image by islam.nu.or.id
image by islam.nu.or.id

Indonesia adalah Negara budaya dan adat istiadat, dari Sabang sampai Merauke, tersebar dalam 34 provinsi, Indonesia benar-benar kaya akan budaya yang sangat beragam yang kemudian keberagaman itu sendiri menjadi salah satu ciri dan identitas bumi Nusantara ini.

Di samping itu, Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang memiliki populasi muslim terbesar diseluruh dunia. Dapat diperkirakan pada saat ini umat muslim di Indonesia mencapai sekitar 229 juta orang.  Jumlah ini mencapai 87,2 persen dari total populasi masyarakat tanah air. Perlu ditekankan, meskipun Islam menjadi mayoritas di Indonesia. Namun, Indonesia tetaplah bukan Negara yang berasaskan Islam.

Kedua hal tersebut yang kemudian membentuk sebuah akulturasi antara budaya yang ada di Nusantara dengan Islam itu sendiri. Pada awal masuknya Islam ke Nusantara, ia tidak lepas dari sifat dinamisnya yang menyesuaikan dengan budaya masyarakat pada saat itu. Bukti-bukti akulturasi tersebut bisa dilihat pada bentuk arsitektur, seni sastra, seni lukis, seni ukir, tradisi perayaan-perayaan hari besar islam dan lain sebagainya.

Masuknya Islam di Bumi Nusantara

Ada tiga teori yang mendasari Awal masuknya Islam di Nusantara yaitu:

  • Teori Gujarat. Dalam teori ini, diceritakan islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dari pedagang India Muslim Teori ini berkembang dari Pijnappel dari Universitas Leiden yang mengatakan bahwa asal muasal islam dari Gujarat dan Malabar. Kemudian, orang arab yang bermadzhabkan Syafi’i berimigrasi ke India, yang kemudian orang India inilah yang membawanya ke Indonesia.
  • Teori Mekah. Teori ini dikeluarkan sebagai bentuk koreksi dari teori Gujarat, pertama kali dicetuskan oleh Hamka dalam Dies Natalis PTAIN ke-8 di Yogyakarta. Menurut Hamka, bangsa arab lah yang pertama kali datang ke Indonesia yang kemudian diikuti oleh Persia dan Gujarat, disebutkan pula bahwa masuknya islam ke Indonesia terjadi sebelum abad ke-13, yakni 7 Masehi atau abad pertama hijriyah.
  • Teori Persia. Teori ini dicetuskan oleh Hoesein Djajadiningrat. Menurut teori ini islam masuk ke Indonesia dari Persia singgah di Gujarat pada abad ke-13. Hal ini dibuktikan dengan adanya persamaan antara budaya Indonesia dengan Persia. Hal ini yang kemudian juga dipertegas oleh Morgan (1963:139-140).

Proses penyebaran islam di Indonesia berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu dari abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi. Dan selama masa itu pula para pedagang dari Arab, Gujarat, dan Persia makin intensif menyebarkan islam di daerah yang mereka kunjungi terutama di daerah-daerah pusat perdagangan.

Studi Islam pada Masa Kerajaan-Kerajaan Islam

Kemudian, perkembangan islam dan pendidikannya di Indonesia semakin pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan islam. Perkembangan kerajaan di Indonesia berlangsung antara abad ke-13 sampai abad ke-18. Kerajaan-kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan lokasi pusat pemerintahan mereka, yaitu di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Munculnya kerajaan-kerajaan ini yang juga menjadi tanda semakin meredupnya kerajaan-kerajaan yang sudah lebih awal berdiri yang rata-rata bercorak Hindu dan Buddha.

Kerajaan-kerajaan ini yang kemudian juga menjadi pusat pendidikan dan kekuasaan yang memiliki banyak jaringan keilmuan. Misal, Samudra Pasai, Malaka dan Aceh. Ketiga kerajaan tersebut tersohor dengan sebutan serambi Mekkah, menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama islam di Nusantara.

Pada masa kejayaannya, kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat perniagaan, dikunjungi oleh banyak saudagar dari berbagai daerah. Kerajaan ini memiliki relasi yang cukup luas dengan banyak kerajaan luar, sehingga selain menjadi pusat perniagaan, kerajaan ini juga menjadi pusat pengembangan agama islam.

Disini juga awal berkembangnya huruf arab yang dibawa oleh agama islam dan digunakan untuk menulis karya dalam bahasa melayu, yang kemudian huruf-huruf ini disebut arab jawi. Salah satu hasil karya tulis dari huruf jawi ini adalah Hikayat Raja Pasai (HRP), ditulis pada perkiraan tahun 1360 M, yang menjadi awal perkembangan sastra melayu klasik di Indonesia. Bahkan Syaikh Abdurrauf al-Singkili kemudian menggunakan bahasa melayu dalam menulis buku-bukunya.

Selain itu berkembang pula ilmu tasawuf. Banyak buku-buku tasawuf yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa melayu, salah satunya adalah Durru al-Manzum karya Maulana Abu Ishak, yang diterjemahkan oleh Makhdum Patakan atas perintah dari Sultan Malaka. Meskipun pada tahun 1360 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit dan pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.

Pada masa-masa kerajaan, islam memulai perkembangannya dalam menyebarkan diri di bumi Nusantara. Dengan adanya kerajaan-kerajaan islam, agama islam semakin mudah dalam berkembang di kalangan masyarakat. Akan tetapi pada masa kerajaan, yang juga sekaligus didampingi oleh adanya penjajahan saat itu, Indonesia belum merdeka, tentu perkembangan studi Islam masih berbentuk pada wilayah-wilayah tertentu, karena Indonesia sendiri pada saat itu belum menjadi negara kesatuan.

Proses pendidikan Islam di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara cukup mendapat perhatian besar dari para raja ataupun sultan yang pada saat itu memerintah. Hal ini dibuktikan dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam serta tempat ibadah yang turut mebawa pengaruh positif terhadap kemajuan studi Islam pada saat itu.

Studi Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Studi Islam sudah ada dan berkembang bahkan sebelum penjajahan itu datang ke Indonesia. Dimulai dengan pembacaan syahadat sebagai bentuk landasan dan pengikraran diri terhadap Islam, yang kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran fiqih dan madzhab Syafi’i. Dalam tradisi pengajaran Islam, pembelajaran ini dikenal dengan istilah khalaqa.

Sementara berjalan proses pertumbuhan pembelajaran Islam, Belanda mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1619, diawali oleh Jan Pieter Coen yang berhasil menduduki Jakarta. Belanda datang ke Indonesia dengan motif ekonomi, politik, dan agama.

Kelestarian penjajahan adalah cita-cita daripada Belanda itu sendiri, sehingga banyak sekali sistem-sistem yang mereka terapkan guna menekan sistem pendidikan Islam yang mereka rasa sewaktu-waktu akan menjadi ancaman berbahaya bagi kelangsungan penjajahan mereka.

Akan tetapi saat itu, mereka telah mendapati sebagian besar masyarakat pribumi sudah menganut agama Islam. Kemudian fakta tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi mereka akan pemberotakan dari para pribumi penganut Islam, karena Islam sendiri adalah agama yang menentang segala bentuk penidasan terhadap hak-hak kemanusiaan.

Kesadaran akan kerugian dan kedzalimandari penjajahan itu sendiri mulai disadari oleh umat Islam pada saat itu, penjajahan merupakan salah satu bentuk dari penindasan terhadap agama dan negara mereka. Sehingga mulai muncullah berbagai gejolak yang di timbulkan oleh kalangan para ulama dan santri. Perang Diponegoro, perang Aceh, Paderi dan beberapa perang lainnya merupakan contoh dan bukti dari perlawanan serta pertahanan umat Islam terhadap bentuk penjajahan Belanda.

Setelah itu, pemerintah Belanda mulai memberi kelonggaran terhadap proses perkembangan studi Islam, seperti kebebasan dalam memperdalam agama ke tanah Makkah.

Ada tiga ciri sistem pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda:

Dikotomis

Bentuk pertentangan antara pendidikan Belanda (HIS, MULO, AMS, dan lain sebagainya) dengan pendidikan Islam (pesantren, madrasah, surau). Belanda bersikap netral, memberi kebebasan mempelajari agama sesuai keyakinan masing-masing orang, asalkan pembelajaran dilakukan di luar jam pelajaran sekolah umum.  Sementara di pesantren, pendidikan Islam adalah pembelajaran wajib dengan menggunakan kitab-kitab klasik.

Meski demikian, pendidikan umum dan pendidikan Islam pada saat itu sama-sama mempunyai prinsip yang berbeda, sehingga melahirkan output yang berorientasi dalam filosofi yang berbeda pula. Suasana pendidikan dikotomis ini cukup terasa sangat kental. Hal itu terjadi pada abad ke-19 dan kembali diperkuat pada abad ke-20

Diskriminatif

Bentuk diskrimatif ini sendiri bisa dilihat dari  berbedanya bahasa pengantar yang digunakan. Di sekolah umum menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sementara di sekolah Islam bahasa melayu lah yang digunakan sebagai bahasa pengantar. Serta pembentukan badan yang dikhususkan untuk mengawasi sistem pendidikan Islam yang berjalan di tengah masyarakat selalu mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah Belanda.

Sentralistik

Seluruh sistem pendidkan Islam pada saat itu diatur dan ditentukan oleh Belanda. Pada masa itu juga pernah diberlakukan ordonansi guru 1905, dimana setiap guru yang mengajar di lembaga-lembaga Islam haruslah mendapat ijin terlebih dahulu dari pemerintahan Belanda. Ordonansi ini digunakan untuk menekan Islam dengan alasan keamanan.

Pada perkembangan berikutnya, ordonansi ini akhirnya dihapus karena dianggap tidak relevan lagi, dan diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya setiap guru hanya diwajibkan memberi tahu pemerintah belanda dan bukan meminta ijin. Akan tetapi ordonansi ini malah menekan setiap kyai atau ulama yang akan memberikan kajian umum pada masyarakat untuk mendapat ijin terlebih dahulu dari pemerintah Belanda.

Hal itu dilakukan khusus untuk menekan Islam, tidak semua kyai dan ulama pada saat itu boleh memberi kajian tanpa ijin dari penjajah. Selanjutnya pada tahun 1932 M dikeluarkan peraturan baru dimana Belandaa berhak menutup setiap madrasah, surau dan lembaga-lembaga Islam lainnya yang tidak mendapat ijin dari pemerintah, atau melakukan pengajaran yang tidak Belanda sukai.

Studi Islam pada Masa Penjajahan Jepang

Pada awal datangnya Jepang ke Nusantara, mereka bertingkah seakan menghormati dan melindungi umat Islam, pendidikan, serta berjalannya syi’ar-syi’ar keislaman di Nusantara. Bahkan menawarkan bantuan dana bagi madrasah-madrasah serta membiarkan masyarakat membuka kembali madrasah-madrasah yang pernah di tutup pada masa penjajahan Belanda.

Kebijakan-kebijakan Jepang tersebut memberi pengaruh pada perkembangan pendidikan Islam di masyarakat. Meskipun tetap ada sistem yang esensinya dilakukan untuk mengawasi pendidikan Islam yang berjalan, tetapi Jepang lebih bisa bersikap lunak daripada penjajahan Belanda.

Karena umur mereka ynag masih sebiji jagung, mereka melakukan siasat tersebut untuk mengambil simpati dari umat Islam di Nusantara. Letnan Jendral Imamura, pejabat militer di Jawa pernah menyampaikan, bahwa Jepang bertujuan untuk melindungi dan menghormati Islam.

Terbukti saat kepentingan perang dunia II, jepang mulai menampakkan sikap aslinya, yang ternyata adalah penjajah yang jauh lebih kejam dari Belanda. Mereka memaksa masyarakat pribumi untuk bergabung dengan badan pertahanan jepang, sehingga pendidikan pada saat itu terbengkalai.

Walau berada di bawah tekanan penjajahan Jepang, tetap ada beberapa pesantren yang terletak di daerah terpencil, tidak terjangkau oleh Jepang, tetap menjalankan sistem pendidikannya.

Studi Islam Setelah Kemerdekaan Indonesia

Dengan banyaknya tekanan, gangguan, serta serangan yang dilakukan oleh para penjajah, semangat spiritualisme dalam membangun pendidikan Islam tidak pernah surut di bumi Nusantara ini. Adapun pendidikan Islam yang dibangun di Indonesia, sebelum kemerdekaan, di tengah-tengah hiruk-piruk kejamnya kekuasaan penjajah yaitu :

  1. Madrasah Adabiyah School di Padang Panjang yang didirikan oleh H. Abdullah tahun 1907. Sekolah ini mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis. Sekolah tersebut tidak bertahan lama, dan diganti dengan Madrasah al Iqbal al Islamiyah yang diprakarsai oleh Syekh Taher Jamaluddin dari Singapura. Pada tahun 1914 madrasah Abadiyah dihidupkan kembali yang merupakan HIS pertama di Minangkau
  2. Madrasah Diniah School yang didirikan oleh Zainuddin Labai El Yunisi 1915 di Minangkabau dengan menggunakan sistem modern dengan menggunakan alat tulis dan alat peraga.
  3. Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H.  Ahmad Dahlan tahun 1923 di Yogyakarta.
  4. Madrasah Sumatra Tawalib, yang didirikan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah tahun 1921 di Padang Panjang.
  5. Madrasah Sajadah Abdiyah yang didirikan oleh Teuku Beureuh pada tahun 1930 di Sigli (Aceh).

Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama Islam di bumi Nusantara mulai mendapatkan perhatian serius dari pemeritah. Perhatian itu salah satunya diberikan dalam bentuk bantuan terhadap lembaga, sebagaimana dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) pada tanggal 23 Desember 1945.

Pada bulan desember 1946 dikeluarkan surat keputusan bersama (SKB) antara menteri pendidikan dan menteri agama yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta) yang berada di bawah kementerian pendidikan.

Secara bersamaan, kementerian agama juga mengelola semua jenis pendidikan agama, baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum. Sementara itu, departemen pendidikan pengajaran dan kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya dan mendapat kepercayan untuk melaksanakan system pendidikan nasional.

Pada era orde lama sampai memasuki awal era orde baru, eksistensi pendidikan Islam mengalami banyak ketertinggalan dibandingkan dengan pendidikan umum. Pada masa ini muncul istilah dualisme pendidikan, dimana dikatakan pendidikan Islam yang dikelola di bawah kementerian agama dan pendidikan umum yang dikelola di bawah departemen pendidikan dan kebudayaan. Meskipun kemudian pemerintah orde baru berupaya mengurangi dualisme pendidikan secara nasional dengan mengintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional melalui ketetapan MPR, keputusan Presiden, surat keputusan bersama menteri, sampai undang-undang sistem pendidikan nasional.

Seiring dengan itu, keluarlah SKB tiga menteri tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah yang isinya antara lain adalah izin kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. Kemudian mulailah berkembang perguruan-perguruan tinggi yang berlabelkan Islam. Universitas Islam Indonesia yang tecatat sebagai perguan tinggi islam pertama di indonesia mulai didirikan pada 8 Juli 1945 dengan nama sekolah tinggi Islam (STI) di jakarta, mulai bertrasformasi dan sekarang menjadi universitas, disusul oleh lembaga-lembaga dan perguruan-perguruan tinggi lainnya yang mulai didirikan dan dikembangkan sebagai bukti mulai berkembangnya studi Islam di Indonesia.

Tantangan Pendidikan Islam di Era Millenial

Seiring berkembangannya zaman, tantangan dan hambatan studi Islam di Indonesia turut mengalami perkembangan dan perubahan. Saat ini dunia telah memasuki era revolusi industri 4.0. Era ini memberi keuntungan dan tantangan tersendiri dalam kancah studi Islam di Indonesia.

Setelah banyak abad dan rasa sakit dilalui hingga akhirnya islam di Indonesia dapat mencapai kebebasan, kenyamanan, persamaan, serta kemajuan yang kita rasakan dalam dunia pendidikan Islam yang ada saat ini.  Tantangan seiring berkembangnya zaman yang semakin dinamis juga terus berkembang.

Dimana segala sesuatu yang biasa dilakukan secara manual kini bisa dilakukan dengan sangat praktis. Tentunya hal ini sangat perlu dibarengi dengan kuatnya ilmu keislaman yang semakin relevan dengan kebutuhan saat ini.

Sangat urgent sekali kebutuhan akan studi Islam untuk terus menerus bergerak dalam menjawab berbagai tantangan serta kebutuhan yang ada. Suksesnya studi Islam bukan hanya didasarkan pada teori dan tujuan dari studi itu sendiri. Akan tetapi perlu dibarengi dan didukung oleh sistem yang seharusnya berkembang untuk membantu potensi fitrah manusia. Pendidikan Islam saat ini diharuskan dapat menyentuh berbagai asppek kemanusiaan, sprilitualitasnya, intektual dan psikomotorik harus dibina dengan serangkaian sistem pendidikan Islam secara menyeluruh.

* Penulis adalah seorang Mahasiswi Jurusan Hukum Tata Negara, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.