image by sevenintentions.wordpress.com

Ekofeminisme merupakan penggabungan antara ekologi dan feminisme. Ekologi dimaknai sebagai hubungan manusia dengan lingkungan atau studi tentang alam sebagai lingkungan hidup manusia. Sedangkan feminisme diartikan sebagai paham atau gerakan yang menentang segala bentuk penindasan, ketidakadilan, diskriminasi serta subordinasi terhadap perempuan. Keduanya dianggap memiliki relasi yang kuat bahwa terdapat persamaan dalam perlakuan terhadap perempuan dan alam serta relasi dominansi yang persis sama antara wacana perempuan dan wacana lingkungan.

Istilah ekofeminisme merupakan paham yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Francoise d’Eaubonne tentang keterkaitan perempuan dan alam yang dianggap sama-sama tidak berdaya dan mengalami ketidakadilan sehingga perlu diperjuangkan. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan sosial pada masa itu yang kental dengan budaya patriarki.

Namun, istilah ini juga dilatarbelakangi pernyataan Paul Ehrlich pada tahun 1968 dalam bukunya The Population Bomb yang menyudutkan perempuan akibat populasi manusia yang semakin melonjak dan berakibat pada kerusakan bumi. Ia menilai bahwa perempuan perlu menghentikan reproduksi seksual sebagai upaya solutif untuk menekan jumlah populasi yang semakin tidak terkendali. Tentu dalam hal ini, d’Eaubonne mengkritik bahwa perempuan justru terkungkung oleh kehendak dan kendali sistem patriarki sehingga kemudian lahir istilah ekofeminisme.

Paham ini meyakini bahwa interaksi sosial manusia dalam ruang lingkup masyarakat turut mempengaruhi pola interaksi mereka dengan lingkungan hidupnya, sehingga segala bentuk kerja sama, kepedulian, cinta dan toleransi antar masyarakat akan berdampak pada kepedulian untuk melestarikan lingkungan hidup mereka Penganut aliran ini memahami bahwa manusia dan lingkungan memiliki hubungan mutualisme yakni saling membutuhkan, bahkan mereka mengidealkannya sebagaimana keluarga yang tidak saling menindas.

Perspektif feminis sendiri dijadikan landasan aksiologis yang disandarkan pada sifat-sifat perempuan yang perduli dan penuh empati. Peran dan posisi ekofeminis dijelaskan dalam ‘Post-Victimology Stance’ yakni bahwa perempuan mampu memobilisasi dan mempertahankan lingkungan, karena mereka meyakini terdapat kedekatan antara perempuan dan alam dengan konsep bahwa perempuan adalah makhluk yang lembut dan ramah terhadap lingkungan.

Namun, konsep tersebut tidak berarti menyamakan karakteristik perempuan dengan alam, karena pemahaman tersebut justru menindas perempuan. Persamaan keduanya adalah dalam pola atau relasi wacana lingkungan yang turut berakibat pada marginalisasi terhadap perempuan yang berdampak pada ketidakadilan di dalam relasi masyarakat.

Ekofeminisme menggabungkan antara kritik ekologi dan kritik gender, keduanya sebagai respon terhadap dominansi alam yang berkaitan dengan sektor ekonomi, budaya, dan psikologi yang dalam praktiknya menindas perempuan dan mengeksploitasi alam. Sebagaimana dalam kajian Ester Boserup dalam Women’s Rule in Economic Development, ia melihat bahwa pembangunan yang didominasi oleh kapitalis cenderung berdampak negatif terhadap perempuan dan memarginalkan posisi perempuan, terutama dalam pembagian kerja. Sehingga dalam kompleksitas persoalan lingkungan/alam dan pembangunan seringkali menjadikan perempuan sebagai korban. Dalam hal ini cukup jelas bahwa terdapat persamaan pola dominansi dengan ekploitasi terhadap alam dan penindasan perempuan.            

Salah satu kasus krisis ekologi yang berdampak terhadap perempuan yakni  terjadi pada Desember 1994 lalu ketika 40 ton gas beracun dilepaskan dari pabrik pestisida Union Carbide di Bhopal, India. Terdapat 3000 orang meninggal dan 400.000 orang terkena dampaknya. Kaum perempuan menjadi korban terparah yang mengakibatkan terjadinya kelainan kehamilan hingga 400% pada tahun 1970-1987, 5,5 juta perempuan menderita endometriosis, dan 22% perempuan pada periode tersebut menderita kanker payudara.

Bahkan ditemukan 866 bayi yang mengalami gangguan syaraf akibat ASI ibunya yang tercemari waktu itu.  Sehingga dari sekilas kasus di atas menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tersebut sangat menindas terhadap nasib kaum perempuan.

Sumber:

Wulan, Tyas Retno. 2007. “Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Lingkungan”. Sodality, April 2007.

Fahimah, Siti. 2017. “Ekofeminisme: Teori dan Gerakan”. Alamtara: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Asmarani, Ni Nyoman Oktaria. 2018. “Ekofeminisme dalam Antroposen: Relevankah? Kritik Terhadap Gerakan Ekofeminisme”. Balairung.

Gina, Abby. 2017. “Ekofeminisme: Menyoal Perempuan dan Alam”.Jurnal Perempuan.

About The Author