image by altexploit.wordpress.com
Prof. Hans-Georg Gadamer in seinem Heidelberger Arbeitszimmer Bild: Rothe, 13.07.1999

Keilmuan-keilmuan terus dibangun atas-dasar-dasar pendahulunya, mulai dengan mengembangkannya, sampai mengkritiknya. Heidegger misalnya, ia mengkritik para hermeneutik pendahulunya, Schlemacher dan Dilthey yang menjadikan verstehen ke ranah metodelogis, atau epistemologis.

Namun Heidegger berbeda, ia menjadikan verstehen ke ranah lebih dalam, yaitu otologis sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pembahasan kali ini juga mengacu, dan mengkritik dua pendahulu Heidegger, serta juga kritik terhadapnya dengan menampilkan konsep pada keilmuan hermeneutik; Horizontverschmelzung yang dianggap belum dibahas oleh gurunya, Heidegger. Tokoh itu bernama Hans-Georg Gadamer.

Gadamer adalah sosok pria yang berkelahiran di Marbrug Jerman 11 Februari 1900 M. Dia terdidik oleh keluarga akademis. Seperti para pendahulunya, ia juga terdidik oleh keluarga akademisi. Namun sangat berbeda dengan para pendahulunya, kalau Schlemacher, Dilthey maupun Heidegger hidup di lingkungan keluarga yang agamis, teologis, sedangkan Gadamer hidup di lingkungan yang kontra terhadap teologis yang gak jelas, atau sifatnya praduga-prasangka, sehingga tidak heran bila ayahnya meremehkan para professor humaniora sebagai “Schwatzprofessoren” atau para professor gosip.

Namun tidak menutup kemungkinan sang anak berada di rel yang berbeda dengan sang ayah, ia lambat laun, yang asalnya lebih suka di bidang “strategi militer” beralih ke kesusastraan dan bahasa-bahsa kuno, sampai puisi-puisi Stefan George yang banyak diminati pada waktu itu.

Gadamer membuktikan bahwa ia benar-benar suka dan terjun, bergelut di bidang humaniora -yang dibenci oleh ayahnya- dengan masuk studi kesusastraan, sejarah, seni, psikologi dan filsafat di Universitas Breslau, lalu pindah dan melanjutkan ke Universitas Marburg. Di sana ia menyelesaikan disertasinya yang berjudul Das Wesen der Lust in den platonischen Dialogen: “Hakikat Nafsu dalam dialog-dialog Plato” pada tahun 1922 M. Meskipun sang rektor, ayahnya sendiri tidak merestui putranya, Gadamer berada di kelas filsafat.

Ia tetap menatap dan berjalan di bidang filsafat, sehingga pada akhirnya, ia dipertemukan dengan Heidegger, yang nantinya sebagai gurunya dalam hermeneutika. Bahkan gurunya, “Heidegger pernah meyakinkan ayah Gadamer bahwa anaknya akan memiliki karier yang cemerlang dalam filsafat”. Dugaan gurunya, Heidegger terbukti terhadap bakat muridnya, Gadamer dalam filsafat. Ia, Gadamer telah menghadiahkan karyanya yang fenomenal, bahkan diterjemahkan ke berbagai bahasa, salah satunya Wahrheit und Methode. Ia meninggal pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.

Mengkritik Romantisme dan Historisme

Untuk mengetahui apa yang disebut “meninggalkan romantisme dan historisme”, tentunya juga merujuk siapa penggagasnya, yaitu Schlemacher dan Dilthey. Sebagaimana adat akademisi Barat, seorang ilmuwan tidaklah membangun asumsi-asumsi suatu pemikiran, terkecuali melewati pendahulunya yang masih ada kaitan dengan asumsi-asumsinya. Setidaknya ia mengkritik, ataupun mendukung dengan mengembagkannya. Gadamer mempunyai riwayat keduanya, ia mengkritik Romantisme milik Schlemacher dan Historisme milik Dilthey, sebagaimana dilakukan oleh gurunya, Heidegger.

Khusus kritik terhadap Romantisme, Gadamer mengkuak jalannya Schlemacher itu terpaku pada “seni memahami keasingan, teks-teks kuno” dan “kesalahpahaman”. Kritik itu disandarkan, dan menjawabnya oleh Gadamer dengan “Hermeneutik ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan” yang nantinya berurusan dengan konsep “Bildung” dan dengan Verstandigung atau kesepahaman yang memungkinkan lebih baik tinjauannya daripada kesalahpahaman, begitu juga sifatnya primer daripada kesalahpahaman yang sifatnya sekunder.

Setelah itu, Gadamer mengkritik Historisme Dilthey. Menurutnya, Dilthey dianggap tidak konsisten dalam konsep Historismenya. Ia menyatakan, sebagaimana tercatat oleh F. Budi Hardiman, setidaknya ada tiga hal. Pertama, Dilthey telah menguniversalkan sajarah, sehingga subyek, manusia dapat bergerak bebas.

Pandangan ini mengacu pada filsafat kesadaran Descartes tentang subyek universal. Namun, nilai historitas sendiri, manusia bergerak dalam sejarah dan tidak dapat merubahnya kembali. Kedua, kesadaran historis dibentuk oleh Dilthey sebagai kesadaran “akan” sejarah, bukan kesadaran “dalam” sejarah.

Konsep yang terpengaruhi oleh Cartesian itu menyempitkan, dan terpaku pada pengetahuan saja, sedangkan pengetahuan itu sendiri ikut menyejarah. Hal ini, Gadamer memperlihatkan cara jitu mengenai pergulatan “kesadaran” terhadap “sejarah” dengan konsep barunya, Wirkungsgeschichte atau sejarah pengaruh.

Ketiga, Dilthey seorang penjunjung Lebensphilosophie yang mestinya merujuk pada ilmu pengetahuan dan filsafat dari kehidupan historis manusia dan kesadaran ada di dalamnya, bukan malah sebaliknya, karena sejarah itu sendiri membentuk kesadaran, bukan kesadaran yang membentuk sejarah.

Rehabilitasi Prasangka, Otoritas dan Tradisi dalam Filsafat Romantisme dan Pencerahan

Setelah mengkritik dua pendahulunya itu, Schlemacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritisi klaim-klaim ahli metafisis yang mendiskreditkan “prasangka” yang menjadi pilar utama dalam berfilsafat disebut sebagai penilaian yang tidak mempunyai dasar. Singkatnya, suatu yang tidak bersandar pada empiris, maka tidak memiliki dasar dan justifikasi metodis, sedangkan sains memiliki keduanya.

Masa pencerahan pada saat itu, bahkan di lingkungan Gadamer, ayahnya yang sangat berkutat terhadap sains, dan anti-teologis, termasuk anti-Romantisme dengan lebih mengkedepankan empiris, daripada prasangka-prasangka yang abstrak, sebagaimana yang diterapkan dalam hermeneutika untuk pra-pemahamannya. Namun, titik tolak di zaman pencerahan dalam kasus “prasangka” menurut Gadamer terdapat pada otoritas dan tradisi. Jadi, adanya “prasangka” yang menurut mereka menjadi beban, sebab tidak empiris, sebagaimana dalam ranah teologis mengandung otoritas dan tradisi yang harus diperiksa di bawah cahaya akal.

Akan tetapi menurut Gadamer dorongan Pencerahan untuk memakai akal sebagai kekuatan superior itu pun sebuah prasangka, bahkan sebuah penelitian yang dilakukan secara terus-menerus, akan menjadi tradisi akademisi yang harus dijaga, begitu juga otoritas yang mengalir bersama dengan tradisi, sehingga tradisi itu juga menjadi bagian daripada otoritas yang menuntun jalannya tradisi akademisi tersebut.

Jadi, Pencerahan telah mengabaikan otoritas dan tradisi yang telah mendarah daging di dalam dirinya sendiri, sehingga ia membawa sebuah prasangka melawan prasangka. Hal itu terbukti bila membeberi aplikasi Pencerahan itu sendiri. Misalnya, Romantisme ingin kembali pada kebijaksanaan mitos, sedangkan Pencerahan, orang mencoba mengatasi mitos dengan logos.

Aplikasi kedua kubu itu, meskipun saling berlawanan tetap keduanya ingin mengatasi prasangka, entah sampai logos atau mitos. Oleh karena itu, prasangka juga terpakai dalam pencerahan.

Sejarah Pengaruh

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Dilthey membawa Historismenya lebih terpaku, dan mengikuti jejak Certesian sebagai kesadaran akan sejarah, bukan kesadaran dalam sejarah. Sebab Dilthey membayangkan bahwa, dengan begitu dapat menghasilkan refleksi yang seolah-olah bisa “keluar” dari sejarah.

Namun, Gadamer mengkritik asumsi Dilthey tersebut bahwa interpreter tidak dapat meninggalkan sejarah, tetapi ia juga berinteraksi dengan sejarah. Istilah populernya adalah “sejarah pengaruh”, atau dalam bahasa aslinya, Jerman adalah Wirkungsgeschichte.

Namun perlu diketahui mengenai perbedaan sejarah dengan pengaruh sejarah. Lebih tepatnya, sejarah dapat diibaratkan teks atau obyek, sedangkan sejarah pengaruh adalah interpreter atau subyek. Dengan begitu jelaslah bahwa ada jarak antara interpreter dengan teks, sehingga tidak ada lagi klaim-klaim obyektivitas, sebagaimana dilakukan oleh Pencerahan dengan tidak sadarnya ia bergulat dengan teks seakan-akan ia menyatu dengan sejarah teks tersebut.

Gadamer mengkritik tindakan tersebut yang seolah-olah Pencerahan berbuat sewenang-wenang terhadap teks, dengan mengklaim ia juga menyatu dengan sejarah teks itu. Kritikanya itu mewujudkan konsep “sejarah pengaruh”.

Lebih jelasnya, selain teks mempunyai sejarah, interpreter juga mempunyai sejarah tersendiri, sehingga dapat mempengaruhi interpreter sendiri dalam memahami teks yang mengandung sejarah tersebut.

Jadi, paparan sejarah peneliti mencerminkan sedikit banyak kekuatan-kekuatan pengaruh, seperti kepentingan-kepentingan ideologis, politis, kultural ataupun ekonomis, yang mengarahkan penelitiannya.

Meskipun Gadamer mengkritik habis konsep Dilthey yang tidak konsiten antara Historisme dan Kesadaran, dan cenderung memaksakan untuk bersatu. Namun Gadamer mempunyai jalan keluar atas persoalan yang dialami oleh Dilthey.

Ia dapat menyatukan dua gagasan itu tanpa ada permasalahan, tetapi Historisme harus ditinggalkan dan beralih pada Wirkungsgeschichte, lalu dipadukan dengan kesadaran menjadi “Wirkungsgeschichte Bewubtsein” yakni, kesadaran akan pengaruh sejarah.

Namun, lebih tepatnya Bewubtsein tidak lagi bermakna kesadaran, tetapi Wachsamkeit atau kewaspadaan sebagaimana tulisan Grondin, sehingga “di dalam setiap pemahaman…perlu waspada akan sejarah pengaruh yang bekerja dalam pemahaman…”.

Bildung dan Peleburan Horizon

Sebelum menyibak apa yang disebut Bildung tentunya harus mengerti dan membedakan antara horizon penulis dengan pembaca atau interpreter. Konsep horizon yang telah dikenalkan oleh Nietzsche untuk pertama kalinya ini mendapat perhatian penuh dari Gadamer dengan mengangkat konsep tersebut sebagai bagian dari hermeneutikanya. Gadamer menerapkannya kepada pengarang dan interpreter.

Dengan begitu antara penulis dan pembaca ada distingsi atau jarak sebagaimana yang diterapkan oleh Heidegger. Namun, Gadamer lebih dalam mengambil jarak tersebut. Ia mengangkat “horizon” sebagai pembeda dengan hermeneutik Heidegger. Horizon boleh dibilang prasangka yang terkandung di dalam tradisi penulis ataupun interpreter.

Konsep ini sebagai antisipasi terhadap prilaku Romantisme yang telah mencaplok habis horizon pengarang oleh pembaca, serta sebagai antisipasi terhadap Pencerahan yang menuntut obyektivitas. Dengan peleburan horizon, tidak akan lagi klaim-klaim obyektivitas yang dianggap selesai, melainkan sifatnya selalu dinamis.

Karena, meskipun dibilang horizon masa lalu ditemukan, tetapi horizon kekinian sifatnya dinamis, sehingga ketegangan terjadi antara teks dengan interpreternya. Namun, Gadamer memberikan solusinya, yaitu dengan mengibaratkan “tugas interpretasi tak lain adalah memproyeksikan sebuah horizon historis yang berbeda dari horizon kekinian”. Dengan begitu, interpretasi ala Gadamer ini bukan lagi reproduktif, melainkan produktif.

Setelah membahas horizon interpreter dengan horizon teks tentunya secara tidak langsung telah mengambil jarak sepenuhnya dari sang penulis. Bahkan dapat diibaratkan dengan “aku” dan “kamu” yang selamanya tidak mungkin menyatu, lalu membiarkan “kamu” berkata kepada “aku”. Sekarang akan membahas lebih dalam tentang “aku”, yakni sang interpreter.

Lebih jelasnya, interpreter yang mempunyai pengalaman-pengalaman, bahkan bergulat dengan  hermeneutis akan menghasilkan namanya “Bildung”, yakni dialog antara “kamu” dengan “aku” yang tidak berkesudahan, sehingga hasil dari dialog itu memungkinkan akan menjadi karakter, atau mewatak dengan sendirinya, sehingga terbentuk kepribadiannya, sebab hasil dari pembacaan-pembacaannya, baik itu di bidang sejarah, kebudayaan, filsafat, teologi, kesusastraan, dan sebagainya.

Dengan begitu, sang interpreter tidak lagi cendreung memaksakan sikap-sikap obyektif dan reflektifnya terhadap pokok pembahasannya, melainkan bersikap terbuka, yakni membiarkan yang berlainan itu berbicara. Bahkan, semua orang, baik itu interpreter, ataupun pengarang itu sendiri memiliki Bildung yang berbeda-beda, sehingga terjadi interpretasi yang berbeda-beda juga.

Ulasan Penulis

Gadamer sebagi murid dari Heidegger dianggap telah memperbaiki Hermeneutiknya yang kurang. Gadamer memperkenalkan Bildung sebagai alat untuk mengetahui kelemahan Hermeneutik Heidegger. Dengan Bildung akan terlihat jelas kerelativan pra-pemahaman, atau pra-kongnitif masing-masing interpreter, serta Bildung mereka juga berbeda-beda.

Oleh karena itu, Gadamer memperbaiki Hermeneutik Gurunya dengan “peleburan horizon” antara penulis dan interpreter. Tetapi, kalau diamati dalam penerapan “peleburan horizon”, Gadamer tidak memberinya batasan-batasan, sehingga cendrung universal, dan takutnya “apakah semua, sampai yang terkecil, atau biasa dileburkan horizonnya?”.

Pertanyaan ini akan terjawab oleh Habermas dengan pembagian Hermeneutika Biasa dan Kritis.

Referensi:

  1. Budi Hardiman, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schlemacher sampai Derrida, (Yogyakarta: Kanisus, 2018)

About The Author