image by beritakbb.pikiran-rakyat.com
image by beritakbb.pikiran-rakyat.com

Di tengah situasi sosial-politik dalam negeri yang ramai dan semrawut hari ini, perlu kiranya kita mencari kiat untuk menjadi pendengar atau pembaca yang sehat dalam merespon pesatnya berita yang beredar. Selain masih diramaikan dengan isu pandemi yang masih menjadi wejangan suci pemerintah, ada juga ketegangan yang muncul kembali pasca kembalinya HRS ke tanah air.

Terkait fenomena-fenomena di atas, akhir-akhir ini saya mulai dipertanyakan sikapnya dalam merespon situasi tersebut. Entah apa motif, maksud, dan tujuannya. Tapi menurut saya hal itu cukup wajar, mengingat tidak sedikit teman yang saya miliki (offline maupun online) dari berbagai latar belakang cara berpikir yang berbeda. Mereka cukup variatif, ada yang pendiam, ada juga yang selalu ingin bertukar pikiran dengan pola dialektika Hegel. Wadaw, berat bung!

Meskipun hal ini tidak serumit memahami perempuan yang sedang PMS, bagi saya hal ini akan menggiring ke pembahasan yang agak berat. Mengapa demikian? maklum, terkadang kita belum mampu menjadi gelas kosong yang siap diisi beberapa varian rasa minuman seperti di Simposium Center (ada Kopi Nusantara, Arabica bahkan ada Susu Soda dan Josua). Hehe.

Menyikapi pertanyaan dari kawan-kawan, kalau boleh jujur, saya lebih suka dan tertarik mendiskusikan fenomena mengenai viralnya video 19 detik nih. Karena menurut saya, video tersebut diproses dari kedinginan dan hasilnya dianggap panas, menanggapinya ya harus panas dinging, hehe. Guyonannya kalau gak salah begitu.

Mengacu pada yuridisial Negara Indonesia, penyebar video asusila 19 detik ini bisa saja divonis melanggar hukum sah perundang-undangan, bahkan dapat dijerat dua pasal berlapis (UU ITE dan Pornografi) yang sampai kini pelakunya sedang berhadapan dengan kepolisian. Adapun motif penyebaran video tersebut ada dua alasan, yaitu untuk meraup followers (pengikut yang banyak) dan sebagai syarat mengikuti give a way (Mendapatkan hadiah).

Menariknya, mengapa pelaku lebih memilih cara demikian dengan menjadikan video asusila sebagai marketing media online? Apakah dalam dunia maya saat bermedia sosial, lebih laku video ataupun barang yang berintrik pornografi? Benarkah bisikan nyeleneh Sigmund Freud dalam psikoanalisanya masih relevan, bahwa manusia tidak pernah lepas dari seks sebagai kebutuhan dasarnya, hingga mengguanakan media yang erat dengan seksualitas agar dapat direspon khalayak umum? Tapi ini bertentangan dengan realitas hukum, value Negara kita, sebagai rakyat yang nasionalismenya kuat, kita harus mematuhinya. Lantas, bagaimana jika ada yang berani menyebarkan dengan alasan untuk mengapresiasi hasil riset Michel Foucault (filsuf post-modernisme) di Victoria yang secara frontal melarang menutup-nutupi seks pada saat itu? Ah, Jakarta bukan Victoria masa itu.

Masih dalam uraian video viral 19 detik, kini netizen mulai memperbincangkan di jagat online dan secara offline sambil ditemani kopi dan sebatang rokok di sela jarinya, seakan penuh rasa penasaran, siapakah sosok perempuan yang sebenarnya dalam video tersebut? Apakah benar-benar melibatkan seorang artis cantik nusantara itu?

Semuanya mulai memberikan hipotesa sesuai nalarnya, sesuai penilikannya pada video tersebut yang kemudian mengkomparasikan dengan akun resmi artis yang dianggap mirip sambil menunggu kepastian dari pihak yang berwenang. Ada unggahan video yang berisi pendapat salah satu pengacara yang dikenal agak nyentrik dalam menuai fakta. Menurutnya, “Silahkan lihat saja dadanya pada video itu, kemudian lakukan penyidikan pada payudara artis tersebut, apakah mirip atau tidak? Tapi, apakah mungkin dilakukan?”

Menurut hemat saya, hal ini menjadi semakin konyol. Padahal video tersebut diperankan oleh dua orang berlainan jenis kelamin, mengapa fokus pembahasannya hanya pada perempuan? Siapa juga sosok laki-laki dalam video tersebut, harus juga dilibatkan dalam proses analisis. Sebab hal ini akan menimbulkan alienasi sosial pada sang lelaki sebagai hukuman moral dalam kultur kita, jejak digital yang akan menjadi saksi data.

Lantas bagaimana kaum perempuan menyuarakan pendapatnya? Sejauh ini masih belum banyak. Sejenak kita lihat buku “Sosiologi Feminisme: Konstruksi Perempuan dalam Industri Media” yang ditulis oleh Widjajanti M. Santoso, ia sedikit menjelaskan bahwa representasi feminitas di dunia industri media telah memperlihatkan adanya stereotipe dan stigma tertentu, berupa nilai ideologi misoginis yang sangat tidak menguntungkan perempuan.

Stereotipe cenderung menghegemoni sehingga perempuan tidak bisa lepas dari konstruksi yang mengikatnya. Tapi, pembahasan seperti ini kayaknya kurang menarik didiskusikan, apa karena bukan bahasan politis? Hehe.

Mau sadar atau tidak, inilah dunia kita hari ini. Manusia-manusia diantara kita telah membuat banyak kreatifitas dalam dunia elektronik dan teknologi yang semakin canggih dari waktu ke waktu. Ada istilah dalam dunia internet yang disebut dengan Deepfakeyaitu video rekayasa atau produk digital manipulasi yang dirancang menggunakan kecerdasan buatan yang canggih. Hasil dari videonya pun sangat persis dengan orang yang dijadikan subjek dalam video sesuai narasi si pembuat. Di Amerika Serikat, tahun 2016 silam teknologi ini pernah dibuat sebagai alat politik, pengantar hoax pada masyarakat saat pilpres dalam meruntuhkan reputasi kandidat calon pejabat publik.

Dikutip dari CNBC Indonesia (16/10/2019), John Villa Senor, seseorang yang fokus mendalami kecerdasan buatan (Artificial Intitelegence) mengungkapkan bahwa Deepfakes dapat dibuat oleh siapa saja dengan komputer, akses internet, dan keinginan bebas dalam mempengaruhi apapun. Alat baru ini menggabungkan antara Depp Learning dan Fake (Palsu).

Semua para ahli yang berkecimpung dalam informasi dan teknologi sontak tegang dan memberikan rambu-rambu akan bahayanya dunia maya. Namun di sisi lain, saya sambil menikmati seduhan kopi, teringat pada konsep sederhana Imam Al-Ghazali tentang Ulama’ (Ilmuan), bahwa tidak disebut orang berilmu mereka yang hanya sibuk menghafal teks-teks tanpa pernah mengkaji filosofi-filosofi dan rahasia-rahasia didalamnya. Artinya, setiap apa yang kita lihat, dengar dan rasakan, jangan langsung kemudian kita secara instan mengambil kesimpulan, karena kita masih memerlukan telaah-telaah bahkan analisis tingkat tinggi menggunakan kecerdasan murni yang diberikan Tuhan pada manusia (potensi) baik kecerdasan rasional, mental dan spiritual.

Akhirnya, menjadi manusia jangan pernah lari dengan apa yang harus dihadapi (kenyataan), akan tetapi jangan segera mengambil jalan pintas dalam menghadapinya. Semua terasa slow dan mudah bagi ahlinya. Kemudian jika kita tidak ahli, carilah ahli-ahli itu hingga kita dapat, karena hanyalah pelaut yang berjiwa nelayan yang berani menangkap ikan di tengah ombak yang dahsyat, sebab dalam membuat perahu, ia tahu komposisinya.

About The Author