image by https://idbscampus.com/courses/islamic-banking-finance/
image by https://idbscampus.com/courses/islamic-banking-finance/

Oleh: Luqman Banuzzaman & Inda Emilia

Secara historis, ikatan antara Islam dan Indonesia begitu erat, oleh karena itu sebagian dari muslim yang memiliki jiwa kecintaan yang berlebih selalu menyisipkan embel-embel Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka Islam adalah Indonesia dan Indonesia adalah Islam. Bukan suatu hal yang salah, mengingat itu adalah fakta historis dalam perwujudan peran Islam dalam menggapai kemerdekaan. Hanya saja kecintaan yang semacam itu bukanlah suatu bentuk kecintaan yang nyata dan konstruktif dalam menyongsong eksistensi Islam di masa depan.

Membicarakan Indonesia tak akan bisa lepas dari fakta pluralisme masyarakat kita. Ibtimes.id merilis data pada tahun 2020 bahwa jumlah pemeluk agama Kristen berada dalam kisaran 6,9%, Katolik 2,9%, Hindu 1,7%, Buddha 0,7%, dan agama lainnya 0,05%. Sedangkan 87,2% dari populasi penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Artinya, 263 juta jiwa atau sekitar 13% dari populasi muslim dunia berada di Indonesia. Hal ini menjadikan Islam sebagai agama terbesar di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Tak hanya itu, indonesia menjadi negara dengan tingkat religiusitas tertinggi ke-empat di dunia.

Seharusnya kuantitas yang sedemikian besarnya dapat menjadi modal utama dalam perwujudan eksistensi Islam di ranah nasional maupun internasional, khususnya dalam bidang ekonomi syari’ah. Penelitian terbaru oleh Global Islamic Finance Report pada tahun 2015 tentang the top 10 Centres of Excellence in Islamic Banking and Finance cukup menarik. Penelitian yang menetapkan lima kriteria tersebut (Advocacy, Infrastructure, Human Resource, Linkages dan Regulation) menetapkan Malaysia berada di posisi pertama, sedangkan Indonesia berada jauh di posisi sembilan.

Apatisme masyarakat terhadap ekonomi syari’ah dibuktikan dengan cakupan pangsa pasar keuangan syari’ah yang masih sulit untuk tumbuh secara signifikan meskipun penduduk Indonesia didominasi oleh umat muslim. Total jumlah nasabah bank syari’ah baru mencapai 18,75 persen. Beritasatu.com mengunggah berita berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bahwa jumlah nasabah yang menggunakan bank syari’ah berada di kisaran angka 15 juta jiwa, sementara itu jumlah nasabah bank konvensional mencapai kisaran angka 80 juta nasabah.

Fenomena ekonomi yang dinamis dan mustahil untuk terhentikan ini sedikit demi sedikit menjadi sebuah penyingkapan kedalaman nilai hukum dan ekonomi syari’ah. Dengan ironi yang gencar didengungkan oleh media dalam mirisnya kasus Pandemi Covid-19 adalah antara mortalitas dan keberlangsungan perekonomian, yang mana PSBB yang menjadi salah satu metode dalam pencegahan masifnya penyebaran virus ini justru memiliki efek samping jangka panjang yang mengerikan dibidang ekonomi, yaitu resesi.

Sejumlah negara yang terkena dampak Pandemi Covid-19 telah mengalami resesi. Prancis, Amerika Serikat, hingga Jepang telah mengalami kerugian sangat besar di sektor ekonomi. AS misalnya, pada kuartal kedua pertumbuhan ekonomi merosot hingga minus 32,9%. Ini menjadi representasi bahwa ekonomi terkuat di dunia ini mengalami resesi karena pada kuartal I-2020 minus menyentuh angka 5%. Tidak hanya itu, resesi ekonomi AS saat ini pun menjadi yang terburuk sejak 1947. Di mana konsumsi rumah tangga turun hingga 34,6% (Novalius, 2020).

 Berdasarkan data statistik perbankan syari’ah pada Januari 2020, jumlah jaringan kantor Bank Umum Syariah adalah 1.922 cabang yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia yang didominasi oleh Pulau Jawa. Hal itu sejalan dengan wilayah terbanyak ditemukan Covid-19 yaitu di pulau Jawa (Statistik Perbankan Syari’ah, Januari 2020). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar Kantor Bank Syari’ah berada di zona merah.

Kendati demikian, Teguh Supangkat selaku Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan kondisi bank syari’ah di tengah Pandemi Covid-19 bahwa pertumbuhan bank syari’ah memang melambat tapi masih lebih baik jika dibandingkan dengan bank konvensional. Jika dibandingkan dengan berbagai macam industri keuangan secara universal pertumbuhan perbankan syari’ah di Mei 2020 itu lebih tinggi dibandingkan konvensional.

Hal itu dibuktikan dengan data pertumbuhan pinjaman yang diterima (PYD) di bank syari’ah pada bulan Mei 2020  yaitu sebesar 10,14% year to date (YTD). Lalu, di sisi aset juga tumbuh 9,35% YTD, dan juga dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 9,24% YTD. Sementara bank konvensional pada bulan Mei 2020, pertumbuhan kredit hanya sebesar 3,04%, dan DPK 8,87%. Selain itu posisi share aset syari’ah di bank syari’ah pada bulan Mei 2020 mencapai 6,05%. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika belum ada Pandemi Covid-19 (Lidyana, 2020). Hal ini juga dibuktikan dengan penyaluran pembiayaan perbankan syari’ah kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tetap tumbuh di masa Pandemi Covid-19 disaat mereka kesulitan dalam menemukan dana. Bahkan rasionya bahkan lebih tinggi dibanding perbankan nasional.

Resesi yang menimpa banyak negara sekarang ini disebabkan oleh guncangan ekonomi secara tiba-tiba akibat dari Pandemi Covid-19.  Guncangan ekonomi secara tiba-tiba adalah masalah kejutan yang menimbulkan kerusakan finansial yang serius. Namun Tambunan (1998) mengungkapkan bahwa relasi antara kondisi perbankan dengan krisis ekonomi adalah korelasi antara dua variabel yang tidak dapat berdiri sendiri, melaikan saling mempengaruhi satu sama lain.

Di satu pihak struktur perbankan yang lemah dapat memperburuk krisis ekonomi dan di lain pihak perbankan menjadi semakin buruk dengan munculnya krisis ekonomi. Hutang yang berlebihan, gelembung aset, inflasi terlalu tinggi dan deflasi berlebihan sebagai faktor resesi lainnya menjadi bom waktu yang mengancam perekonomian.

Ketika pelaku ekonomi baik individu ataupun bisnis tertentu memiliki terlalu banyak hutang, biaya untuk membayar hutang dapat meningkat ke titik dimana mereka tidak lagi dapat membayar tagihan hutang mereka. Meningkatnya hutang dan kebangkrutan kemudian dapat membalikkan perekonomian. Mantan ketua The Fed, Alan Greenspan menyatakan bahwa kegembiraan irasional dapat menggembungkan pasar saham atau gelembung pada sektor real estat. Ketika gelembung itu meletus, panic selling dapat menghancurkan pasar sehingga menyebabkan resesi pada akhir 1990-an (Feny Freycinetia, 2020).

Itu semua bukan merupakan kesalahan yang berupa teknis, melainkan kesalahan sistem ekonomi yang berlandaskan pada konsep Time Value Of Money atau Positive Time Preference  yang mengartikan bahwa nilai uang di masa kini akan lebih berharga dibandingkan dengan di masa mendatang. Konsekuensinya, uang harus selalu bertambah dan bertambah karena berjalannya waktu untuk mengkorelasikan antara nilai uang dan waktu, dan ini merupakan implementasi dari system bunga (interest) atau riba pada bank konvensional. Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional yang ditolak dalam ekonomi Islam, yaitu keadaan al-ghunmu bi al-ghurni (mendapatkan hasil tanpa memperhatikan resiko) dan al-kharaj bi la-dhaman (memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu biaya).

Menurut Kuntowijoyo (1997) sistem Ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang ethical economy, sedangkan sistem ekonomi lain, baik kapitalisme maupun sosialisme berangkat dari hal yang berbau kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan perorangan (selfishness) dan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif (collectivism). Dengan ekonomi yang berdasarkan etika, agama tidak menjadi alat bagi suatu kepentingan apapun juga. Tugas umat ialah memikirkan bahwa agamanya menghendaki sebuah ethical economy tetapi tetap tanggap kepada kepentingan-kepentingan yang nyata.

Berangkat dari spirit tersebut ekonomi syari’ah lebih merujuk pada konsep Economic Value of Time yang bisa diartikan sebagai suatu konsep bahwa waktu memiliki nilai ekonomis. Faktor nilai ekonomis pada waktu itu ditentukan oleh bagaimana seseorang dapat memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin. Konsekuensinya, semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka semakin tinggi nilai waktunya, dan ini merupakan sunnatullah.  Dalam Islam, mekanisme ekonomi yang digunakan adalah nisbah bagi hasil dan return usaha yang terjadi secara riil. Ajaran Islam menganjurkan menggunakan konsep waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukan uang yang memiliki nilai waktu.

Pada dasarnya perekonomian berbasis hukum Islam ini telah berkembang di seluruh dunia. Tidak hanya pada negara yang masyarakatnya mayoritas hukum Islam, perekonomian Islam juga berkembang pada negara-negara dengan umat Islamnya minoritas atau bahkan negara liberal. Musyafah (2019, 254) menyebutkan perbankan syariah sebagai primadona dalam perekonomian Islam sudah berdiri di berbagai negara dari beberapa puluh tahun seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, Thailand dan Singapura.

Adolf (2010) menyebutkan sumber hukum ekonomi internasional formal terdapat dalam pasal 38 ayat 1 statuta mahkamah internasional yang isinya menyebutkan bahwa sumber hukum ekonomi internasional berasal dari empat hal pokok, yaitu: konvensi hukum internasional, kebiasaan internasional, Prinsip-prinsip hukum umum dan putusan hakim dan ajran dari para ahli hukum internasional yang terkemuka.

Dengan maraknya negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi berbasis syari’ah, sesuai dengan sumber hukum ekonomi internasional maka sistem ekonomi syari’ah memiliki peluang yang besar dalam memberikan peran sebagai penggerak haluan dalam tindakan ekonomi dalam skala global. Indonesia sebagai negara dengan preferensi muslim terbesar di dunia menjadi aktor utama yang memperoleh kesempatan dalam mewujudkan eksistensi Islam di dunia internasional.

Hal ini dibuktikan dengan potensi halal market, perbankan syari’ah, industri keuangan syariah, di Indonesia saat pandemi atau tidak pandemi, tetap besar peluangnya. Menurut Global Islamic Report, Indonesia merupakan pasar halal terbesar di dunia. Dari porsi pendapatan 2,2 triliun dollar AS halal market dunia, 10 persennya atau sekitar 220 miliar dolar AS ada di Indonesia.

Dengan begitu jelaslah bahwa Indonesia meski bukan negara Islam, okupasi pergerakan perekonomian keislaman di dalamnya berpeluang besar dalam menjadi pusat ekonomi syari’ah dunia. Hal ini didukung oleh fenomena apatisme masyarakat yang dipaksa melihat eksistensi ekonomi syari’ah saat menghadapi krisis ekonomi. Dengan begitu pandemi sebagai suatu hal yang mengerikan justru mendeskripsikan pada kita semua bahwa eksistensi ekonomi syari’ah mampu menjawab tantangan yang terbarukan.

* Penulis adalah mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) MADURA

Sumber:

Adolf,  Huala. 2010. Hukum Ekonomi Internasional. Bandung: Keni.

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: mizan.

Tambunan, Tulus. 1998. Krisis ekonomi. Jakarta: lembaga penerbit universitas indonesia.

Aisyah Ayu Musyafah, 2019, PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN ISLAM DI BEBERAPA NEGARA DI DUNIA, DIPONEGORO PRIVATE LAW REVIEW VOL. 4 NO. 1

Dahlia Bonang, 2011, KRITIK TIME VALUE OF MONEY, EL-HIKAM: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman,  Volume IV, Nomor 2.

Dian Pertiwi, 2019, UANG DAN KONSEP TIME VALUE OF MONEY DALAM PANDANGAN ISLAM, Jurnal Ekonomi Syariah, Volume 2, Nomor 1.

 Mardhiyatur Rosita Ningsih and Muhammad Syarqim Mahfudz, 2019, DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP MANAJEMEN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH: ANALISIS KOMPARATIF’, POINT 2, no. 1

Muhamad, 2012, REKONSTRUKSI TIME VALUE OF MONEY MENUJU ECONOMIC VALUE OF MONEY UNTUK KEUANGAN ISLAM, JIE” Volume I No. 2

https://economy.okezone.com/read/2020/08/27/320/2268537/31-negara-alami-resesi-imbas-covid-19-berikut-daftarnya
https://ekonomi.bisnis.com/read/20201106/9/1314250/indonesia-resesi-simak-definisi-faktor-penyebab-dan-dampak-ke-masyarakat
https://finance.detik.com/moneter/d-5105143/ojk-buka-bukaan-kondisi-bank-syariah-di-tengah-pandemi-corona
https://money.kompas.com/read/2020/10/09/173000926/meski-pandemi-pembiayaan-umkm-bank-syariah-tetap-tumbuh
https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/hype/fun-fact/amp/francisca-christy/10-negara-paling-religius-di-dunia-indonesia-nomor-berapa
https://www.kompasiana.com/fahmiaulia/5acb93d0dd0fa848273ad632/persentase-jumlah-nasabah-bank-syari-ah-di-indonesia