Semua makhluk di muka bumi ini diciptakan oleh Allah dengan spesial. Di antara makhluk hidup lainnya, manusia yang paling spesial. Bedaannya dengan hewan dan tumbuhan, manusia memiliki akal yang rasional dan insting. Akal menjadi tolak ukur perbandingan manusia dengan makhluk lain, mengungguli ciptaan Allah lainnya  muka bumi ini. Allah menciptakan manusia bukan untuk main-main, Allah menciptakan semua makhluk di muka bumi ini dengan tujuan dan hikmah masing-masing. Dalam (QS. Al-Mukminun:115) di terangkan yang artinya “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”. Ayat lain dalam (QS. Adz-Dzariyat:56) juga menerangkan bahwa “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahku”. Ayat tersebut mencatat bahwa tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah dan menyembah Allah semata. Ayat ini mengisyaratkan pentingnya

Tauhid sebagai bentuk ibadah yang paling agung bagi manusia, yakni meng-Esa-kan Allah dalam ibadah dengan beriman, berilmu dan beramal. Melaksanakan ibadah bagi masing-masing pribadi tidak lantas beribadah secara vertikal atau sebatas dimensi hubungan dengan Allah. Islam juga menuntut umatnya agar menjadi orang yang shalih dalam bersosial, yang keshalihannya dapat berbentuk horizontal menjadi rahmat se dunia dan isi-nya. Tentu hal ini dapat dilakukan oleh manusia apabila ia mengenali jati diri serta tujuan hidup dengan menggunakan akal untuk berfikir sebaik mungkin.

Meminjam perkataan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya’ al-Sa’adah, beliau merumuskan bahwa kunci kebahagiaan sejati ada empat, diantaranya adalah mengenal diri. Yang dimaksud mengenal diri disini bukanlah upaya pengenalan diri secara fisik dan material (seperti berapa ukuran sepatu, ukuran baju, ukuran barang-barang lain yang digunakan) melainkan bagaimana upaya pengenalan diri secara batin. Artinya, pengenalan batin itu didapat melalui perenungan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pokok dan mendasar; “siapa aku? Dari mana asalku? Kemana aku pergi? Dan apa tujuan hidupku?”. Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri kita dan mana yang tidak. Sehingga dengan demikian, rasio yang digunakan akan mampu membedakan mana manusia yang sebenarnya dan mana yang bukan manusia. Manusia sebagai eksitensi di muka bumi akan mencapai hakikat apabila esensi dibentuk oleh eksitensi. Artinya, eksitensi mendahului esensi karena esensi itu akan dibentuk oleh eksitensi manusia sebagaimana eksitensi manusia dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi yang melekat di dalam hati nurani.

Sebagai makhluk pancaran dari Tuhan, maka dengan sendirinya esensi manusia akan terbentuk sebagai manusia yang ber-eksitensi secara tunggal di muka bumi. Maka disinilah peran agama menjadi kebutuhan manusia, menjadi titik sentral dalam menopang humanisme dalam kehidupan sebagai wujud manusia akan ke-khalifahannya. Gus Dur pernah mengatakan “peran agama yang sesungguhnya adalah membuat orang sadar akan fakta, bahwa dirinya merupakan bagian dari anggota umat manusia, dan bagian dari alam semesta”. Dengan beragama, akan membuat manusia sadar bahwa dirinya adalah manusia. Oleh karena itu, coba bayangkan apabila manusia tidak mengikuti ajaran agama akan seperti apa? Tentu mereka dan kita semua akan lupa diri, atau bahkan kehilangan diri. Apabila manusia lupa hingga kehilangan diri sendiri, maka ia akan merusak kemanusiaannya di muka bumi dengan bertindak sebagaimana layaknya manusia yang tidak berakal dengan merugikan orang-orang lain seperti tindakan korupsi, mencuri, membunuh, dan lain sebagainya. 

Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal memiliki kewajiban menuntut ilmu yang hakiki, karena dengan ilmu dapat menyelidiki keadaan insan sesudah mati (pasca kehidupan duniawi). Karena dengan demikian, manusia akan mengerti tujuan hidup di muka bumi ini dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai eksitensi diri yang tunggal. Cak Nur juga pernah mengatakan bahwa “manusia akan kembali kepada Tuhan-nya di akhirat secara tunggal untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat selama di dunia sebagai tanggung jawab amal masing-masing”. Ilmu yang dimiliki oleh manusia dalam ber-agama di harapkan tidak hanya sekedar mereka cukup mengetahui, melainkan juga mengerti serta mengamalkannya.

Seperti yang diungkapan Gus-dur “betapa banyak hal tragis/menyedihkan terjadi, karena kita tidak dapat membedakan antara mengetahui dam mengerti akan perjalanan hidup”. Artinya, orang yang mengetahui agama dengan bekal hanya sekedar tahu, berarti tidak mendalam. Saat sesuatu kita bolak-balik, pasti menjadi bingung. Bandingkan orang yang mengerti agama, tentu ia tidak hanya sekedar mengetahui, melainkan juga menghayati apa yang telah diketahui dalam beragama. Demikian manusia yang semakin rindu berjumpa dengan-Nya, ia tidak akan takut pada kematian, karena takut mati hanyalah mereka yang tidak mengerti hakikat hidup.

Dalam bukunya Tasawuf Modern, Prof. Dr. Hamka menjelaskan bahwa

ORANG TAKUT MATI KARENA DIA TIDAK TAHU KE MANA AKAN PERGI SESUDAH MATI, DAN TIDAK TAHU BAHWA JIWA ITU KEKAL. TIDAK TAHU PULA KEADAAN DIHARI KEMUDIAN. ORANG YANG DEMIKIAN, PADA HAKIKATNYA BUKANLAH TAKUT MATI, TETAPI TIDAK TAHU BARANG YANG MESTI DIKETAHUI. YANG MENIMBULKAN TAKUT ORANG YANG BODOH, BAGI PARA CERDIK PANDAI MENDORONG MENGHABISKAN UMURNYA MENUNTUT ILMU. PARA CERDIK PANDAI TIDAK PEDULI KEPAYAHAN JASMANI UNTUK MENUNTUT KEMULIAAN ROHANI. MEREKA LEBIH SUKA BERTANGGANG. MEREKA KADANG TIDAK TIDUR SAMPAI LARUT MALAM KARENA MEMIKIR HIKMAH ATAS KEHAUSAN ILMU YANG INGIN DIPEROLEH. MEREKA BERKEYAKINAN BAHWA KESENANGAN SEJATI DI DALAM KEHIDUPAN IALAH TERLEPAS DARI KEBODOHAN, KEBODOHAN YANG MEMBELENGGU DIRI YANG HANYA MENGARAHKAN KEPADA KEBURUKAN BERFIKIR DAN PERILAKU DALAM MENJALANKAN KEHIDUPAN

Kondisi yang disebutkan oleh Hamka tadi lantas akan berimbas pada diri sendiri, sehingga kurang menjadi manusia yang seperti yang diinginkan oleh Islam yakni menjadi khilafah di muka bumi dengan menebarkan kasih dan sayang Islam ke seluruh alam semesta dengan kualitas iman, ilmu, dan amal yang dapat dimiliki. Mereka berkeyakinan bahwa kesenangan sejati di dalam kehidupan ialah terlepas dari kebodohan, terlepas dari kebingungan menilik rahasia alam. Kepayahan yang larut menimpa jiwa. Obatnya ialah mempelajari ilmu, itulah kelezatan sejati dan kesenangan abadi. Tatkala para cerdik pandai mengetahui bahwa kesempurnaan jiwa ialah dengan ilmu, dan kesengsaraan ialah karena kebodohan, serta di pikiran mereka pula bahwa ilmu itu adalah obat dalam jiwa manusia dan kebodohan adalah penyakit. Karena hanyalah  manusia yang berilmu yang akan mampu meningkatkan ketakwaan seorang hamba terhadap Tuhan-Nya untuk mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi yang secara spesial membedakan manusia dengan makhluk lainnya. 

* Penulis adalah Seorang Mahasiswa asal Sumenep yang Sedang Menempuh Pendidikan di Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial IAIN Madura

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here