image by UGM/Wikimedia Commons
image by UGM/Wikimedia Commons

Perempuan merupakan makhluk yang memiliki stereotype di tengah masyarakat (publik) dan sebagian wilayah domestic. Mereka kerap dikategorikan sebagai makhluk yang inferior (lemah) selama berabad-abad hingga saat ini. Perempuan pada umumnya dalam perspektif masyarakat mempunyai stereotipe bahwa mereka hanya punya tiga keahlian, yakni antara sumur, dapur dan kasur. Pandangan seperti ini cukup sering berseliweran dan dianggap sesuatu yang terjadi secara alamiah, bahkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Hal ini dapat ditelusuri dengan kemapanan struktural yang cukup dikemas rapi dan sedimikan rupa. Namun dalam perkembangannya, status sosial sosial perempuan diukur.

Secara historis, perempuan cukup aktif dan banyak memberikan kontribusinya terhadap kemerdekaan Republik Indonesia dan kemajuan dunia pendidikan yang ada di Indonesia. Banyak tokoh pahlawan perempuan Indonesia seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Fatmawati Soekarno, Siti Walidah dan sebagainya yang cukup andil dalam membangun republik ini. Tentu setiap mereka punya peran masing-masing dalam mewujudkan dan mengakomodasi kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan kolonialisme. Hal ini kemudian membuktikan dan menegaskan kepada kita bahwa adanya kekusutan konotasi perempuan yang dianggap tidak bisa berperan lebih di publik itu adalah suatu kekeliruan besar.

Menjadi hal yang menarik jika kemudian eksistensi perempuan turut terlibat dalam membaca dan mengaktualisasikan diri menjadi bagian dari pemerintah (pembuat kebijakan), berperan di lingkungan sosial dan budaya era ini memberikan dampak (value) yang positif terhadap kemajuan berkehidupan, kebudayaan, dan kenegaraan. Sejak tahun 2000 melalui Intruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, pemerintah berkomitmen mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jelasnya, peraturan ini merupakan pintu regulasi yang menjadi afirmasi dan atensi pemerintah terhadap perempuan.

Ada begitu banyak gerakan-gerakan yang dilakukan oleh perempuan, seperti dilihat dari sisi historisnya, yakni organisasi perempuan atas prakarsa Boedi Oetomo (1912), yang didirikan pertamakali di Jakarta. Ada pula Poetri Mardika, organisasi perempuan yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan dan mengakomodasi (memperjuangkan) hak-hak perempuan melalui pendidikan dan pengajaran. Pasca itu bermunculan organisasi-organisasi perempuan seperti Pawijatan Wanita di Magelang (1915), Aisiyah di Yogyakarta (1917), dan lain-lain.

Pada umumnya, semua organisasi perempuan bergerak dalam satu frame dan memiliki tujuan yang sama, yaitu membentuk dan merekatkan tali ukhuwah demi meningkatkan harkat martabat perempuan, memberi kesempatan perempuan berekspresi dan memiliki hak yang setara seperti laki-laki dalam akses pendidikan, serta mendorong penghapusan ketidakadilan (discrimination), seperti marginalisasi (pemiskinan ekonomi), stigma negatif, kekerasan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Inilah fakta dari sisi historisnya, animo perempuan andil dalam menyulam kemerdekaan republik Indonesia dan kemerdekaan hak-hak perempuan itu sendiri. Di era globalisasi seperti sekarang, aktivitas kultur (budaya), ekonomi, politik berjalan cukup pesat sesuai kemajuan teknologi yang ada. Tentu saja ini akan sangat berdampak pada aktivitas kehidupan manusia yang juga dituntut untuk beradaptasi dengan kemajuan zaman (globalisasi).

Kembali kepada perempuan, bagamanakah peran mereka di era globalisasi ini? Pada era sekarang ini, kesempatan dalam akses pendidikan, politik, dan lainnya terbuka lebar bagi perempuan dalam mengekspresikan dirinya. Pemihakan negara yang beratensi dan mengafirmasi kepada masyarakat sipil khususnya perempuan juga telah diupayakan pemerintah melalui sidang umum PBB yang ditetapkan CEDAW pada 18 Desember 1979. The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) adalah perjanjian HAM internasional yang secara khusus mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan.

Sekarang ini perempuan menjadi bagian lokomotif penggerak dan berperan aktif dalam mengisi kemederkaan melalui prestasi pendidikan, karya-karya, penemuan dari penelitian dan lain-lain. Ini mengafirmasikan bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kesetaraan dalam mengekspresikan pikiran, konsep untuk berkontribusi dan menjadi manusia yang bermanfaat untuk lingkungan masyarakat dan negara.

Corak Indonesia yang begitu ragam atas suku, budaya, bahasa, dan agama membuat peran perempuan begitu kompleks dan dinamis dalam menunaikan misi-misi penghapusan ketidakadilan (discrimination) terhadap perempuan. Di tengah keberagaman yang majemuk ini, penting sekali kita memegang semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah metafora yang tidak asing, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, adagium dari sebuah sapu lidi. Spirit ini menjadi semacam simpul yang merekatkan perjuangannya, disamping visi misi kolektif penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Walaupun masih ada perspektif  yang masih terbangun di tengah masyarakat, dimana laki-laki ditempatkan sebagai pihak pertama atau superior (kuat) dan perempuan dipandang inferior (lemah), pandangan seperti ini harusnya menjadi tugas kolektif untuk melakukan rekontruksi dan normalisasi konotasi perempuan secara kontekstual dan aplikasinya di lingkungan masyarakat dan negara. Paradigma konflik melihat adanya kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) kelompok masyarakat dalam menyekat laki-laki dan perempuan sebagai epicentrumnya hubungan sosial.

Dalam pandangan paradigma fungsionalisme structural, masyarakat secara umum merupakan sistem yang terdiri atas bagian dan saling terkait (agama, pendidikan, struktur politik hingga keluarga) dan masing-masing bagian mencari keseimbangan dan harmoni. Maka adanya paradigma konflik disebabkan oleh ketidakaktifan atau tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Oleh karena itu, status quo sosial atau umumnya hak-hak perempuan perlu dipertahankan dan didukung.

Satu hal yang perlu ditekankan kembali bahwa suatu bangsa tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan dari perempuan. Maka sebagai klimaks dari tulisan singkat ini, dirangkum dalam salah satu surah di Al-Qur’an, yakni An-Nisa ayat 9 yang artinya:

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”

About The Author