Image by kompasiana
Image by kompasiana

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah bubar. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Tiongkok sebelum akhirnya PKI dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya.

Di Indonesia sendiri, PKI diduga sebagai dalang peristiwa “Gerakan 30 September” yang mengakibatkan penculikan dan tewasnya para Jenderal Angkatan Darat, yang sampai sekarang terus menjadi sejarah Indonesia yang mengenaskan.

Indonesia adalah sebuah negara hukum yang berbentuk kesatuan dengan pemerintahan berbentuk republik dan sistem pemerintahan presidensial yang bersifat parlementer. Eksekutif dipimpin oleh seorang presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

PKI menjadi terlarang Di Indonesia, sebab paham PKI sangat bertentangan dengan pancasila dan NKRI juga mayoritas umat Muslim. Yang mana tujuan organisasi terlarang itu berkeinginan mengubah ideologi pancasila menjadi paham komunis, tapi ideologi yang dikembangkan oleh PKI itu tentu bertentangan dengan pancasila, pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Sila pertama menyebutkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Artinya, Indonesia adalah negara yang beragama dan mengakui Tuhan. Karena tidak mengakui Tuhan, bukankah berarti komunis tidak mengenal agama? Dimana agama mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk.

Ketika Tap MPRS Nomor XXV/MPRS Tahun 1966 dijadikan dasar pembubaran PKI, maka apapun, entah itu logo, bendera, flyer, hingga buku yang dianggap terkait PKI atau menyebarkan ajaran komunisme menjadi terlarang di Indonesia. 

Lalu mengapa simbol-simbol tersebut masih sering bermunculan di muka publik? 

Uniknya, munculnya simbol palu arit yang menjadi simbol PKI dan beredarnya isu kebangkitan partai tersebut sering selaras dengan pasang surut dinamika politik di negeri ini. Bahkan, dikaitkan dengan isu agama atau ideologi negara, sebagaimana baru-baru ini terjadi dalam isu RUU HIP.

Ketakutan munculnya Partai Komunis Indonesia (PKI) kian merebak ke permukaan. Beragam intimidasi dan larangan terhadap agenda-agenda diskusi terkait salah satu bagian sejarah Indonesia tersebut kerap kali terjadi. Banyak aksi demo terkait isu kebangkitan PKI dan komunisme diwarnai dengan pembakaran bendera palu arit. Terakhir, aksi demo mengugat RUU HIP beberapa waktu lalu juga terjadi pembakaran. 

Menariknya, pembakaran bendera palu arit disebutkan sebagai simbol penolakan atas paham komunisme dan komitmen persatuan NKRI dalam berbagai kejadian. Jika pembakaran dianggap sebagai simbol penolakan dan komitmen, lalu apakah paham komunisme bisa benar-benar menghilang setelah seluruh jejaknya dieliminasi?

Kita sering melihat bahwa isu kebangkitan komunisme di Indonesia biasanya dihubungkan dengan kemunculan simbol palu arit di ruang publik. Itu sebabnya, pembakaran simbol palu arit, seperti bendera PKI, menjadi bagian dari usaha penolakan isu komunisme dan sosialisme yang dianggap masih berkeliaran di bawah tanah Indonesia. 

Banyak oknum mengaku aksi pembakaran itu merupakan bentuk “cinta terhadap negeri”. Dan perlu diketahui, dari sini akan tumbuh “memori kolektif” pada masyarakat, yang akan di turunkan turun temurun kepada penerus bangsa selanjutnya. Bukankah dalam kasus ini pembakaran simbol palu arit malah dapat dijadikan sebagai pelestarian ingatan terhadap PKI? Sehingga, bayangan akan bahaya komunisme dan PKI bisa tetap dijaga sebagai narasi dominan di negeri ini.

Jika benar demikian, maka aksi di atas tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk pelestarian ingatan masyarakat terhadap komunisme. Berangkat dari poin inilah, sebenarnya kita dapat melihat sisi lain dari polemik kebangkitan PKI di negeri ini. Yang tanpa masyarakat sadari, mereka sendirilah yang sedang terhipnotis mendukung kemunculannya dengan terus melestarikan ingatan tentang partai tersebut.

Jika selama ini isu kebangkitan PKI di Indonesia selalu direspon dengan demo, bakar bendera, hingga razia buku atau diskusi, maka isu tersebut sebagai kotak pandora, sebuah misteri dan bahaya bagi negeri ini. Dan selama kita menjadikan isu PKI bagaikan kotak pandora, maka beban itu akan selalu kita bawa dan wariskan pada generasi selanjutnya. Yang akhirnya hanya akan mewariskan vandalisme dan kekerasan, seperti bakar bendera atau berbagai pelangaran, daripada sikap yang lebih elegan dan cerdas. Seperti membaca kembali sejarah, belajar, dan mengambil hikmah dari persoalan masa lalu. 

Bukankah mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan negeri ini? Bukankah bersikap cerdas adalah senjata ampuh menghadapi paham-paham yang sedang kasat mata?