Pada dasarnya, integrasi keilmuan itu sendiri dihadirkan karena adanya dikotomi ilmu antara ilmu agama dan ilmu umum. Jika kita cermati, terjadinya pemilahan ilmu antara ilmu agama dan ilmu non agama ternyata tidak hanya terjadi di barat saja, dalam tradisi Islam pemilahan tersebut sudah dikenal. Imam al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu syariah dan waghairuhu (selain ilmu syar’iah). Sedangkan Ibnu Khaldun membaginya menjadi al-‘ilmu naqliah dan ulumul aqliah. Perbedaannya adalah jika di barat adanya dikotomi berimplikasi pada penolakan atas validitas keilmiahan satu bagian. Artinya, di barat, ilmu-ilmu agama ditolak dan tidak masuk dalam kategori science, sedangkan di Islam tidak ada implikasi seperti itu. Meskipun dalam Islam ada dikotomi, namun masih ada pengakuan keabsahan ilmu agama, pun ilmu yang lain.

Ilmu umum sendiri adalah ilmu yang berkaitan dengan hal keduniaan, seperti matematika, ilmu sosial, ilmu sains dan lain sebagainya. Dikotomi seperti ini membuat beberapa orang berpikir bahwa antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipadukan. Perbedaan cara pandang disini juga dikarenakan pokok materi dan landasan berpikir antar ilmu agama dan ilmu barat memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Banyak dari pemikiran tersebut yang kemudian tumpang tindih sehingga masyarakat sendiri menjadi terpecah belah pemikiraannya.

Sedangkan cara berpikir dari orang barat mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang tidak dapat dilihat oleh panca indera. Hal ini tentu mendatangkan banyak perbedaan antara ilmu agama dan ilmu duniawi dalam pandangan orang barat. Dengan demikian, perlunya diadakan sebuah integrasi ilmu yang mana dapat menyatukan perbedaan pendapat ilmu tersebut guna menciptakan disiplin ilmu yang baru yang dapat diterima banyak kalangan.

Integrasi adalah upaya menghubungkan kembali hukum alam dengan Al-Qur’an. Pengertian ini didasarkan atas pernyataan bahwa ayat-ayat Tuhan terdiri atas dua hal. Pertama, ayat-ayat yang bersifat linguistik, verbal, dan menggunakan bahasa insani, yakni Al Qur’an. Kedua, ayat-ayat yang bersifat non-verbal berupa gejala alam. Lebih dari itu, integrasi yang dimaksud adalah upaya mempertemukan cara pandang, cara pikir dan cara bertindak antara barat dan Islam. Dalam bahasa lain, integrasi berarti upaya menjembatani antara pemikiran eksklusif Islam dengan pemikiran sekuler barat, sehingga dihasilkan pola dan paradigma baru yang utuh dan moderat.

Dengan pengertian seperti ini, integrasi yang dimaksud sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan konsep Islamisasi ilmu. Keduannya sama-sama berkaitan dengan agama, dan berusaha menemukan paradigma baru. Perbedaan diantara keduannya terletak hanya pada acara pandang terhadap keilmuan barat dan Islam.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Pendidikan Islam mulai dari Madrasah Ibtidaiyah hingga Pergurusan Tinggi (PT), memang memberikan materi-materi keagamaan seperti Fiqih, Hadits, Akidah Akhlak, Tafsir dan lain sebagainya. Dan disaat yang sama pula, sekolah juga memberikan ilmu-ilmu modern yang diadopsi dari barat. Hal ini menunjukan bahwa sekolah sedang melakukan integrasi ilmu. Di beberapa pesantren mahasiswa juga dilakukan integrasi. Di pesantren mereka diajari dengan norma-norma dan moralitas keagamaan secara ketat. Sedangkan ntuk pengetahuan umum, mereka mendapatkannya di bangku kuliah.

Relasi Agama dan Ilmu Pengetahuan di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah. Dengan kata lain, sains di dalam islam sangat memperhatikan agama dan juga sebaliknya. Karena ilmu pengetahuan merupakan jalan untuk memahami semua yang diberitakan oleh agama.

Peradaban islam merupakan peradaban pertama yang megintegrasikan empirisitas pada kehidupan keilmuwan dan keagamaan secara terpadu. Dari perpaduan ini peradaban islam mencatatkan hasil-hasil gemilang dan kejayaan yang menghasilkan penemuan-penemuan ilmiah yang luar biasa. Contohnya pada masa pemerintahan bani Umayyah dan bani Abbasiyah.

Dalam dunia Islam, terutama pada ulama-ulama kolot, menganggap ilmu-ilmu yang berasal dari barat sebagai ilmu kafir, karena itu mempelajarinya dianggap bid’ah atau bahkan haram pendapat semacam ini bisa dijadikan pijakan. Jika dicermati, metode ilmiah yang diagung-agungkan barat ternyata sukses menggiring para ilmuwan untuk menjadi kafir. Laplace, seorang ahli matematika menjadi kafir atas nama metode ilmiah, Darwin yang sebelumnya kristen juga kafir atas nama scientific method, lalu Sigmund Freud, seorang psikolog, Durkheim (sosiolog) juga menjadi kafir karena menggunakan metode ilmiah.

Dulu dalam sejarah Islam, kita mengenal imam al-Ghazali sebagai ulama yang sangat kritis. Ketika beliau mendapati ada sedikit persoalan keagamaan digoyang, beliau langsung responsif. Padahal, yang mengoyangnya sendiri adalah Ibnu Sina, ulama besar yang tentu masih religious. Sementara kita, yang mengaku-ngaku sebagai pengikut al- Ghazali justru cenderung tidak bersikap kritis, kita sedemikian bangga mengajarkan ilmu yang diciptakan oleh orang barat yang sekuler, tanpa sedikit pun menaruh curiga. Jangan-jangan ilmu yang kita ajarkan ini justru menggiring murid-murid kita menjadi sekuler. Dan tanpa kita sadari, jangan-jangan, kita ikut menyumbang dosa. Inilah yang perlu sungguh-sungguh kita perhatikan.

Tentang metode dalam mencapai kebenaran, ada ulama yang hanya mau menerima kebenaran yang bersumber dari Allah saja yang ditransfer melalui al-Qur’an dan Hadis. Dalam menggapai kebenaran, mereka mengunakan metode yang sangat normatif dogmatis, dengan melakukan pengawalan yang ketat dalam proses pengambilan dari al-Qur’an dan Hadis. Kalangan ini tidak percaya dengan kebenaran indera, begitu juga kebenaran akal. Mereka meninggalkan metode observasi, dan menolak logika, sebagai metode berpikir. Mereka berkata, “Bukankah sudah ada al-Qur’an dan Hadis, mengapa masih mencari kebenaran melalui jalan lain”.

Dalam al-Qur’an pun juga banyak anjuran agar umat islam menuntut ilmu. Dalam al-Qur’an banyak perintah agar kita membaca (iqra’), melakukan observasi (afala yarauna), eksplorasi (afala yandzuruna) dan ekspedisi (siru fil ardhi), melakukan “inference to the best explanation” yang dalam istilah falsafah sains kontemporer serta berfikir ilmiah rasional (liqoumin yaaqilun, yatafakkarun).

Banyak dalam kalangan Islam orang-orang yang melumpuhkan akal. Sekedar contoh, dalam pesantren misalnya, sampai saat ini masih banyak ditemukan kasus adanya pesantren yang mengajarkan logika kepada santri-santrinya. Namun, pada saat yang sama melarang menggunakan logika untuk mengkritik gurunya. Lucu memang, jika begitu, buat apa logika itu diajarkan. Logika itu menjadi tumpul tatkala berhadapan dengan kiai. Tentu saja, cara pandang ini bertentangan dengan tradisi keilmuan yang berkembang dalam Islam.

Dalam sejarah tercatat, Imam al-Ghazali mengkritik Imam Kharamain, begitu pedas kritiknya sampai imam Kharamain mengatakan, “Ghazali, apa yang telah engkau lakukan sama saja menguburku hidup-hidup. Kenapa Engkau tidak bersabar, menunggu aku meninggal dulu”. Banyak di antara kita yang mengaku sebagai pengikut al-Ghazali. Namun pada saat yang sama kita tidak setia dalam mengikuti tradisi kritis beliau. Kita tidak berani melakukan kritik lantaran kita takut kualat.

Umat Islam percaya bukan hanya pada yang dilihat, tetapi juga pada hal yang tidak dapat dilihat, sehingga Islam menilai baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat sebagai objek yang sah dalam ilmu pengetahuan, itulah integrasi. Dalam istilah filsafatnya objek yang empiris disebut mahsusah dan yang tidak bisa dilihat oleh mata tetapi bisa dirasa disebut ma’qulat. Misalnya manusia, ia bukanlah makhluk fisik semata. Selain memiliki tubuh, dia juga memiliki pikiran. Manusia dapat berkembang karena mempunyai pikiran. Pikiran tidak dapat dilihat, tetapi kita pasti yakin keberadaannya. Contoh lain adalah Allah, malaikat, dan hal-hal non-fisik lainnya. Meskipun kita tidak tahu keberadaannya namun kita yakin akan keberadaannya. Alam ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya, karena sesungguhnya alam itu adalah akibat. Akibat pasti membutuhkan sebab, dan Allah adalah sebab dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

Dalam Islam, ilmu di definisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Artinya ilmu yang ada harus berkaitan dengan kenyataan/realita. Jika ilmu tidak berhubungan dengan kenyataan maka ilmu tidak memiliki objek. Contohnya “bintang kecil, di langit yang biru”. Pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan sebegai ilmu karena bertentangan dengan kenyatannya. Faktanya tidak ada bintang yang kecil. Besarnya bintang adalah seribu kali matahari. Besar matahari sekian ribu kali bumi. Jadi, yang seribu kali lebih besar itu tidak mungkin kecil. Pernyataan bahwa bintang itu kecil tidak berhubungan dengan kenyataan. Karenanya pernyataan tersebut bukan merupakan ilmu.

Dalam Islam juga dikenal sebutan hierarki wujud, sesuatu yang tidak dikenal di barat. Sementara dalam Islam, wujud itu dinyatakan dalam hierarki. Ada wujud yang tampak/fisik, ada wujud yang tidak tampak/non-fisik. Ada wujud yang seolah-olah seperti fisik, namun bukan fisik yang disebut dengan imajinal world. Contohnya ketika kita tidur kita melihat sesuatu dalam mimpi. Mimpi itu seperti fisik tapi sebenarnya dia bukan fisik.

Berbeda dengan tradisi barat, sumber ilmu dalam Islam tidaklah satu. Islam mengakui indera sebagai sumber ilmu bagi ilmu-ilmu yang bersifat fisik. Selain indera Islam juga mengakui sumber ilmu lain, seperti akal, hati, bahkan ada juga yang menambahkan wahyu sebagai sumber ilmu. Dengan demikian dalam Islam terdapat tiga sumber ilmu pengetahuan yang dianggap sah. Menurut Islam, Allah telah menganugerahkan indera, akal, dan juga hati pastilah dengan kegunaan masing-masing, dan satu dengan yang lainnya tidak saling tergantikan. Tidak mungkin akal diciptakan jika tidak ada gunanya, begitu juga hati dan indera.

Dalam kitab Misykatul Anwar milik Imam Al Ghazali, beliau memuji akal dengan mengatakan

DENGAN AKAL TIBA-TIBA KITA BISA MELIHAT PEMIKIRAN ORANG, IDE SESEORANG DAN DENGAN AKAL KITA BISA MELIHAT RUMAH YANG KITA TINGGALKAN. DAN DENGAN AKAL KITA BISA MENGETAHUI DIRI KITA, DENGAN AKAL KITA BISA MENGETAHUI PENGETAHUAN DIRI KITA DAN DENGAN AKAL KITA BISA TAHU PENGETAHUAN TENTANG DIRI KITA”.

NAMUN, INDERA DAN AKAL BELUM CUKUP UNTUK MENANGKAP SELURUH OBJEK PENGETAHUAN. DALAM TRADISI ISLAM, ILMU PENGETAHUAN JUGA MEMBUTUHKAN HATI. BANYAK HAL YANG TIDAK BISA DIPAHAMI OLEH AKAL, MAKA DISITULAH PERAN HATI UNTUK MAMPU MEMAHAMI. DALAM HAL MELIHAT TUHAN, ISLAM TIDAK MENGGUNAKAN INDERA UNTUK MELIHAT TUHAN, TETAPI MENGGUNAKAN HATI. DALAM TRADISI ISLAM, USAHA UNTUK MENDAPATKAN KEBENARAN DIKENAL EMPAT METODE, YAITU TAJRIBI (EXPERIMENTAL METHOD), BURHANI (DEMONSTRATIVE METHOD), IRFANI DAN BAYANI.

Orang Barat menolak keabsahan ilmu agama, atau tidak mengakui ilmu agama sebagai ilmu, karena ilmu agama berhubungan dengan objek-objek non fisik, padahal menurut orang Barat, sesuatu bisa disebut sebagai science jika objek-objeknya empiris.

Tentang metode dalam mencapai kebenaran, orang Barat hanya meyakini observasi dan eksperiman sebagai satu-satunya metode yang valid. Dengan demikian, objek yang diakui hanyalah objek-objek empiris. Dalam tradisi Islam, Tuhan tidak bisa diempiriskan. Islam mengakui metode empiris, (metode tajribz), namun metode empiris bukanlah satu-satunya metode yang digunakan, karena orang Islam meyakini bahwa objek bukan hanya empiris saja.

Orang barat mengatakan, bahwasanya alam semesta terjadi secara co-insident, terjadis secara kebetulan dan tidak ada yang merancangnya. Tetapi apakah sesuatu yang demikian hebatnya itu muncul secara kebetulan. Akal sehat mengatakan sesuatu yang hebat tersebut tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Dalam kepercayaan orang barat, hal-hal yang tidak berwujud tidak mereka percayai. Mereka lebih percaya pada hal-hal yang tampak/berwujud saja. Bagi orang barat tidak ada hierarki di dunia bahkan hierarki antara Tuhan, malaikat, manusia, dan hewan. Tidak ada pula hierarki antara manusia, tidak ada hierarki laki-laki dan perempuan. Bahkan kaum feminis tidak menyukai adanya hierarki laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada perempuan.

Dalam tradisi keilmuan barat, mereka meyakini bahwa sumber ilmu itu hanya satu, yaitu sense perception. Hanya persepsi indera yang dianggap sah sebagai ilmu pengetahuan, karena pengetahuan yang sah adalah sebagai ilmu alam. Jadi, sumbernya pun harus bersifat fisik. Orang barat meragukan intelek dan intuisi. Bagi mereka sumber itu adalah halusinasi dan harus ditinggalkan.

Orang barat mengatakan bahwa satu-satunya metode ilmu yang dapat digunakan untuk memperoleh suatu ilmu adalah dengan eksperimental method, atau dengan menggunakan observation. Padahal observasi bisa berfungsi pada hal-hal yang mungkin bisa diobservasi, yaitu benda-benda yang tampak oleh indera. Sedangkan bagaimana mengobservasi benda-benda yang tak kasat mata seperti Allah dan malaikat. Orang Rusia pernah pergi ke bulan kemudian dia mengatakan “saya tidak percaya Tuhan, karena di bulan saya tidak melihat Tuhan”. Kenyataannya dimanapun dia berada dia tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena dia mengobservasi Tuhan dengan cara yang salah.

Jika ditinjau secara keislaman, terdapat kesatuan antara ilmu, iman, dan amal. Sebaliknya konsep ilmu barat sekuler meniadakan dan memisahkan iman dari ilmu sehingga ilmu bagi orang barat melahirkan saintis ilmu tanpa iman. Ilmu pengetahuan tanpa keyakinan terhadap Tuhan akan menyesatkan dan bahkan anti terhadap agama. Ilmu tanpa hidayah dan hikmah membuat para ilmuwan kian jauh dari keimanan.

Pada masa modern ini, ketika ilmu pengetahuan meluas dan sudah banyaknya rahasia ilmu yang terungkap, manusia sudah mulai mengerti banyak isyarat-isyarat Al Qur’an. Jika seorang ilmuan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan, maka imannya akan diperkuat dengan keilmuanya. Kajian tentang alam direkomendasikan untuk menemukan pola-pola Tuhan pada alam semesta dan memanfaatkannya demi kemaslahatan umat manusia. Pemahaman terhadap pola ini akan melahirkan teori-teori baru yang kemudian menghasilkan teknologi sebegai penerapan sains.

Muhammad Iqbal pernah mengungkapkan ketika ia menyadari dampak negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Fungsi pendidikan Islam dalam menanggulangi dampak negatif adalah untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian. Dengan mengintegrasikan agama dan ilmu pengetahuan merupakan cara yang tepat menuju kemudahan dan kesejahteraan bagi umat manusia.

Dalam konteks integrasi ilmu ini, sebenarnya pertanyaan yang muncul adalah, ketika kita menuntut ilmu, sebenarnya apa yang hendak kita cari? Dalam menjawab hal tersebut Islam mempunyai pandangan tersendiri. Puncak dari pencarian ilmu bagi islam adalah mencari kebenaran puncak, kebenaran yang hakiki. Puncak dari kebenaran itu adalah Allah. Kebenaran ini menjadi sumber dari semua integrasi. Dari sini, integrasi yang mungkin dapat kita lakukan adalah, menganggap ilmu-ilmu agama sebagai ilmu-ilmu yang keluar dari kajian mendalam terhadap Al-Qur’an, ulumul hadits, ulumul fiqih, tasawuf, semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan menganggap ilmu umum sebagai hasil-hasil dari pengkajian yang mendalam terhadap alam.

Kita menyadari bawa dunia yang dialami oleh kita sekarang mengalami perkembangan yang semakin maju dalam hal pengetahuan. Di sisi lain, ilmu-ilmu agama yang merupakan produk masa lalu tetap dijadikan landasan dan pijakan dalam menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Jadi, tidak seharusnya menjadikan ilmu masa lampau untuk konteks sekarang, karena bagaimanapun ilmu-ilmu itu merupakan hasil dialektika antara dirinya dengan realitas di luarnya lewat campur tangan manusia. Inilah yang sampai sekarang tetap menjadi wacana subur bagi tradisi Islam. Persoalannya, bagaimana kita membangun dan mengembangkan ilmu-ilmu itu sehingga mendpatkan paradigma dalam berbagai dimensinya.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, semua kembali kepada kesadaran kita sebagai pelaku sejarah. Lebih-lebih pada sarjana muslim. Karena sesungguhnya pembaharuan yang dilandasi oleh dasar ideologis, tanpa disadari ilmiah terhadap warisan budaya tidak kalah bahayanya dengan taqlid.

Tantangan yang paling besar menurut penulis adalah, bagaimana kita sebagai muslim dan sebagai calon sarjana mencoba mensadrakan diri tentang kehidupan beragama dan bersosial. Dalam hal pendidikan, bagaimana kita menyeimbangkan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Dalam konteks ini, sebenarnya peran keluarga sangat penting bagi kelangsungan cara berpikir seseorang.

Mengenai pembelajaran integrasi ilmu agama dan ilmu barat ini, penulis merasa bahwa sebenarnya sudah sangat tepat terobosan ini. Sesuai apa yang penulis rasakan ketika memahami perbedaan antara ilmu yang dikawal oleh agama islam dengan ilmu yang dikawal oleh orang barat yang notabene bukan beragama muslim. Hal paling sederhana adalah mengenai penempatan akal dan hati. Memang banyak sekali hal yang dapat diilmiahkan dari fenomena-fenomena yang ada. Misalnya tentang orang yang selamat dari kecelakaan karena izin Allah. Dalam keilmuan barat hal tersebut akan terus diobservasi dan diteliti terlebih dahulu agar kebenaran dapat diterima. Berbeda dengan pandangan muslim. Dalam pandangan muslim, hukum sebab-akibat memang masih dipercaya, sehingga dalam menanggapi suatu hal atau fenomena, alat analisinya menggunakan akal dan hati.

* Penulis adalah Tenaga Pengajar ilmu Keislaman (Pendidikan Agama Islam) di sekolah-sekolah dasar

Sumber:

Syamsuddin, Arif. Sains di Dunia Islam: Telaah Historis-Sosiologis dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn II No. 6/Juli-September 2005, hlm. 86-87

Kartanegara, Mulyadi, dalam buku On Islamic Civilization : Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam. Semarang, Unissula Press, 2010.

Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu, Bandung, PT Mizan Pustaka, 2005.

Mahzar, Armahedi dalam buku Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung, PT Mizan Pustaka, 2005.

Masruri, M. Hadi & Rossidy, Imron. Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, Malang, UIN Press, 2007.

Mustofa, M. Luthfi. Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang, Bayu Media Publishing, 2004.

Mustofa, M. Lutfi, Syaifuddin, Helmi. Intelektualisme Islam Melacak Akar-Akar Integrasi Ilmu dan Agama. Malang, LKQS UIN Malang, 2006.

Mustopo, Ali. Integrasi Agama dan Ilmu Pengetahuan, Jurnal Al Afkar, Vol.V. No.2, Oktober 2017.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here