Apabila kita mengamati fenomena kehidupan umat manusia, kita akan menemukan suatu kenyataan bahwa mereka adalah pemeluk dari suatu agama tertentu, dalam kenyataan yang demikian itu terlihat bahwa agama menempati kedudukan yang penting dalam kehidupan manusia. Pada saat yang sama ketika realitas menunjukan bahwa agama diperlukan dan dianut oleh hampir seluruh umat manusia maka dapat dikatakan bahwa agama merupakan sebuah fenomena universal, banyak dan beragamnya agama yang dipercayai dan dianut oleh manusia mulai dari masyarakat yang kehidupanya primitif sampai pada  masyarakat modern. Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal. Artinya, bahwa semua masyarakat mempunyai cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama.

Dalam kaitanya dengan gerakan sosial, banyak terjadi suatu gerakan dalam masyarakat baik itu gerakan yang berlandaskan keagamaan ataupun gerakan yang berlandaskan kepentingan yang lain. Di indonesia sendiri khususnya agama Islam, banyak terdapat gerakan sosial keagamaan yang bertujuan menegakkan syariat Islam yang telah berlangsung lama. Sejarah politik negeri ini mencatat bahwa tidak lama berselang setelah proklamasi kemerdekaan sejumlah anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terlibat perdebatan sengit di seputar kemungkinan penerapan syariat Islam sebagai ideologi negara. Dari sini terlihat bahwa mereka memiliki kepentingan tersendiri dalam menentukan prinsip ideologi negara yang kemudian dapat memicu munculnya suatu gerakan sosial.

Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara berfikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut agama. Yinger dalam (Ishomudin, 2002) mengemukakan bahwa agama merupakan suatu sistem kepercayaan dan praktik dimana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia.  Durkheim mengungkapkan bahwa karakteristik agama yang penting ialah bahwa agama diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci atau sakti yakni objek referensi, yang dihargai dan malah dahsyat.

Geertz dalam (Betty, 1995) mendefinisikan agama sebagai sistem lambang yang berfungsi menegakan berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan luas dan abadi pada manusia dengan merumuskan berbagai konsep mengenai keteraturan umum konsistensi dan dengan menyelubungi konsepsi-konsepsi ini dengan sejenis tuangan faktualitas sehingga perasaa-perasaan dan motivasi-motivasi itu secara unik tanpak realistis. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Durkheim yang menekankan peribadatan kolektif meskipun membiarkan kemungkinan-kemungkinan lain tetap terbuka, definisi yang dikemukakannya berhasil menampilkan secara jelas berbagai kegiatan politik atau moral kedalam cakupan gejala keagamaan dimana peribadatan-peribadatan kolektif memainkan peranan penting dan para pelakunya. Konsep-konsep mereka mengenai keteraturan umum eksistensi menyebabkan perasaan dan motivasi mereka secara unik tampak realistik gerakan-gerakan nasionalis, komunis dan fasis dengan mudah dimasukan.

Konsep gerakan sosial perlu dibedakan dengan konsep gerak sosial. Gerak sosial lebih dimaknai sebagai proses mobilitas sosial (social mobility), dimana terjadi proses perpindahan seorang individu dari status yang satu ke status yang lain, baik pada derajat yang sama (mobilitas horizontal) maupun pada derajat yang berbeda (mobilitas vertikal). Sedangkan menurut Sunarto, gerakan sosial pada hakikatnya merupakan hasil perilaku kolektif, yaitu sebuah perilaku yang dilakukan bersama-sama oleh sejumlah orang yang tidak bersifat rutin dan perilaku mereka merupakan hasil tanggapan atau respons terhadap rangsangan tertentu.

Gerakan sosial adalah hasil perilaku kolektif yaitu yang dilakukan bersama-sama oleh sejumlah orang yang tidak bersifat rutin dan perilaku mereka merupakan hasil tanggapan atau respon terhadap adanya rangsangan tertentu. Namun gerakan sosial berbeda dari perilaku kolektif karena gerakan sosial sifatnya lebih terorganisir dan lebih memiliki tujuan dan kepentingan bersama dibanding perilaku kolektif. Perilaku kolektif dapat terjadi secara spontan, namun gerakan sosial memerlukan sebuah proses pengorganisasian massa. Giddens dalam (Martono, 2012) menjelaskan konsep gerakan sosial sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar konsep suatu kepentingan bersama, atau gerakan yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah ada.

Gerakan sosial lazim dikonsepsikan sebagai kegiatan kolektif yang dilakukan kelompok tertentu untuk menciptakan kondisi sesuai dengan cita-cita kelompok tersebut.  Bagi mereka, kehidupan masyarakat seperti yang ada pada saat ini dirasakan semakin tidak mampu menciptakan kesejahteraan, karena itu perlu diganti dengan tatanan sosial baru yang lebih baik. Tatanan sosial baru tersebut harus bersumber pada salah satunya adalah nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil garis besar bahwa gerakan sosial keagamaan merupakan hasil perilaku kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan.

Secara teoritis, timbulnya sebuah gerakan sosial yang baru akibat dari dua hal yaitu teori ketidakpuasan (discontent theory) dan teori ketidakmampuan penyesuaian diri pribadi (personal mal adjustment theory). Artinya, munculnya gerakan-gerakan sosial keagamaan di berbagai negara tidak serta merta muncul dengan sendirinya, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang melatar belakanginya. Secara umum dan teoritis faktor terbentuknya gerakan sosial keagamaan tersebut antara lain sebagai berikut;

Ketegangan struktural dan politik

Pendekatan awal terhadap studi gerakan sosial bersumber dari ulasan-ulasan psikologi sosial fungsional tentang perilaku massa. Titik tolak analisis tersebut ialah asumsi bahwa keseimbangan sistem merupakan suatu kondisi sosial yang natural dan stabil. Dari perspektif ini, masyarakat secara organis menghasilkan infrastruktur kelembagaan yang mengatur keseimbangan diantara input dan output dalam sistem politik. Tuntutan-tuntutan sosial diakomodasi oleh lembaga-lembaga yang responsif, mampu menyalurkan dan menangani begitu banyak kepentingan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang optimal. Kebijakan-kebijakan ini nantinya akan berfungsi untuk meredakan berbagai tuntutan dan memelihara keseimbangan sistem tersebut. Bagi kaum fungsionalis, ketidakseimbangan sistem bersumber dari ketegangan-ketegangan struktural eksogen yang menghasilkan ketidakpuasan baru dan mengikis efisiensi lembaga-lembaga, menghasilkan disfungsi-disfungsi berupa patologis yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik. Jika kemampuan kelembagaan tidak dapat mengakomodasi tuntutan-tuntutan baru masyarakat, maka akan mengakibatkan munculnya ketegangan sosial dan kekacauan politik (Huntington, 1968).

Model teori gerakan sosial klasik tersebut mengandaikan suatu hubungan kausal yang linear dimana ketegangan-ketegangan struktural mengakibatkna ketidanyamanan psikologis yang pada gilirannya nanti akan menghasilkan tindakan kolektif. Beranekaragam ketegangan seperti industrialisasi, modernisasi atau krisis ekonomi jelas akan mengganggu kehidupan sosial dan rutinitas umum dan dengan demikian pula akan menimbulkan ambiguitas normatif dan sosial tentang bagaimana menanggapi kondisi yang berubah. Teori tentang massa menyatakan bahwa terkikisnya kelompok perantara masyarakat dan politik mengakibatkan munculnya perasaan anomi, keputusasaan dan kecemasan sosial yang semakin besar. Perasaan keterasingan dan ketidakmampuan berhadapan dengan perubahan sosial dipercaya mendorong individu-individu untuk bergabung dengan gerakan-gerakan sosial. Gerakan sosial tersebut dengan demikian dilihat sebagai mekanisme pelarian diri, yang mana melaluinya individu-individu mendapatkan kembali perasaan bersatu dan berdaya. Meskipun terdapat berbagai macam varian dan teori gerakan sosial awal, namun semuanya memiliki pemahaman yang sama tentang gerakan sosial sebagai mekanisme-mekanisme untuk mengatasi ketidaknyamanan psikologis yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan struktural dan politik.

Beberapa ahli menjabarkan lebih jauh argumennya tentang ketegangan tersebut dan menegaskan bahwa bentuk tepat aktivisme keagamaan secara langsung berkaitana dengan intensitas krisis tersebut. dekmejian mewakili perspektif ini dengan menyatakan bahwa “lingkup dan intensitas reaksi fundamentalis yang berkisar dari kebangkitan spiritual hingga kekerasan revolusioner bergantung pada seberapa mendalam dan luasnya lingkungan krisis” (1995 : 6). Ketegangan yang semakin meningkat dianggap sebagai sebabmunculnya tanggapan yang semakin kuat, dimana individu-individu berusaha untuk menjangkarkan diri mereka kembali atau mengatasi ketidakpuasan melalui agama (Esposito, 1992).

Sumber Daya dan Struktur Mobilisasi

Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) mencul sebagai tanggapan terhadap berbagai kelemahan dari pendekatan gerakan sosial model sosial-psikologis fungsionalisme di atas, yang mana TMSD melihat gerakan-gerakan sebagai sesuatu yang rasional, suatu manifestasi tindakan kolektif yang terorganisir. TMSD sebagai sebuah pendekatan menegaskan bahwa sementara ketidakpuasan tersebar luas namun gerakan tidak ada. Akibtaknya ada variabel-variabel perantara yang menerjemahkan tiap-tiap ketidakpuasan menjadi suatu pernyatan yang terorganisasi. Bagi TMSD, sumber daya dan struktur-struktur mobilisasi seperti organisasi gerakan sosial yang formal diperlukan untuk menciptakan ketidakpuasan kolektif, yang tanpa itu kepuasan akan tetap merupakan ketidakpuasan individual. Gerakan sosial tidak dilihat sebagai ledakan tidak rasional yang ditujukan untuk meringankan ketegangan psikologis, tetapi lebih sebagai suatu pernyataan yang terorganisasi dan terstruktur melalui mekanisme-mekanisme mobilisasi yang memberikan sumber-sumber daya strategis bagi tindakan kolektif yan berlanjut.

TMSD yang berakar dari masyarakat-masyarakat barat menekankan dimensi rasional dan strategis dari gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat-masyarakt demokratis liberal (Obershal, 1973). Gerakan sosial membentuk wadah bagi mobilisasi, mekanisme komunikasi dan staf-staf profesional melalui sebuah proses birokratisasi dan diferensiasi kelembagaan yang didesain untuk mengkoordinasi dan mengorganisasikan dampak serta pengaruhnya. Pentingnya sumber daya organisasi dapat penyusun contohkan masjid misalnya, merupakan lembaga utama keagamaan bagi masyarakat muslim dan seringkali dimanfaatkan sebagai suatu struktur mobilasasi religio-spasial oleh berbagai kelompok Islam. Dalam struktur fisik masjid, kalangan Islami menyelenggarkan khutbah dan kelompok-kelompok studi untuk menyebarkan pesan gerakan tersebut, mengorganisasi tindakan kolektif dan merekrut anggoota baru. Masjid juga menawarkan jaringan organik dan nasional yang menghubungkan komunitas aktivis diberbagai tempat. Meskipun peran masjid sebagai “ruang bebas” telah merosot pada akhir-akhir ini karena rezim-rezim memperluas kontrol negara atas lembaga-lembaga publik, namun dalam hal ini mobilisasi juga analog dengan penggunaan gereja oleh gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat (McAdam, 1982).

Selain itu, LSM-LSM dan gerakan filantropi juga merupakan salah satu gerakan yang memanifestasikan tindakan kolektif yang terorganisir, dimana juga merupakan kumpulan organisasi tingkat menengah lain yang umum digunakan masyarakat (Sullivan, 1994). LSM-LSM keagamaan yang membuat struktur fisik seperti klinik medis,rumah sakit, yayasan derma, pusat budaya dan sekolahan-sekolahan menyediakan barang dan jasa dasar untuk menjawab persoalan sehari-hari masyarakat pemeluknya. Dalam konteks organisasi ini, aktivitas keagamaan tidak hanya memberikan layanan-layan sosial yang diperlukan (sering kali di wilayah-wilayah dimana program-program negara tidak berlangsung efektif), melainkan juga memanfaatkan interaksi sosial dengan komunitas-komunitas lokal untuk menyebarluaskan pesan dan merekrut anggota. Organisasi-organisasi yang berakar dalam aktivitas-aktivitas pembangunan sosio-ekonomi ini menggambarkan suatu wajah publik yang bersahabat dan mendukung peran agama tanpa secara langsung menentang rezim meskipun aktivitas-aktivitas tersebut mungkin memperlihatkan ketidakmampuan negara untuk menangani secara efektif persoalan sosio-ekonomi (Sullivan, 1994).

Kesempatan dan Hambatan Dinamika Sosial

Gerakan-gerakan sosial tidak beroperasi dalam ruang hampa. Mereka adalah bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas, yang dicirikan oleh berbagai konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah-ubah sacara cair yang menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasan, ketersediaan sumber daya atau kelaziman struktur mobilisasi, para aktor kolektif dalam gerakan sosial dibatasi dan diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang sering kali membatasi kemungkinan gerakan dan daftar taktik, tindakan serta pilihan. Faktor eksogen yang terpenting tersebut menrut para ahli ialah pembukaan dan penutupan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substantifnya (Gamson & Meyer, 1996).

Kendati pendekatan ini memusatkan perhatiaannya pada faktor-faktor struktural, namun ia memiliki asumsi yang serupa dengan TMSD. Yakni kesamaan asumsi dasar bahwa perseteruan gerakan sosial berasal dari aktor-aktor rasional. Meskipun analisa strukturalis gerakan sosial terutama memusatkan perhatian pada cara-cara dimana kondisi-kondisi struktural mempengaruhi dinamika gerkan sosial, terdapat asumsi bahwa ketika para aktor menyadari terdapatnya kesempatan dan ancaman, maka secara rasional akan memberikan tanggapan untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan untuk mengatasi kesulitan (Berijikian, 1992).  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial keagamaan dibentuk olah aktor-aktor atau aktivis-aktivis sebagai pemikir strategis yang dipengaruhi oleh kesempatan dan hambatan dinamika sosial yang ada disekitarnya.

Ideasional dan Proses Pembingkaian (Framing)

Sejak tahun 1980-an para teoritisi gerakan sosial tertrik pada peran faktor-faktor ideasional, antara lain interaksi sosial, makna/identitas dan budaya. Selain dimensi strategis dan strukturalis dari mobilisasi yang digambarkan dalam Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) dan model proses politik, teori gerakan sosial semakin kuat mengkaji tentnag bagaimana individu dapat mengkonseptualisasi diri merka sendiri sebagai kolektifitas : bagaimana para calon peserta/aktor gerakan sosial diyakinkan untuk berpartisipasi dan cara-cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan sosial melalui proses interaktif. Dalam perkembangannya sebuah pendekatan teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya mewujudkan dirinya melalui studi tentang pembingkaian (framing).

Bingkai (frame) merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa di dunia luar. Bagi gerakan sosial, skema-skema ini penting untuk menghasilkan dan menyebarkan penafsiran-penafsiran gerakan dan dirancang untuk memobilisasi para aktor serta merangsang tindakan kolektif. Istilah “pembingkaian” (framing) digunakan untuk menggambarkan proses pembentukan makna (Snow, 1986).

Dari faktor-faktor tersebut, maka lahirlah gerakan-gerakan sosial keagamaan yang bervariatif, seperti Hindhuisme, Budhaisme, reformasi gereja dan filantropi Islam yang mungkin nanti akan dijelaskan dilain waktu.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN MALIKI Malang, Pegiat Kajian Sosiologi Pendidikan dan Penggagas Forum Kajian Simposium

Sumber:

Lembaga pengkajian dan Penelitian WAMY, (2002). Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (akar ideologis dan penyebarannya), Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat.

Wiktorowicz, Q. (2012). Gerakan Sosial Islam (teori, pendekatan dan studi kasus), Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina.   

Pendit, N. S. (1993). Aspek-aspek Agama Hindu, Jakarta: Pustaka Menik Geni

Martono, N. (2012).Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Pers

Haikal, H. (1989). Renaissane dan Reformasi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Integrasi beberapa Jurnal

About The Author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here