image by janegoodall.ca
image by janegoodall.ca

Masalah lingkungan mungkin terdengar sepele oleh sebagian orang, begitu pula dengan krisis perubahan iklim, banyak yang mengira hal ini hanya omong kosong belaka. Apalagi dipicu dengan sudut pandang terbatas, dengan hanya melihat keadaan di sekitarnya yang secara umum baik-baik saja. Benar kiranya diperlukan suatu lensa yang cukup besar untuk melihat kondisi secara keseluruhan. Indeks-indeks yang dihasilkan oleh suatu badan statistik tertentu sangatlah bermanfaat, misalnya saja yang terungkap dalam World Poppulation Review yang mengatakan bahwa sekitar 4,8  hingga 12,7 juta ton sampah plastik dibuang ke laut setiap tahunnya. Dalam hal ini Indonesia menduduki posisi ke empat sebagai penyumbang terbanyak.

Masih berkisar pada sampah, data yang didapat melalui Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada Februari 2022 lalu mengatakan bahwa hanya kurang dari 10% sampah plastik di seluruh dunia yang dapat didaur ulang, hal ini semakin meningkat sejak berbagai negara mulai melakukan pemulihan dari COVID-19. Selain itu, melansir dari KOMPAS.com sebuah fakta mengatakan bahwa sekitar 40% atmosfer Bumi saat ini diisi oleh karbon dioksida, hal ini semakin diperparah dengan hilangnya ekosistem hutan secara berkala akibat penebangan liar, serta meningkatnya kesadaran akan pembuatan pabrik dan pendayagunaan transportasi.

Beberapa fakta di atas hanyalah sebagian kecil dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat manusia untuk semakin mengantarkan Bumi ke ujung tanduk kehidupannya. Diperlukan adanya kesadaran lingkungan oleh tiap individu agar sama-sama tergerak untuk menyelamatkan planet tercinta ini. Pembaca mungkin tak asing dengan nama Greta Thunberg, aktivis lingkungan asal Swedia yang memulai gerakannya sejak 2018 lalu dengan aksi membolos dari pelajaran sekolahnya dan duduk termangu di depan gedung parlemen Swedia ditemani poster berisi protesnya tentang perubahan iklim yang melanda Swedia kala itu. Siapa sangka aksi Thunberg yang sederhana itu memengaruhi jutaan pelajar di seluruh dunia, dan mengantarkannya menjadi ikon global saat ini. Gerakannya yang dikenal dengan sebutan “Fridays for Future” berfokus untuk “mendesak” pemerintah agar melakukan perubahan sistem dari berbagai segi khsusunya ekonomi dan politik, untuk menghindarkan perubahan iklim demi terselamatkannya keberlangsungan hidup Bumi.

Melakukan perubahan sistem sebagaimana yang diinginkan Thunberg tentunya bukanlah hal yang mudah. Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengubah suatu tatanan lama, yang ironisnya hanya disahkan dalam seharian saja. Namun, tentunya pembaca tidak asing dengan pepatah “ada banyak jalan menuju Roma” bukan? Bila Thunberg secara “revolusiner” menginginkan perubahan sistem ekonomi dan politik lewat gerakan “Fidays for Future” dengan jargon How Dare You nya, maka ada tawaran menarik yang sifatnya lebih substantif, yang dapat dilakukan oleh setiap individu, agar tetap menjadi pahlawan-pahlawan penyelamat Bumi.

Tawaran manis ini datang dari filsafat. Siapa sangka filsafat yang umumnya lekat dengan seorang pemikir atau stereotype pembual kata-kata, dapat menjadi media untuk menyelamatkan Bumi? Filsafat Mottainai salah satunya. Konsep filosofi pada masa Jepang kuno ini sangat compatible sehingga dapat dipraktekkan oleh orang-orang di seluruh dunia. Meskipun Jepang agaknya paradoksial dimana ia menjadi pusat teknologi artinya bersifat kebaruan, namun di satu sisi orang-orang Jepang sangat menjunjung tinggi tradisi nenek moyang mereka seperti halnnya mereka melestarikan filosofi mottainai.

Mottainai pada awalnya hanyalah ungkapan menyesal dari orang-orang Jepang pada zaman Edo antara abad ke-16 hingga abad 18. Secara etimologi ungkapan ini berasal dari dua kata yakni “Mottai” yang artinya keutamaan dan “Nai” yang artinya kekurangan dari sesuatu, secara singkat mottainai dapat diartikan “What a waste!” atau “Sayang sekali!” dalam hal ini orang-orang pada zaman Edo menyesal melihat diri mereka atau orang lain melakukan sesuatu yang sia-sia, seperti halnya membuang makanan, atau membuang pakaian atau barang yang sekenanya masih bisa diperbaiki agar dapat digunakan kembali.

Zaman Edo sendiri dapat diibaratkan Tokyonya Jepang masa kini, artinya kehidupan pada zaman Edo sudah modern dan maju. Namun demikian terdapat hal yang unik, penduduk pada zaman Edo bersikap sebaliknya, sebagian besar mereka adalah orang-orang yang sangat menghormati segala sumber daya yang terdapat di alam, dan menghindari sikap untuk menyia-nyiakannya. Berkebalikan dengan sikap masyarakat modern pada umumnya yang konsumtif dan boros. Maka, adalah hal yang wajar pada zaman Edo bila ditemui seorang wanita yang memiliki kimono berusia puluhan tahun, dan tetap memakainya. Adalah hal yang wajar bila melihat orang-orang saat makan dengan tidak meniggalkan satu butir pun nasi di mangkuknya. Adalah hal yang wajar bila mereka memakan daging hingga tak bersisa dan ikan hingga tinggal tulanngnya, sebab bagi mereka setiap yang mereka makan dan gunakan telah mengorbankan nyawa makhluk hidup lainnya, mereka tidak ingin menyia-nyiakan nyawa yang telah tiada itu. Beginilah salah satu cara mereka menghormati alam.

Jauh kedepan mottainai terbentuk menjadi sebuah filosofi, bukan hanya sekadar ungkapan atas perilaku boros dan sia-sia. Demi melihat mottainai secara lebih ringkas agar mudah mempraktikkannya, Wangari Maathai seorang aktivis lingkungan hidup dan politik mengampanyekan mottainai kepada dunia lewat konferensi-konferensi tingkat tinggi di Afrika hingga Eropa. Wanita asal Kenya ini merumuskan konsep 3R + R, pembaca mungkin bertanya-tanya  rumus seperti apa ini? 3R+R merupakan singakatan dari Reduce, Reuse, Recycle + Respect.

 Reduce, dapat diartikan mengurangi penggunaan barang, atau uang untuk hal-hal yang kurang perlu atau bukan prioritas, hal ini demi menghilangkan sikap pemborosan. Reuse, berarti menggunakan kembali barang-barang yang selayaknya masih bisa digunakan. Semisal baju ynag robek masih bisa dijahit jangan langsung membuangnya atau menggantinya dengan baju baru. Jika selayaknya sudah tidak pantas dipakai baju tersebut masih berguna untuk dijadikan kain lap. Begitu pula baju yang kekecilan jangan langsung dibuang, tapi berikannlah pada mereka yang membutuhkan atau dijual kembali sebagai barang preloved. Recycle berkaitan erat dengan penggunaan barang-barang tertentu, yang dapat didaur ulang. Artinya usahakan barang-barang yang digunakan dapat didaur ulang kembali, hal ini demi mengurangi sampah plastik yang sudah menyesaki bumi. Menggunakan barang daur ulang, sebenarnya merupakan salah satu bentuk ungkapan cinta manusia terhadap alam, karena telah memaksimalkan penggunaan sumber daya alam yang terbatas dengan sebaik-baiknya.

Konsep 3R+R inilah yang semestinya dilakukan oleh tiap individu, agar timbul kesadaran akan lingkungan. Konsep yang berasal dari filosofi mottainai ini tidak memandang ras, agama dan warna kulit. Siapapun bisa melakukannya, bayangkan bila semua orang di dunia ini melakakukan hal demikian, mungkin Thunberg tak perlu susah-suah untuk bolos dari sekolah tiap hari jum’at. Para pemimpin akan sadar dan melakukan perubahan sistem ekonomi dan polotik sekiranya sistem yang lama sudah tidak cocok dengan kondisi saat ini, tanpa harus melibatkan demo besar-besaran. Perubahan sistem yang dicita-citakan Thunberg dapat dimulai lewat diri masing-masing, yakni lewat menumbuhkna kesadaran lingkungan.

Namun kiranya tak dapat dipungkiri, untuk mewujudkan hal tersebut harus pula melalui proses yang lama. Setiap yang menginginkan perubahan pasti berada pada fase transisi bila dilihat dalam Three Horizons Framework, untuk mencapai horizon ketiga dimana konsep dan sistem baru menanti dilegitimasi, mereka yang merancang perubahan harus melalui kurva status quo antara horizon satu dan dua. Tapi setidaknya penggunaan filosofi mottainai lewat cara-cara kecil dalam kehidupan sehari-hari dapat mempercepat fase transisi ini, bila masing-masing kita mengimplementasikannya Bukankah Thunberg memulai gerakannya dengan termangu sendiri hingga pada akhirnya jutaan orang mulai sadar dan termotivasi?