image by antarafoto.com
image by antarafoto.com

Konsep negara dalam hukum ekonomi internasional bukanlah negara yang hanya bersangkutan kepada kesatuan-kesatuan (entity) umum, melainkan negara yang memiliki kewenangan melakukan hubungan ekonomi luar negeri (Adolf, 2015). Indonesia merupakan sebuah negara yang dalam hal ini memiliki kewenangan tersebut serta secara legal memiliki kekuatan dan berpotensi merambah pasar di ranah internasional. Sebab Indonesia bukanlah negara boneka maupun persemakmuran dari hasil olah kolonialisasi negara barat sebelumnya yang kemerdekaannya berasal dari belas kasih yang terlambat setelah perang dunia kedua dimenangkan oleh pihak sekutu.

Labelisasi kemajuan suatu negara merupakan hal yang mainstream setelah perang dunia kedua selesai pada abad 20. Penggolongan ini mencipatakan dua perspektif baru mengenai penyebutan sifat negara sebagai nilai intrinsik di samping nama dan warna bendera. Setelah 74 tahun Indonesia berkembang sebagai negara, beberapa hari yang lalu presiden Amerika Serikat menyampaikan dalam bentuk pernyataan-jika memang tak sampai pada tahap pengakuan-bahwa label negara berkembang Indonesia naik satu tahta dan menjadi setingkat dalam lingkaran term “maju” ala mereka (barat).

Negara maju dapat dianalogikan sebagai label halal yang tercantum dalam tiap-tiap bungkus makanan sebagai bentuk jaminan dan keamanan konsumsi bagi umat Islam. Dengan adanya label tersebut ada legalisasi keabsahan suatu makanan yang memenuhi standart konsumsi dalam aspek halalan thayyiban. Sehingga hal ini tentunya akan membuka kesempatan bagi Indonesia memperoleh jasa-jasa dari investor luar negeri untuk berinvestasi di negeri ini.

Tentunya hal ini tak bisa lepas dari faktor demografi bangsa Indonesia, mengingat bangsa Indonesia yang dilansir dalam databooks menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah penduduk yang terbanyak di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Total penduduknya sekitaran 269 juta jiwa atau 3,49% dari total penduduk dunia. Sedangkan menurut badan pusat statistik (BPS) pada tahun 2020 mencapai 270,20 juta jiwa. Hal ini menunjukkan secara kuantitas generasi ini sangat mendukung ditambah lagi dengan kualitas dan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sayangnya, akan banyak kita jumpai para milenial yang kesana-kemari dan memenuhi akun sosial media mereka dengan foto-foto menggunakan berbagai brand luar negeri. Mulai dari sandang dan pangan yang mereka konsumsi sampai agak menjadi sebuah kesombongan apabila dapat memiliki papan di luar negeri. Tentu ini tidak dilarang sama sekali, apalagi setelah gaungan hak asasi manusia menggema sejak revolusi Prancis pada abad-18 lalu. Hanya saja ini menjadi suatu fenomena tersendiri bagi fakta sosio-ekonomi negeri perihal candu tren barat bagi kita kelompok timur.

Masuk akal kiranya jika ada sebuah anekdot yang menyatakan bahwa orang Indonesia itu sikat giginya di Jepang, mandinya di China dan ganti bajunya di Eropa. Hal ini merujuk pada setiap merk dagang dan rumah produksi dari produk yang orang Indonesia kenakan adalah impor luar negeri. Tanpa diragukan lagi, globalisasi membuat milliaran penduduk dunia menjadi semakin kaya. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh negara-negara seperti Brazil, India dan China dalam peningkatan jumlah ekspor negara yang berimplikasi pada penurunan laju inflasi dalam satu decade yang mulai dari tahun 1997 (Conway, 2009). Sialnya dalam fase tersebut negara Indonesia gagal memanfaatkan momentumnya dalam menanam independensinya dalam bidang ekonomi sehingga impor bukan lagi hal yang aneh di penjuru negeri.

Giddens memandang bahwa pada dasarnya masyarakat secara konstan diproduksi oleh orang-orang yang berinteraksi dalam masyarakat itu sendiri. Suatu struktur sosial mengkonstitusi dan memproduksi tindakan dana pada saat yang sama juga dikonstitusi dan diproduksi oleh tindakan (Maliki, 2012). Hal itu menunjukkan bahwa jika dalam struktur sosial masyarakat yang sudah diproduksi oleh tindakan konsumsi barang impor akan mengantarkan Indonesia kedepan pintu gerbang penjajahan secara ekonomi.

Kemerdekaan hanyalah sebuah ilusi bagi negara-negara yang tidak sampai pada tingkat independensi ekonomi, karena ketergantungan pada negara lain begitu rentan akan kepentingan-kepentingan pihak eksternal terhadap intervensi kebijakan dalam negeri. Oleh karena itu, Prof. Dr. Huala Adolf mengkategorikan negara seperti ini bukan negara persemakmuran dan boneka (dependent state) yang secara kasar berarti masih memiliki keterikatan dan ketergantungan kepada negara lainnya. Sehingga independensi ekonomi negeri menjadi pekerjaan rumah bagi generasi milenial dalam mewujudkan kemerdekaan yang hakiki sesuai dengan motif penjajahan dahulu yaitu ekonomi.

Salah satu penghambat bangsa Indonesia dalam merealisasikan upaya di atas adalah masifnya candu impor dan tren produk luar negeri yang dalam mindset “kita” lebih berkelas dan keren dibandingkan produk dalam negeri. Kedua variabel ini membentuk sebuah lubang hitam terserapnya mata uang rupiah dan pelemahan atas value-nya di dunia internasional. Indonesia perlu menutup lubang itu sebelum terlambat dan membuat kapal Indonesia ini benar-benar tenggelam layaknya Atlantis.

Fenomena yang paling nyata dewasa ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Spire Riset and Consulting yang berpusat di Jepang yang menyebutkan bahwa Grab lebih diminati dariapada Gojek di Indonesia pada 31 januari 2019. Hasilnya 75% dan 61% responden menggunakan Grab dalam rentang waktu 6 dan 3 bulan terakhir. Sedangkan Gojek hanya mencapai 62% dan 58%. Ini menunjukkan Grab lebih diminati masyarakat, meskipun Gojek asli buah karya anak Indonesia. Padahal dalam segi fitur, Gojek jauh lebih lengkap daripada Grab sehingga ini merupakan bentuk kecenderungan konsumsi produk impor.

Jargon “Cintai Produk Indonesia” sudah seringkali kita dengar di berbagai media. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menutupi lubang hitam tersebut agar kebocoran laju ekonomi tak begitu besar dan harga diri rupiah tetaplah stabil di kancah internasional. Namun pendekatan secara psikologi tersebut tak cukup memenuhi aspek rasionalitas manusia sebagai makhluk ekonomi.

Dalam ekonomi modern manusia diposisikan sebagai mahluk rasional yang dalam tindakan ekonominya secara dominan dikuasai oleh logika ekonomi (Hoetoro, 2017). Sehingga dalam kebutuhan ekonomi dengan motif maximum ultility harus dalam pertimbangan utama para produsen dalam menghasilkan suatu produk. Disinilah peran generasi milenial dalam proses evaluasi kegiatan ekonomi di sektor produksi dan konsumsi berkelanjutan.

Setiap manusia adalah pelaku ekonomi. Dengan kuantitas dan kualitas yang generasi milenial miliki diharapkan memiliki pengaruh yang begitu signifikan dalam membentuk struktur produksi dan konsumsi yang konstruktif bagi kemajuan Indonesia, sehingga kurva kualitas barang akan berbanding lurus dengan kurva kuantitas barang sesuai dengan kurva penawaran. Semakin baik kualitas barang dihasilkan maka akan semakin tinggi pula permintan jumlah barang. Tidak hanya berhenti disitu saja, barang dengan kualitas baik begitu kompetitif dan dapat merambah persaingan di pasar nasional yang pada akhirnya akan merambah pasar internasional. Hal ini dapat menciptakan ekspor baru dalam sektor tertentu, seperti China yang dapat memanfaatkan momentumnya dalam ekspansi pasar besar-besaran.

Namun internasionalisasi produk akan begitu sulit tercapai apabila dalam pasar nasional saja tak memiliki pangsa pasar. Internasionalisme dan nasionalisme saling mengandaikan, internasionalisme tidak dapat hidup subur apabila tidak berakar pada buminya nasionalisme. Sebaliknya, nasionalisme tidak dapat hidup subur jikalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme (Latif, 2012). Sistematika ekspansi pasar juga sedemikian rupa, nasional menuju internasional. Sekarang kita mengetahui ada kegagapan produk Indonesia di pasar Internasional yang menjadi missing link. Untungnya sudah kita ketahui bersama bahwa hal itu adalah kualitas produksi. Jadi, jika 1998 dimana tahun lahir generasi millennial berhasil melakukan reformasi di bidang politik pemerintahan, seyogyanya pada kelahiran tersebut mereka dapat melakukan revolusi produksi yang menjalar pada revolusi konsumsi.

Tugas milenial tidak sulit, cukuplah menjadikan kualitas barang produksi sebagai standart utama, sehingga hal itu menjadi stimulus kebangkitan ekonomi Indonesia menuju Indonesia maju yang memiliki independensi ekonomi dan menjadi eksportir. Hal ini memberikan makna yang sesuai fakta tentang jargon “cintai produk Indonesia”, karena bagaimapun manusia akan sulit menerima kebohongan bahkan dari orang yang begitu dicintai. Jadi, mengapa Indonesia harus maju? Karena mundur bukanlah pilihan. Mengapa harus milenial? Karena kita lah penerus perjuangan.

Sumber:

Arif Hoetoro, Ekonomi Islam Prespektif Historis dan Metodelogis; Malang, Empatdua, 2017.

Edmund Conway, 50 Gagasan Ekonomi Yang Perlu Anda Ketahui; Jakarta, Esensi, 2009.

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional; Bandung, Keni, 2015.

Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila; Jakarta, Gramedia, 2012.

Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern; Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2012.

www.databooks.katadata.co.id

About The Author