Image by kompas.com
Image by kompas.com

Kita harus berpura-pura saja untuk patuh dengan semua aturan yang ditetapkan pemerintah, berikut anjuran kawan-kawan medis. Bagaimana tidak, membangkang hanya akan memperburuk situasi, dan jelas tidak akan membuahkan solusi. Di samping menunaikan perintah Allah pada QS. an-Nisa’: 59, sila keempat juga berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin’, sehingga saling berkesinambungan. Pancasila sudah pas, kok, sama Qur’an. Maksudnya, ‘setidaknya’ komposisinya sesuai dengan Qur’an. Maka tidak usah diganti-ganti lagi. Terlebih pada sila pertama. Tolonglah, jangan aneh-aneh. Ibu kota sudah pindah, sekarang asasnya mau diganti pula. Ambyar negara.

Bukan maksud menyalah-nyalahkan, pada realita kita banyak melihat bahwa terkadang kebijakan pemerintah kurang, atau bahkan tidak sesuai. Sejatinya, staf yang menjadi mentri, mereka juga manusia. Kalau memang brutal dengan keputusan pemerintah, salahkan saja manusia yang menjabat sebagai mentri, bukan pada elemen ‘kepemerintahan’. Bedakan mana fi’il (perlakuan), dan mana fa’il (yang melakukan). Selama yang diserukan bukan keburukan atau kemaksiatan, maka hal itu wajib dilaksanakan. Suka atau tidak, mau atau tidak. Taat itu perlu. Berat? jelas. Maka pura-pura boleh kita laksanakan demi menggapai kata sejati. Pura-pura taat, daripada tidak taat sama sekali. Dan taat kepada pemimpin, yang sudah sangat jelas difirmankan Allah dalam Qur’an, lalu kita masih ngotot untuk membangkang? Nggak ada akhlak. Terkecuali, dengan kebijakan yang menyimpang, memang sangat butuh beberapa pertimbangan. 

Semua pemimpin memang ada lebih dan kurangnya. Semua nahkoda yang membawa kapal sebesar bumi pertiwi ini ada sisi baik dan buruknya. Mulai dinahkodai Bung Karno, sampai pada pemerintahan Jokowi. Namanya juga manusia.

Terlepas dari permasalahan pemimpin, apa sih, yang semestinya harus kita lakukan? Tindakan apa yang patut kita ambil yang (katanya) mengaku sebagai umat yang taat dan bangsa yang beradab. Apa cuma menghujat, ngoceh, komen, rasan-rasan? Boleh, lah, demokrasi, tapi demokrasinya kudu sehat. Sampaikan lewat jalur yang benar dan prosedural. Katanya bangsa beradab, ya, dipakai dong adabnya. Khususnya ketika kita menyikapi keadaan Pandemi seperti ini, yang usainya pun, entah. 

Pertama, ialah tawakal. Yang dalam KBBI memiliki arti pasrah diri kepada kehendak Allah. Sekali lagi, di masa Pandemi, merupakan salah satu wujud praktek ujian iman. Tentang kepercayaan bahwa kondisi sulit seperti ini siapa yang mengatur, siapa yang menentukan, dan bagaimana kelanjutannya, semua itu siapa yang akan memberikan jalan keluar. Di samping pertolongan medis dan regulasi pemerintah, adalah mediator pertolongan Allah, yang datangnya pun dari berbagai cara dan jalan. Ikhtiar atau upaya batin (berdo’a, pasrah) dan dhahir (mengenakan masker bagi yang memiliki gejala, menghindari kerumunan, dan sejenisnya) juga tidak boleh ketinggalan. Tanpa menabrak-nabrakkan antara batin dan dhahir itu sendiri. Yang pada hakikatnya, keduanya saling memberikan efek reaksi. 

Kedua, kita wajib husnudzan. Kepada siapapun. Kepada Allah sebagai Tuhan, kepada pemerintah sebagai pemimpin, kawan medis sebagai garda terdepan, dan sesama manusia sebagai makhluk sosial. Ketika kita disuguhi teori konspirasi, yang katanya pembohongan ini dan itu, bodo amat. Ketika kita ini bukan pakar, bukan dokter, bukan peneliti, hanya membaca pesan di sosial media, dengan mudahnya langsung percaya. Ketika kita hidup di zaman yang penuh fitnah, sudah sepantasnya kita menyadari, bahwa menyebarluaskan fitnah bukan solusi. Bagaimana tidak disebut fitnah, jika tidak mengetahui secara jelas kebenaran dari kabar tersebut. Tidak jelas dari mana, dari siapa, yang akhirnya berujung pada ‘katanya-katanya’. Hal demikian hanya akan menimbulkan prasangka buruk dan perpecahan, berikut juga keresahan. Yang tentunya membuat iblis Tuhan makin gembira bertepuk tangan.

Ketiga, semua ini adalah pelajaran. Sungguh! Ini adalah pelajaran yang belum tentu kita dapatkan dan terjadi bahkan sekali dalam seratus tahun. Sungguh banyak sekali pelajaran yang dapat kita dapatkan. Pelajaran tentang kepercayaan dan rasa pasrah kepada Tuhan, pelajaran bagaimana menaati peraturan pemerintah, pelajaran bersosial, baik di dunia maya ataupun nyata, yang paparannya begitu banyak, dan tentunya tidak dapat dijelaskan terperinci satu persatu dalam tulisan ini.

Kita hanya butuh saling menguatkan satu sama lain. Tiga poin di atas adalah cara paling minim, namun memberikan efek besar jika kita melakukan secara akal sehat dan maksimal. Maka cukup mengambil pelajaran dari semua apa yang terjadi di muka bumi ini. Bahasa Qur’an mengatakan ‘ulil albab’ (orang yang berakal sehat), ‘ulil abshar’ (orang yang melihat lalu berfikir), begitu pula dengan ‘ulin nuha’. Ini tentang berfikir dan belajar. Bukan menjatuhkan.

Akhirnya, selamat berfikir dengan akal sehat. Wallaahu a’lam.