image by https://www.insperity.com/blog/renaissance-leadership-quotes/
image by https://www.insperity.com/blog/renaissance-leadership-quotes/

Era Renaissance (kebangkitan kembali) merupakan era kebangkitan kembali pemikiran-pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Pada zaman ini manusia disebut sebagai animal rationale karena manusia sudah berpikir secara bebas dan berkembang. Awal kemunculan renaisans ini sekitar abad ke-14 dan abad ke-17 di Italia yang kemudian menjadi tanda dari awal kemunculan filsafat modern.

Pada abad ke-15, karya-karya Yunani dan Romawi dipelajari kembali oleh para cendekiawan atau kaum humanis pada masa itu. Hal-hal yang dipelajari pada waktu itu seputar seni, sastra, sejarah, fisafat dan lainnya. Pada era ini, manusia diangkat kembali dari abad pertengahan, abad dimana manusia kurang dihargai kemanusiaanya. Kebenaran diukur berdasarkan doktrin gereja, bukan menurut ukuran yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki bahwa ukuran kebenaran adalah manusia, karena manusia memiliki kemampuan berpikir.

Berdasarkan bukti tersebut, humanisme menganggap bahwa manusia mampu mengatur diri nya sendiri bahkan dunia. Karena semangat humanisme yang digelorakan tersebut, agama Kristen semakin ditinggalkan, sementara pengetahuan rasional dan sains berkembang pesat terpisah dari agama dan nilai-nilai spiritual.

Hal yang menonjol pada masa ini adalah manusia berani berpikir secara baru, tentu berbanding terbalik dengan pola pikir abad pertengahan. Pada masa ini, pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang, karena manusia ingin mencapai kemajuan berdasarkan hasil usaha sendiri tanpa campur tangan kepentingan pribadi pemimpin Agama. Dan saat itu manusia mulai melepaskan diri dari otoritas gereja yang telah mengungkung mereka dalam menemukan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan.

Tokoh-tokoh yang populer diantaranya adalah Machievelli, Giardano Bruno, Francis Bacon. Kemudian tokoh bidang rasionalisme seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, Leibniz, Blaise Pascal. Selanjutnya tokoh empirisme tak lepas dari Thomas Hobbes, John Locke, Goerge Barkeley, David Hume. Zaman pencerahan seperti Voltaire, Monstesquieu, dan lainnya. Idealis seperti Immanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Positivisme seperti August Comte, dan lainnya. Materialisme seperti Karl Marx dan lain-lain. Dan Tahap Eksistensialisme awal seperti adalah Nietszche.

Sebagai bentuk kesadaran, modernitas filosofis dicirikan dengan tiga hal, Pertama, subjektivitas. Manusia menyadari bahwa dirinya sebagai subjektum (pelaku), atau dapat diartikan sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran dari segala sesuatu (manusia menjadi “central”). Berikut ilustrasi yang dapat memperjelas lahirnya subjektivitas modern. Jacob Burckhardt, seorang sejarawan Swiss, dalam bukunya Die Cultur der Renaissance in Italien (kebudayaan renaisans di Italia, 1859), mengatakan bahwa manusia pada abad pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, atau kolektif. Sedangkan pada masa modern, manusia menyadari sebagai individu.

Dalam filsafat kita mendengar pernyataan Descartes yang termasyhur, yakni Cogito Ergo Sum (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan tersebut telah menjadi formulasi yang dipertahankan hingga abad ke-20 bahwa manusia bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri.

Kedua, adalah kritik. Dengan kritik dimaksudkan bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi juga menjadi kemampuan praktis untuk bebas dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan. Pada era pencerahan, Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau otoritas. Dia mengatakan “terbangun dari tidur dogmatis”, yaitu: kemampuan kritis rasio membuatnya bebas dari prasangka-prasangka pemikiran tradisional.

Ketiga, kemajuan. Dengan kemajuan, manusia menyadari bahwa waktu adalah sumber langka yang tak terulang lagi. Waktu adalah rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik.

Prinsip subjektivitas, kritik, dan kemajuan di atas, jelas bertolak belakang dengan pemikiran zaman sebelumnya yang identik dengan istilah “tradisional”. Pada abad pertengahan, pemikiran ditandai dengan kesatuan, keutuhan, dan totalitas yang koheren dan sistematis yang tampil dalam bentuk metafisika dan ontologi. Filsafat Thomas Aquinas merupakan puncak dari abad pertengahan ini. Dan digantikan dengan zaman awal pembaharuan yaitu renaisans yang menjadi pemberontak terhadap pemikiran abad petengahan tersebut.

Pemberontakan intelektual ini terus menerus menyerang pemikiran metafisika tradisional. Dari pemberontakan ini, cara berpikir filosofis yang berdasarkan rasio menjadi otonom dari pemikiran atas dasar iman yang biasa dikenal dengan “teologi”. Pemberontakan intelektual itu dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, modernitas dapat dianggap sebagai disintegrasi intelektual, yang mana kemunculan modernitas itu sebagai anarki yang memecah keutuhan dan ketertiban. Pemikiran modern pada wawasan ini dianggap sebagai kemerosotan intelektual. Kedua, filsafat modern dianggap sebagai sebuah emansipasi, kemajuan berpikir, dari kemandegan dan pendewaan dari pemikiran metafisik yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi tradisional. Mereka yang berada pada sisi ini akan mendukung radikalisasi lebih lanjut, serta mendukung pemisahan antara ilmu pengetahuan dari filsafat. Hancurnya metafisika tradisional disambut gembira oleh Nietzsche, Kant, Comte, dan di pihak lain. Hegel dan Marx ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.

Filsafat modern juga melakukan pemberontakan terhadap ranah sosial-politis, yang ditandai dengan maksud menggulingkan otoritas maupun titik-tolak intelektual yang dianggap kuno. Pada abad pertengahan, ada dua sumber otoritas, yakni filsafat Aristoteles yang diterima oleh para cendekiawan muslim dan Yahudi, dan Kitab Suci. Sehingga kita dapat menyebutnya filsafat modern ini sebagai krisis tradisi yang diperhebat oleh rasio. Sekarang sebagai gantinya, rasio menduduki tahta otoritatif yang sudah digulingkan itu.

Sebagai usaha untuk melepaskan diri dari tradisi, filsafat modern meluncurkan tema-tema baru sejak masa renaisans yang biasa dikenal dengan “ilmu pengetahuan modern”, yakni ilmu-ilmu alam. Tokoh seperti Galileo, Bacon dan Descartes menekankan “metode” untuk mengetahui.

Jika filsafat tradisional ramai mempersoalkan kenyataan adikrodati (Allah, roh, dan lainya), para filsuf modern sibuk mempersoalkan cara untuk menemukan dasar pengetahuan yang benar tentang semua itu. Dengan lambat laun, refleksi akan Allah bergeser kepada manusia dengan segala kemampuan kodratinya. Dengan kata lain, ada pergeseran dari teosentrisme ke antroposentrisme. Akhirnya, kemampuan manusia sebagai subjektivitas, seperti: rasio, persepsi, akefsi dan kehendaknya menjadi tema-tema refleksi baru pada era ini.

Gerakan humanisme ditandai dengan kepercayaan akan kemampuan manusia, hasrat intelektual, dan penghargaan akan disiplin ilmu pengetahuan. Penganut gerakan ini percaya bahwa rasio dapat melakukan segalanya dan lebih penting daripada iman. Karena kaum humanis percaya akan kemampuan intelektual, maka mereka juga menghendaki perubahan-perubahan pada ranah sosial, politik dan ekonomi. Humanisme berkembang pesat di Italia, kemudian menyebar ke Jerman, Prancis dan bagian-bagian Eropa lainnya.

Beberapa tokoh humanisme diantaranya seperti Petrarkha (1304-1374), Erasmus (1466-1536), Rabelais (1490-1553), Thomas More (1478-1535), dan Cervantes (1547-1616). Gagasan mereka bersifat humanisme.

Jika dibandingkan dengan gerakan reformasi pada waktu itu, renaisans merupakan gerakan elit intelektual, sedangkan reformasi merupakan gerakan massa. Reformasi lebih kepada gerakan teologis dan politis.  Dengan kata lain, reformasi dapat diartikan sebagai bentuk upaya perbaikan dan kembali kepada ajaran gereja yang lurus, gerakan reformasi berupa sikap kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak gereja Katolik pada waktu itu.

Gerakan reformasi ini dipelopori oleh Martin Luther, John Calvin, Zwingli, dan lainnya. Martin Luther (1438-1546) adalah tokoh pencetus gerakan reformasi ini di Jerman. Hal ini dilatar belakangi oleh sikap protes Luther terhadap seorang teolog yang melakukan penyimpangan, salah satunya dengan penjualan surat pengampunan dosa (aflat). Bentuk protes Luther ini kemudian mendapat dukungan dari kaum kalangan menengah di Jerman.

Menurut Burns dan Ralph, gerakan ini terjadi di Jerman dengan beberapa faktor diantaranya: 1) Jerman pada abad ke-15 dan ke-16 masih merupakan negara terbelakang dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Eropa, 2) Sektor perdagangan dan manufaktur belum berkembang seperti di negara Inggris dan Italia. Selain itu, katolisisme yang konservatif paling kuat di negara ini, sehingga penyembahan terhadap tokoh ataupun benda-benda keramat dianggap kepercayaan yang wajib diyakini, 3) Penjualan surat-surat pengampunan dosa paling banyak di negara ini, 4) Sebagian masyarakat di Jerman adalah petani, yang merupakan kelompok sosial yang paling menderita akan adanya kekuasaan gereja katolisisme, 5) Pajak-pajak memberatkan, urusan kepemilikan tanah yang dipersulit oleh pihak gereja dan harta kekayaan yang sering diambil oleh gereja tanpa alasan yang jelas.

Dengan keadaan seperti itu, maka munculah sosok Luther yang mempelopori keharusan adanya pembaharuan terhadap keagamaan. Dia mencetuskan gerakan reformasi protestan di Jerman dengan berbagai alasan sosial keagamaan kepada kekuasaan paus. Martin Luther percaya bahwa Tuhan maha pengasih dan sayang Nya tidak dapat dibeli oleh sesuatu apa pun. Luther juga menegaskan bahwa umat manusia penganut agama Kristian sebenarnya tidak perlu bergantung kepada orang lain tentang ibadatnya tetapi manusia langsung berhadapan sendiri dengan Tuhan nya.

Gerakan renaisans dan reformasi merupakan suatu gerakan yang memiliki tujuan yang sama yakni menghancurkan kekuasaan abad pertengahan. Akan tetapi keduanya mempunyai cara yang berbeda. Kedua era ini memberi pengaruh terhadap filsafat modern. Jika renaisans dengan humanismenya memahaminya sebagai kemampuan rasio, maka reformasi memahaminya dengan keagamaan.

Sumber:

Asmoro Achmadi. 2005. Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Ahmad Tafsir. 2007. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capfra, Bandung: Remaja Rosdakarya

F. Budi Hardiman. 2004. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Mahmud Hamdiy Zaqzuq. 1988. Dirasat Fi Al-Falsafat Al-Hadish, Cet.II, Kairo: Dar Al-Tiba’at Al-Muhammadiyyah

Rizal Muntasyir dan Misnal Munir. 2008. Filsafat Ilmu, Cet. VII, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ahmad Suhelmi. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia