Ibnu Rusyd merupakan tokoh yang dikenal luas sebagai filsuf sekaligus tokoh tasawuf. Kita bisa berbeda pandangan tentang siapa Ibnu Rusyd itu, apakah dia seorang filsuf atau sufi? Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang filsuf karena ia menulis karya-karyanya yang memberikan nasihat tentang pemikiran Aristoteles dan bukunya membantah serta mengkritik serangan Al-Ghazali terhadap filsafat.

Ibnu Rusyd mendapat pelajaran filsafat yang bisa dikatakan jelas dalam Sanad karena bersumber langsung dari sumber Yunani. Ia sangat tertarik dengan filsafat, sehingga ia terpesona oleh Aristoteles dan pandangannya yang cukup luar biasa. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Aristoteles adalah apa yang dimaksud Firman Tuhan dalam QS Ali Imran ayat 73, yang artinya “Rahmat ada di tangan Tuhan, diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya”.

Menurut Ibnu Rusyd, Aristoteles adalah sumber ilmu dan kebajikan serta manifestasi akal budi ideal manusia yang dekat dengan akal universal (akal Tuhan). Ibnu Rusyd juga mengomentari tulisan-tulisan Aristoteles. Maka Dante memberinya gelar kritikus Aristoteles (Syarih Aristo) dalam karyanya Divina Commedia (Divine Comedy).

Dalam bukunya Tahafut al-Thafut, Ibnu Ruysd sangat menyayangkan terpecahnya umat Islam ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah dan ahli hadits Hasywiyyah. Masing-masing mengklaim telah mencapai kebenaran sementara yang lain disesatkan. Hal ini disebabkan adanya kesalahpahaman tentang makna syariah.

Dengan pemikiran dan pendapatnya tersebut, Ibnu Rusyd tidak ingin membentuk kelompok baru, melainkan mengemukakan dalil-dalil keyakinan agama yang dapat diterima semua kalangan. Ini karena sebagian orang berpikir bahwa filsafat bertentangan dengan keyakinan dan teks agama. Tentu anggapan tentang Ibnu Rusyd di atas salah karena mereka tidak memiliki petunjuk untuk menafsirkan teks-teks agama yang disebut Mutsyabihati. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki metode dan esensi filsafat yang memungkinkan mereka mendamaikan diri dengan iman Islam. Dalam hal ini, menurut Ibnu Rusyd, cara mendamaikan mereka adalah dengan menafsirkan akidah Islam dengan tafsir-tafsirnya yang diterima dan dibutuhkan akal.

Atas perjumpaan agama dan filsafat, khususnya filsafat, Aristoteles mampu membuktikan kebenarannya melalui penalaran yang logis, sehingga konflik antar umat Islam itu sendiri dapat diselesaikan. Namun menurut Ibnu Rusyd, gagasan atau dalil penggabungan agama dan filsafat tidak perlu diumumkan (diusulkan) kecuali kepada orang-orang tertentu yang dianggap mampu menerimanya.

Untuk menemukan titik temu antara filsafat dan agama, ada baiknya kita terlebih dahulu memahami kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga hal yang ditulis Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Pertama, bahwa alam semesta ini qadim atau abadi tanpa awal. Kedua, bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal besar dan bukan hal-hal kecil. Ketiga, bahwa di akhirat hanya berkumpul ruh manusia, bukan jasad.

Berikut argumentasi Ibnu Rusyd. Pertama, mengenai filosofi keabadian alam, Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa pendapat para teolog tentang penciptaan alam “bukan dari ketiadaan” tidak didasarkan pada dalil-dalil syariat yang kuat. Menurut Ibnu Rusyd, tidak ada ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan pada mulanya berdiri sendiri, artinya tidak ada wujud selain wujud- Nya, dan barulah dunia diciptakan.

Ibnu Rusyd lebih jauh mengungkapkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an mengungkapkan bahwa alam tidak tercipta “dari ketiadaan” melainkan dari sesuatu yang telah ada sebelum alam terbentuk. Maka Ibnu Rusyd menyukai surat Ibrahim ayat 48: Menurutnya, alam sebenarnya diciptakan, tetapi diciptakan dalam penciptaan yang terus-menerus. Dalam arti bahwa alam itu abadi.

Kedua, al-Ghazali mengungkapkan kepada Ibnu Rusyd adanya kesalahpahaman tentang Tuhan yang tidak mengetahui detail alam karena para filsuf tidak pernah mengungkapkan hal seperti itu. Menurut Ibnu Ruysd, para filsuf mengungkapkan bahwa pengetahuan Tuhan tentang detail-detail di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang detail-detail itu. Lebih lanjut Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa ilmu manusia berbentuk akibat atau pengaruh, sedangkan ilmu Tuhan adalah sebab, yaitu alasan realisasi detail.

Ketiga, tidak ada kebangkitan jasmani, hanya kebangkitan rohani. Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa hanya untuk orang biasa subjek kebangkitan harus digambarkan dalam bentuk fisik karena kelompok filsuf lebih termotivasi untuk melakukan perbuatan baik. Karena Ibn Rusyd mencoba dalam kisahnya untuk membuktikan kebenaran Allah melalui hukum kausal, yang tidak dapat diterima begitu saja oleh para ahli hukum, tuduhan kontroversial dilontarkan terhadap gagasannya dalam kasus itu. Menurut Ibn Ruysd, tidak ada yang ada tanpa alasan. Semua sebab diurutkan hingga ke sebab pertama, yaitu proses penciptaan alam semesta atau sebab penciptaan, yang terus bergerak dan terus berubah.

Menanggapi serangkaian tuduhan yang dilontarkan terhadap Ibn Rusyd, dia berusaha memastikan bahwa tidak ada pemikiran Yunani yang diadopsi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kemungkinan menggabungkan keduanya juga sangat tinggi. Ibnu Rusyd berkata: “Sesungguhnya hakikat kebenaran itu hanya satu, orang menggambarkan bentuknya berbeda- beda.”

Dari ungkapan Ibnu Rusyd dapat disimpulkan bahwa diperlukan pemahaman filsafat, terutama untuk melengkapi pemahaman kita tentang realitas kehidupan yang diciptakan oleh Allah SWT.