image by El-Biar, Argelia francesa, 1930 - París, 2004
image by El-Biar, Argelia francesa, 1930 - París, 2004

Di kalangan penikmat filsafat dan juga kritik sastra, sosok Jacques Derrida sudah tidak asing lagi. Dia lahir di El-Biar, Aljazair, pada 15 Juli 1930. Al-Jazair merupakan wilayah konflik akibat perang berkecamuk di negeri ini pada saat itu. Derrida kecil, melihat ketertindasan masyarakat Aljazair atas dominasi kuasa kolonial dalam sengketa tanah jajahan Dunia Ketiga. Pengalaman mental inilah yang menjadikan semangat awal dalam pencapaian pemikiran dekonstruktifnya.

Pada 1949, Derrida pindah ke Prancis untuk melanjutkan sekolahnya. Dan sejak 1952, Derrida resmi belajar di Ecole Normal Superiuera (ENS), sekolah garda depan Prancis elite yang dikelola oleh pemikir sekaliber Michel Foucault, Louis Althusser, dan lainnya.

Dari Universitas itulah Derrida mulai mempelajari karya-karya filsafat, mulai dari Aristoteles, Nietzsche, Heidegger, Marx, Hegel, Husserl, dan sebagainya. Namun pada awal Oktober 2004, dunia intelektual Prancis kehilangan salah satu empu dalam filsafat poststrukturalisme itu. Derrida meninggal akibat kanker pangkreas yang sudah lama dideritanya.

Mengingat karir intelektualnya, selama empat puluh tahun, Derrida telah menjadi salah satu figur publik dan pemikir berpengaruh di dunia. Sekitar 400 buku dan 500 disertasi telah ditulis dan dipersembahkan untuk mengkaji pemikirannya, dan lebih dari 17.000 kali namanya dikutip dalam jurnal-jurnal terbitan internasional selama tujuh belas tahun terakhir.

Popularitas Derrida jelas tidak bisa dipisahkan dari gagasan dekonstruksinya, yang hingga detik ini masih memicu kontroversi dan perdebatan hangat di kalangan akademisi dan teoritisi.

Telaah Logosenterisme

Sebelum memproyeksikan Hermeneutika Derrida, terlebih dahulu mengetahui objek apa saja yang menjadi “sasaran” Hermeneutikanya. Adapun sasarannya adalah “logosenterisme” yang sangat melekat pada metafisika Barat, dan menjadi suatu kejanggalan dalam memahami suatu teks bila dibiarkan begitu saja, sehingga Derrida mengusung “dekonstruksinya” untuk melawan “logosentrisme”.

Al-Fayyadl menjelaskan dua strategi Derrida dalam mendemonstrasikan, atau menampakkan kontradiksi-kontradiksi modernisme dengan dekonstruksinya; Strategi pertama, Derrida membaca teks-teks filsafat yang ditulis oleh para filsuf Barat sejak era Pencerahan. Strategi kedua, Derrida membaca dan menafsirkan teks-teks filsafat, lalu membandingkannya satu sama lain untuk menemukan “kontradiksi internal” yang tersembunyi di balik logika atau tuturan teks tersebut.

Oleh karena itu, sosok Derrida dengan dekonstruksinya menuntun segenap pembaca agar tidak memberhalakan teks sesuai dengan egonya, dan senantiasa untuk membongkar asumsi-asumsi, atau pernyataan-pernyataan sesuatu yang dianggapnya benar.

Fahruddin Faiz, dalam ceramahnya menegaskan bahwa, “dekonstruksi” yang digagas Derrida menggugat metafisika Barat, yang nantinya muncul “logosenterisme”, sebagaimana telah dijelaskan termnya. Ia merupakan paradigma atau kerangka berfikir yang kaku, dan terjebak pada kebenaran sendiri, serta menempatkan posisi manusia sebagai subjek dan rasio sebagai pusat.

Oleh sebab itu, para filsuf modernisme terbukti otoriter. Karena, kerangka berpikir “logosenterisme” bersifat binary oppositions, yakni cara berfikir dua. Misalnya, diumpamakan ada hitam-putih, laki-laki-permpuan, dan nantinya, antara dua hasil pemikiran binary oppositions melahirkan hierarki atau pangkat dan sub-ordinasi atau penetapan yang harus memilih salah satunya sebagai repsentatif atau yang mewakil being yang dianggap banar, dan yang lain salah; dianggap baik, dan yang lainnya buruk; dianggap tinggi, dan yang lainnya rendah.

Tidak hanya itu, di sisi pondasi logosentrisme, yakni sejarah metafisika sendiri mengintimidasi being atau ada dengan satu representatif tanpa mempersoalkan waktu atau horizon. Al-Fayyadl mencatat, kritik terhadap tradisi metafisika Barat secara sistematis mempersoalkan “sejarah ontologis”, yakni mempersoalkan being atau ada.

Namun, sebagaimana catatan Heidegger, pengkritik awal menegaskan, “dalam sejarahnya, metafisika Barat selalu mempertanyakan Ada, tanpa mempersoalkan hubungan Ada dengan waktu. Padahal, hubungan ini tidak terelakkan jika kita berbicara tentang realitas kehidupan”.

Dekonstruksi Derrida dengan Differe(a)nce

Setelah mengetahui sasaran Derrida dalam Hermeneutika, tentunya sekarang membahas Hermeneutika Derrida sendiri, yaitu Decontruction. Ia adalah sebuah kata sepele dalam bahasa Prancis yang telah mengglobal dan merasuki berbagai bahasa, bahkan kata ini menjalar ke berbagai bidang keilmuan, mulai dari kajian sastra, arsitektur, teologi, seni rupa, politik, pendidikan, kritik musik dan film, hukum, hingga sejarah.

Dengan begitu, sebuah kajian dan diskusi kritis akan dipandang ketinggalan kalau belum membicarakan dekonstrusi. Namun, term deskontruksi sendiri identik dengan sosok Derrida. Sebagai salah seorang tokoh poststrukturallisme-postmodernisme, yang nantinya, Derrida dengan lantang menggugat logosenterisme atau metafisika kehadiran. Termasuk juga dalam tradisi agama-agama semitik.

Muhammad Al-Fayyadl mengkaitkan proyeksi “dekonstruksi” Derrida dengan “Difference”. Menurutnya, Difference merupakan bahasa yang ambigu dan sulit dicari kebenaran maknanya. Oleh sebab itu, Derrida mengangkat kata itu untuk “dekonstruksinya”.

Dengan begitu, proyeksi dekonstruksi Derrida tidak akan jauh dengan namanya difference. Istilah difference pertama kali diperkenalkan oleh Derrida dalam ceramahnya di depan Societe Francaise de philosophie pada 27 Januari 1968, dan istilah ini dipakai dan dikemukakan oleh Derrida dalam permasalahan tentang Ferdinand de de Saussure (1857-1913). Difference merupakan perpaduan kata “differing” yang berarti ‘berbeda’ dan kata ‘deffering’ yang berarti ‘menangguhkan’.

Kata differeance dikembangkan oleh Derrida dari kata Prancis difference. Kedua kata itu merupakan homofon atau suaranya sama yang tidak bisa dibedakan dalam pengucapan, tetapi hanya terlihat dalam tulisan, yaitu vocal “e” dan “a”. Hal tersebut dilakukan Derrida untuk menunjukan keunggulan tulisan yang tidak terdapat dalam tuturan.

Tidak berhenti keambinguan dan berwajah ganda pada teks difference. Kata itu juga menandakan perlawanan serta kritik terhadap dominasi phone atau fonetik dalam metafisika. Karena, ternyata perbedaan antara “a” dan “e” dalam differ(…)nce tidak dapat dibunyikan dengan suara.

Sebab, dalam bahasa Prancis, akhiran “a” dan “e” dalam kalimat –ance atau –ence dibunyikan dengan tanda fonetik yang sama, yaitu [a:s]. Dengan demikian, differance dan difference, bila dilafalkan dengan suara, akan terdengar sama [defe’ra:s]. Perbedaan keduanya tidak terasa dalam tuturan, dan hanya bisa diketahui jika keduanya “ditulis”.

Karena itu, Derrida mengibaratkan difference layaknya sebuah “kuburan” dan “batu nisan”, yang menandai kematian fonosenterisme yang begitu memuja ataupun memberhalakan kejelasan makna.

Ulasan Penulis

Hermeneutik Radikal Derrida telah menyuguhkan kepada interpreter untuk terus mencari makna. Karena semboyan dalam Hermeneutika dalam Dekonstruksi Derrida adalah “Tidak ada final dalam menentukan makna”, dan “Tidak ada keputusan dalam menentukan makna”.

Adapun kritik untuk hermeneutikanya tidak ada, bila posisi pengkritik sebagai interpreter teks, mufassir al-Qur’an dan sebagainya. Namun, bila pengkritik dalam posisi Ahli Hukum, Hakim yang ditugaskan untuk memutuskan jawaban permasalahan, ataupun hukuman untuk orang yang terdakwa, tentunya tidak setuju.

Sebab, bila Hakim ikut dekonstruksi Derrida, maka pengadilan di mana-mana tidak akan selesai-selesai karena hakim secara tidak langsung untuk tidak “memutuskan makna” untuk terdakwa.

Referensi:

Saiful Mustofa. “Hantu Derrida dan Berhala Kontemporer dalam Kontemplasi, (No. 02, vol. 05, Desember 2017)

Fahruddin Faiz. Ngaji Filsafat: Derrida dan Deskontruksi (Youtube)

Sumarwan. Membongkar yang lama dan menenun yang baru dalam Derrida “Basis”, (Basis: No. 11-12, November-Desember, 2015 M.)

Marcelus Ungkang, “Dekonstruksi Jaques Derrida Sebagai Strategi Pembacaan Teks Sastra” dalam Jurnal Pendidikan Humaniora UIN Malang,  (No. 1, Vol. Maret 2013)

Budi Hardiman, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schlemacher sampai Derrida, (Yogyakarta: Kanisus, 2018)