlampau-melampaui segalanya, filsafat memberinya peta, memperbarui eksistensinya, dan secara bersamaan tersesat diantara riuhnya maksud dan makna. Mungkin struktur atau semacam apa itu, inilah peta yang diberikan filsafat pada bahasa. Filsafat menuntun bahasa dengan teks, sebagaimana filsafat yang juga terlahir dengan teks, lalu mengikatnya dengan baik (baik rasional maupun empiris) dan menatanya sedemikian rupa, sehingga bahasa dan hal-hal dapat tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Tertulis oleh sebab ia terstuktur dan usai.

Sebab tanpa menyusunnya dengan baik, yang berarti keharusan melalui struktur tak mungkin bahasa dikenali secara utuh, meski masih mungkin bisa diragukan tapi begitulah kaum strukturalis meyakini (asal mulanya bahasa). Sedang sebagai sebuah metoda, dalam struktur, digunakanlan sistem perbedaan (system of difference) dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner, antara penanda dan petanda. Petanda adalah isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara atau bentuk (diucap atau ditulis). Demikian dalam tradisi filsafat, misal antara jiwa dan badan: manusia terdiri dari jiwa dan badan; jiwa dan badan inilah unsur kemanusiaan.

Tabel penanda dan petanda (oposisi biner)

Penanda Seseorang (yang boleh bertutur-kata/menulis) Materialistik (bisa di indrakan)
Petanda Isi/petunjuk/pemahaman Konsep ide (dibalik realitas empiris)

 

Keterpisahan ini lalu dengan jelas dikemukakan oleh ahli linguistik Ferdinand de Saussure, sebagai prinsip bahwa bahasa merupakan jejaring differensial dari makna. Sehingga bila bahasa dilihat secara struktural, didapatlah kesimpulan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan dan sebagaimana yang juga kita sepakati. Bahasa adalah interaksi antara bunyi dan makna, maka makna itulah keharusannya.

Yang bagi Saussure, makna-makna diikat dalam satu sistem keterhubungan dan perbedaan. Tidak ada kaitan nyata (langsung) antara penanda dan petanda, antara kata (apakah diucap atau ditulis) sebagai medium dengan konsep yang ingin diungkapkannya. Selalu saja ada celah antara penanda dan petanda, keduanya terjerat di dalam pembedaan, dimana perbedaan-perbedaan suara dan nalar (sense) menjadi satu-satunya petunjuk kepada makna.

Tetapi bukannya memberikan kepastian, bahasa malah sekedar berarti jejaring pertandaan, yang akibatnya pencarian makna absolut juga gagal. Bahasa, yang dengan langkah-langkah begitu tak pula sampai menyediakan semacam jendela untuk realitas atau semacam cermin yang bisa memantulkan bayangan. Bahasa justru membawa serta bersama dirinya seluruh jejaring pertandaan yang telah ada begitu saja. Realitas telah terpahat dengan berbagai cara sesuai dengan pola-pola kesamaan dan perbedaan yang disediakan bahasa; bahwa pengetahuan kita tentang dunia diramu dan ditentukan secara acak oleh bahasa.

Yang padahal, di lain kesempatan Noam Chomsky sudah lebih jauh melangkah untuk itu, dan menurutnya: “Struktur-stuktur linguistik telah terprogram di dalam pikiran manusia begitu saja, dan berlaku sebagai rintangan terhadap bahasa itu sendiri, sekaligus sebagai alat untuk menyebarkan makna kepada manusia lain.”

Sedang dalam pada itu, upaya pencarian kepastian tunggal (makna absolut) tetap saja berlangsung, diantaranya berkisar dalam perdebatan Ferdinand de Saussure dengan Jacques Derrida.

Melampaui Bahasa

Kendati kehidupan telah berubah, makna dan kebenaran masih saja diperdebatkan. Demikian kini, jelas sukar menghadirkan kepastian apalagi ditengah bahasa yang ekstralinguistik. Tetapi keperluan memperbaruhi yang usang tetap saja menyisakan keharusan, selalu ada arus yang berbeda, membuka lembaran baru tuk melampaui yang ada atau mungkin sebut saja; melampaui bahasa. Mudahnya, dalam konsepsi ini, ada baiknya bila meminjam maksud istilah melampaui dalam wejangan Zarathustra, sebagaimana ditulis Gonawan Mohamad dalam bukunya Dari Sinar Sampai Al-Ghazali, “manusia harus melampaui, mengikuti gerak laut yang pasang dan bukan sebaliknya”. Sedikit kata, bagaimana melampaui bahasa?

Dalam hubungan itulah, kita perlu memulainya dengan pemikiran Barthes, mungkin tepatnya pemikiran Christopher Norris. Demikian bagi Norris, Barthes ‘seperti’ ingin menyatakan satu hal, yang barangkali menjadi penuntun ke dalam sistem paradoks, bahwa bahasa adalah produk sekaligus instrumen. Sehingga kehidupan, dengan tanpa instrumen, termasuk filsafat, hanya akan menjadi sebuah dunia dimana tak ada seorang pun yang dapat menembus alam bawah nyata kehidupan sehari-hari untuk mengetahui-menangkap apa yang nyata, benar, bernilai, pasti, dan bermakna dalam kehidupan manusia.

Manusia dengan filsafat mungkin mengerti kemana harus membawa dunia untuk tidak membuatnya sekedar berisi laki-laki dan perempuan yang bergerak di antara benda-benda fisik. Tetapi tanpa bahasa, tak mungkin dapat kita mengenali laki-laki dan perempuan, serta keperluan maksud dilahirkannya laki-laki dan perempuan. Suatu gambaran dimana kita akan menjadi manusia kosong, bergerak dalam gerakan tak berhati dan omongan kita hanya akan menjadi obrolan kosong, dan karenanya setiap bahasa pasti bermakna.

Bermakna berarti besar dalam kebaikan, dan bukan pada sembarang upaya untuk membawa perubahan ke arah kemajuan. Memang betul kemajuan adalah hal positif dan sebagaimana lahirnya modernitas yang berusaha memanusiakan manusia dengan segala kemajuan, rasio, dan kebebasannya. Kemajuan melahirkan kesejateraan, rasio melahirkan sains dan teknologi, dan kebebasan melahirkan demokrasi. Tapi cucu ketiganya adalah hal negatif, bisa-bisanya dalam peradaban modern (juga post-modern) terjadi eksploitasi, saintisme dan imperialisme politik.

Sekarang, kalau tidak menyesali, ketiganya hanya bersembunyi dibalik perselisihan siapa yang menyulut konfrontasi, pemberontakan, dan pembangkangan, padahal yang jelas, satu-satunya korban yang dikorbankan tetaplah manusia. Lihatlah terjadinya krisis ekologi, carut-marut ekonomi-politik global, imperialisme budaya, dan kesemuanya itu nyaris menyisakan pesan moral.

Selayaknya sudah, kita memilih-menentukan satu alasan hidup: Entah menjadi penopang bagi kemajuan atau bagi Mark Twain, bahwa “kebaikan adalah bahasa dimana yang tuli bisa mendengar dan yang buta bisa melihat.” Suatu keperluan tuk melampaui bahasa, bahwa selama ini bahasa memang sanggup berdiri sendiri terhadap kenyataan, kebenaran, yang pada gilirannya terhadap manusia.

Bahasa tak terikat pada manusia, ia bebas-sampai manusia tak ingin lagi mengikatnya dengan “benang” maksud yang tak baik secara tersirat, dan kitalah yang akan tersiksa oleh sebab, sebut saja, menjadikannya sebagai makhluk yang bisa dipermainkan, sedang bahasa bukanlah makhluk yang bermurah hati bertuan manusia. Maka tanpa keberanian untuk sekedar melepas-tutur yang nyata, manusia hanya akan hidup dalam belenggu bahasa dan tidak akan mampu melampaui bahasa.

Semacam ayunan, seperti itulah bahasa. Bagaimana dengan sebuah ayunan yang dimainkan manusia, sementara didalamnya ada keharusan proses perubahan diantara maju-mundur, -ada keharusan untuk memilih maksud baik atau buruk- yang selanjutnya bukan lagi manusia yang membuatnya bergerak, tetapi pada daya tarik maju-mundur itulah hukum yang berlaku, sehingga memungkinkan manusia terbawa ayunan dengan tanpa menyadari bahwa ia yang sedang dipermainkan oleh bahasa dan atau, benarkah kita sudah beranjak maju dan bertanya; “tetapi, apa itu bahasa?”.

Catatan:

  1. Alih-bentuk adalah istilah yang digunakan oleh Erich Fromm, dalam upayanya membagun konsep Revolusi Harapan. Konsep alih-bentuk (personal maupun sosial)  ini berkenanaan dengan pendefinisian ulang makna kebangkitan kembali, tanpa rujukan apa pun terhadap ilmplikasi teologisnya dalam tradisi kristiani. Kebangkitan kembali dalam makna barunya, manusia dilahirkan kembali setiap saat dalam tindakan berharap dan beriman di sini dan kini. Setiap tindakan mencintai, mawas diri, kasih sayang merupakan kebangkitan kembali, dan setiap tindakan malas, serakah, dan mementingkan diri sendiri adalah kematian.
  2. Struktur, dalam banyak varian keilmuannya, para strukturalis mempunyai persamaan dasar, yaitu gagasan mengenai struktur. Kata struktur yang dalam bahasa latin structura berarti menyusun.
  3. Difference berarti menggantung antara dua kata, yang dalam bahasa Prancis “differ” (berbeda) dan “defer” (menangguhkan). Keduanya berpengaruh meski tidak sepenuhnya mencangkup makna secara utuh.
  4. Mengenai penanda dan petanda. Dalam ilmu semiotika, suatu tanda tidak hanya ada dalam bentuk citra bunyi, tetapi juga bentuk pemahaman. Dengan demikian, tanda menjadi dua komponen, yaitu penanda (citra bunyi) dan petanda (pemahaman). Menurut Hjelmslev, penanda merupakan sesuatu yang bersifat materialistik (yang bisa diindrakan), sedang petanda adalah konsep pikiran.

About The Author