image from time.com
image from time.com

Kurang lebih sekitar 8 bulan kita masih berkutat dengan wabah global ini. Kondisi yang tidak sebentar, mengingat dampak wabah yang kita rasakan cukup besar dari waktu ke waktu. Kuatnya penyebaran wabah, meningkatnya kurva kematian, serta diseminasi informasi yang cukup masif berperan penting pada perubahan masyarakat kita hari ini. Perubahan yang terjadi memberi kita suatu bukti begitu dinamisnya kehidupan manusia, bahkan ketika datang suatu wabah yang tak pernah kita sangka sebelumnya.

Perubahan-perubahan ini cukup menarik jika ditarik ke ranah yang lebih khusus, seperti perubahan pada sikap, perilaku, dan respon emosional manusia. Meskipun perubahan-perubahan besar lain di luar manusia tetap menjadi perhatian publik, namun ketiga unsur tadi secara simultan menjadi bagian tak terpisahkan dari segala aktifitas manusia, baik sebelum maupun ketika wabah terjadi. Lantas seperti apa perubahan-perubahan tersebut terjadi pada manusia dalam merespon wabah? Model “Kübler-Ross Grief Cycle” kiranya dapat menjelaskan perubahan ini.

Model ini dicetuskan pertama kali oleh Elisabeth Kübler-Ross, psikiater asal Amerika, dalam bukunya “On Death and Dying (1969)”. Model ini juga dikenal dengan “The Five Stages of Grief” atau tahapan dukacita/kesedihan.

Pada awalnya, Kübler-Ross memulai gagasan ini untuk menggambarkan kondisi pasien yang mengalami penyakit kronis. Namun gagasan tersebut semakin melebar ke berbagai fenomena kesedihan atau dukacita lain, seperti kehilangan orang yang dicintai, perceraian, kehilangan sebuah pekerjaan, dan perubahan-perubahan dalam hidup lainnya.

Model ini kemudian dirasa relevan dan cukup menarik jika ditarik pada fenomena wabah covid-19 yang terjadi sekarang, yakni untuk melihat perubahan sikap, perilaku, dan respon emosional masyarakat terhadap wabah mematikan ini. Layaknya kematian, munculnya wabah tentu menjadi musibah sekaligus duka dan kesedihan yang mendalam bagi seluruh masyarakat. Bagaimana pun, wabah ini menjadi salah satu penyebab kematian manusia yang paling besar dalam kurun waktu delapan bulan terakhir.

Tahapan Kesedihan dari Kübler-Ross

Gagasan Kübler-Ross yang dituangkan dalam “Kübler-Ross Grief Cycle” memandang bahwa setiap orang akan mengalami lima tahapan dalam menghadapi kesedihan, yaitu Denial (Penolakan), Angry (Kemarahan), Bargaining (Tawar-Menawar), Depression (Depresi), dan Acceptance (Penerimaan).

image from https://www.fndaction.org.uk/the-grief-cycle/

Penyangkalan (denial) sebagai tahap pertama ini merupakan suatu bentuk penolakan intelektual dan emosional oleh individu terhadap sesuatu yang jelas dan nyata. Tahap ini mulai dialami saat fenomena wabah covid-19 pertama di Wuhan hingga WHO menetapkan virus covid-19 sebagai pandemi global. Tak menutup kemungkinan penyangkalan ini masih ada sampai saat ini.

Pada tahap ini, orang-orang banyak menyangkal keberadaan wabah pandemi yang kita rasakan saat ini, mereka berasumsi bahwa wabah pandemi tidak akan pernah ada, delusif. Seperti dikutip dari Psychology Today, penyangkalan terhadap adanya wabah bisa berupa sanggahan “halah, semua ini berlebihan, pasti media mengada-ngada”, “corona itu biasa aja, kayak flu. Orang kena flu setiap waktu biasa aja tuh, gak sampai meninggal”, “tenang saja, saya itu sehat dan imun saya kuat, saya gak mungkin kena”.

Setelah tahap denial terlewati, kita akan dihadapkan pada tahap selanjutnya, yakni marah (anger). Pada tahap ini, orang-orang cenderung marah untuk menutupi ketakutan mereka atas munculnya wabah corona. Hal ini bisa disebabkan oleh maraknya diseminasi informasi yang berseliweran di media sosial, yang tentu tak sedikit yang menyebarkan informasi menakutkan tentang wabah ini.

Alih-alih dapat menangani masalah, kemarahan membuat kita terjatuh pada jurang kesenjangan sosial. Kita mudah menyalahkan orang lain, cenderung sentimental, saling bermusuhan, bahkan keputusan untuk menolak mematuhi anjuran pemerintah merupakan langkah taktis dibalik kemarahan yang tak kunjung usai. Pada tahap ini, kita sedikit mulai menyadari bahwa wabah memang nyata adanya, sehingga kita cenderung marah akan hadirnya wabah yang sudah merebak ke seluruh dunia ini.

Kita mungkin akan cenderung menyalahkan Wuhan sebagai kota pertama yang diduga memunculkan wabah ini dengan alasan lambatnya pemerintah daerah mereka dalam melakukan isolasi wilayah. Banyak juga dari kita yang acuh terhadap anjuran pemerintah untuk berdiam di rumah serta merasa bosan dengan keadaan dan kondisi selama isolasi mandiri. Itu semua kita ungkapkan dengan rasa marah, sehingga semua yang dirasakan merupakan suatu tanda bahwa kita telah memasuki tahap kemarahan.

Selanjutnya, kita akan memasuki tahap bargaining, tahap dimana kita akan berandai-andai untuk kembali ke masa sebelum penyebaran corona. Kubler-Ross menyebutnya dengan tahap “tawar-menawar”. Ia mencatat bahwa tahap ini terjadi setelah kita sudah tidak bisa menyangkal lagi akan keberadaan wabah, dan kita mulai mengakui bahwa wabah yang selama ini kita sangkal ternyata benar adanya. Namun meski demikian, kita masih belum siap melepaskan suatu ilusi bahwa kita masih memiliki kendali. Kita cenderung mencoba memahami situasi untuk menemukan jalan keluar yang tidak terlalu menyakitkan.

Pada tahap ini, kata-kata yang mungkin akan kita lontarkan seperti “jika saya menjaga jarak dengan orang lain, semuanya akan lebih baik”, “wabah ini akan selesai tahun depan lah, sehingga saya bisa kumpul bareng teman-teman lagi”, “saya akan baik-baik saja selama berkumpul dengan orang-orang yang sehat dan tidak berkumpul dengan mereka yang sedang sakit”.

Setelah tahap bargaining terlewati, kita akan menghadapi tahap depresi dan putus asa. Tahap ini terjadi ketika kenyataan (covid-19) benar-benar ada dan kita tidak bisa lagi untuk menyangkalnya. Akan ada tekanan dan perasaan putus asa serta penyesalan bahwa tahap-tahap sebelumnya tidak berhasil kita lalui.

“ini sudah terlambat, saya gak akan mungkin merasakan kehidupan seperti dulu lagi”, “saya gak tahu harus berbuat apa lagi, semuanya terasa sudah berakhir”, “sebentar lagi saya usaha saya akan bangkrut dan saya akan kehilangan tempat tinggal”, “semuanya tutup, saya tidak mungkin bisa bekerja, dan otomatis tidak akan menghasilkan uang”, “harapan saya sudah habis”. Ungkapan di atas merupakan bukti bahwa kita telah masuk ke fase depresi.

Tahap berikutnya adalah penerimaan (acceptance). Penerimaan merupakan tahap akhir dari teori “siklus kesedihan” Kubler-Ross. Kondisi ini terjadi ketika kita menerima, mengakui, dan pasrah pada fakta yang terjadi. Kita benar-benar harus mengakui bahwa wabah corona itu ada dan sudah memakan banyak korban jiwa. Pada fase ini, kita tidak bisa lagi melawan kenyataan layaknya di tahap awal tadi. Kita harus mengakui fakta apa pun tentang corona, sehingga hal yang bisa kita lakukan adalah menjaga, mencari solusi terbaik dari adanya fakta tersebut, serta membiasakan hidup dalam kehidupan baru yang tentunya berbeda dengan yang kita rasakan sebelum wabah.

Menikmati kondisi dalam menjalani kebiasaan baru menjadi kunci sukses kita pada tahap ini. “saya jadi lebih punya banyak waktu bersama keluarga”, “adanya corona bukan berarti segalanya telah berakhir”, “saya dapat belajar dari rumah dan masih bisa berjumpa dengan teman-teman secara virtual”, “dengan adanya wabah ini, saya bisa mengembangkan bakat dan kreativitas saya”.

Meskipun Kubler-Ross mengungkapkan bahwa tahapan-tahapan tersebut terdiri dari lima tahap, bukan berarti kelimanya pasti terjadi pada orang-orang dalam merasakan fakta yang menyedihkan. Tahapan tersebut terlihat subjektif dan tidak dapat diterapkan pada semua orang. Ia juga mengaku bahwa setiap orang akan berduka dengan cara yang berbeda satu sama lain.

Bahkan Kubler-Ross meyakini bahwa tidak semua orang akan melalui tahapan tersebut sesuai urutan hierarkis yang telah tertanam mapan dalam teorinya tersebut. Minimal terdapat dua tahapan yang akan dilalui manusia. Mungkin sebagian orang akan melompat dua atau tiga tahap kedepan, bahkan bisa juga mereka melewati beberapa tahapan tersebut. Tak menutup kemungkinan pula jika sebagian dari kita hanya merasakan satu tahapan saja. Intinya, Kubler-Ross tidak menyangkal bahwa hierarki kesedihan dalam teorinya masih bersifat dinamis. Meski demikian, gagasannya tersebut telah memberikan sumbangsih pada wawasan keilmuan, serta masih banyak digunakan atau dijadikan sumber rujukan hingga saat ini.

About The Author