image by bloghemia.com
image by bloghemia.com

Setelah membahas Schlemacher dengan Hermeneutika Romantismenya, Dilthey dengan Hermeneutika Metodologis dan Sosial-Historisnya, Heidegger dengan Hermeneutika Ontologisnya, Gadamer dengan Hermeneutik Filosofisnya, dan sekarang adalah Habermas dengan Hermeneutika Kritisnya.

Nama lengkapnya adalah Jurgen Habermas, salah satu tokoh Filsuf, bahkan dalam berbagai bidang ilmu, termasuk sosiologi, politik, teori hukum, studi kebudayaan, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan sebagainya termasuk tokoh literatur yang masih hidup.

Tokoh kelahiran 18 Juni 1929 di kota Gummersbach Jerman itu telah menyumbang pemikiran yang sangat kritis terhadap literatur Jerman, termasuk Heidegger dan Gadamer. Ia juga tercatat sebagai debater dengan para filsuf lainnya, termasuk Gadamer, Niklas Luhmann, Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Kardinal Ratzeinger.

Budi Hardiman mencatat bahwa “Habermas adalah contoh seorang filsuf yang mengembangkan teorinya langkah demi langkah dalam perdebatan dengan para teoritikus lain”. Dari beberapa jadwal perdebatanya dalam hal filsafat, maupun yang lainnya, Habermas menemukan jalan yang terang, tanpa ada yang memaksa untuk ikut serta ke dalam politik radikal Nazi pada saat itu. Tokoh semacam ini seperti Gadamer, kecuali Heidegger yang riwayat hidupnya dibumbui dengan politik Hilter tersebut.

Karyanya yang sangat fonomenal adalah Der Universalitatsanpruch der Hermeneutik: Klaim Universal Hermeneutik. Buku ini merupakan yang terakhir kalinya Habermas mengkritik Hermeneutika Gadamer yang memanas, dan pada akhirnya Gadamer menerima respon kritik dari teman debatnya dengan karya tulis Replik: Balasan serta Wahrheit und Methode.

Tradisi dan Refleksi Kritis

Mengulas hermeneutika Habermas tentunya akan melibatkan kritik-kritikannya terhadap Gadamer, terutama mengenai Hermeneutika Universalnya. Habermas muda memulai kajian hermeneutika yang bernuasa Marx dan Hegel yang kritis, serta mempersoalkan pandangan Gadamer, dan pada akhirnya Habermas mencatat: “Gadamer gagal mengenali daya refleksi yang berkembang di dalam Verstehen”.

Lebih jelasnya, Habermas mengkritisi gagasan Gadamer mengenai prasangka legitim. Menurutnya, Gadamer gagal meninjau lebih jauh “refleksi kritis atas tradisi” yang memungkinkan “putus” dari tradisi masa silam tersebut. Jadi, prasangka-prasangka yang telah mentradisi, sebagaimana dikukuhkan oleh Gadamer dalam Wirkungsgeschichte mendapat kritikan dari Habermas.

Isi kritikan tersebut berisikan kecaman atas keabsolutan tradisi dari masa silam sampai kekinian. Menurutnya, tradisi itu dapat “diputus”, seperti halnya tradisi Nazi. Mengapa Habermas begitu mempertimbangkan “keputusan atas tradisi”?, maka jawabanya tidak terlepas dari karya Gadamer sebagai obyek kritikannya itu sendiri, yakni Wahrheit und Methode. Dalam buku tersebut, kata “tradisi” tidak akan terlepas dengan kata “otoritas” yang disebut-sebut dalam buku itu sebagai muatan dari “prasangka”. Otoritas itu tidak jauh berbeda dengan arti “kekuasaan”.

Dengan begitu, teks yang dihandalkan oleh Gadamer semacam itu, terutama yang bernuasa politik dan agama akan pas mendapatkan “sentuhan hermeneutik kritis” Habermas. Karena, dengan hermeneutik kritis, para interpreter tidak mudah terjebak akan paksaan dari teks penulis yang mengandung otoritas-kekuasaan, dan lebih tepatnya interpreter untuk menggunakan “refleksi kritis” daripada tradisi yang memungkinkan di dalamnya terdapat politik-penulis yang sempat terabaikan.

Batas-batas Hermeneutik Biasa

Mengingat hermeneutika Gadamer, maka tentunya tidak ditemukan batasan-batasan dalam gagasan hermeneutiknya, sehingga seolah-olah “peleburan horizon-horizon” yang disongkong oleh Gadamer menjaring semua teks atau disebut hermeneutika universal. Titik inilah yang menjadi sorotan penuh dari Habermas. Ia mengklaim bahwa, tidak semua teks diperlakukan sedemikian hermeneutik Gadamer, karena ada hal yang tidak dapat dijangkau olehnya, yakni bahasa sehari-hari dan bahasa monogal atau matematika dan logika. Tidak hanya itu, Habermas juga menunjukkan kelemahan-kelemahan aplikasi “peleburan horizon-horizon” terhadap teks “abnormal”.

Di sini Habermas membahas persoalan itu dengan pemikiran Dilthey tentang Verstehen dengan Erklaren. Singkat penulis, Habermas tidak hanya menayangkan “pemahaman” sebagai interpretasinya, melainkan melibatkan “penjelasan”. Karena, hanya “penjelasan” akan mengungkap psikologis penutur ataupun penulis. Dengan begitu, teks “abnormal” akan terinterpretasi sepaham dengan penutur atau penulis.

Setelah mengetahui ketaksepahaman dalam teks atau “abnormal” dipengaruhi oleh penutur atau penulis, maka lebih lanjutnya pembahasan tertuju kapada si penutur atau penulis. Tentunya, teks abnormal itu tidak semudah keluar, atau terefleksikan ke dunia nyata begitu saja, kecuali penuturnya mengalami gangguan, misalnya gangguan kejiwaan ataupun mengalami indoktrinasi ideologis atau cuci otak, sehingga teks yang dihasilkannya tidak murni dari pengakuannya, melainkan sifatnya tidak jelas, ataupun terpaksa. F. Budi Hardiman menyebutnya “kesadaran palsu”.

Oleh karena itu, gagasan Gadamer dengan hermeneutika universalnya menemui batasa-batasannya, yang tidak dapat dipecahkan permasalahannya tersebut, kecuali dengan hermeneutika kritisnya Habermas.

Hermeneutika Kritis Habermas

Hermeneutika Kritis yang disuguhkan oleh Habermas merupakan hasil yang berkelanjutan, dan merupakan perkembangan dari Hermeneutika Filosofis Gadamer. Jika Gadamer hanya menguak eksistensi dari masing-masing horizon penulis dan pembaca, sedangkan Habermas menguak lebih dalam, yakni melibatkan psikologis penulis, ataupun penutur.

Dalam menjalankan hermeneutika kritisnya, Habermas berkiblat pada psikoanalisis Freud dan kritik ideologi Marx. Namun, jalannya hermeneutika kritis tidaklah sama dengan Schlemacher dan Dilthey dalam menemukan makna yang dimaksud penulis, ataupun Heidegger dan Gadamer yang menghasilkan makna yang terarah ke masa depan, melainkan Habermas menginginkan hermeneutik kritisnya dapat “membebaskan penulis dari komunikasi yang terdistori secara sistematis yang telah menghasilkan teksnya”.

Dengan psikoanalisis dan kritik ideologi, interpreter, tentunya Habermas tidak hanya menguak aspek kognitif, melainkan juga keseluruhan aspek praktisnya, khususnya dimensi sosialnya. Dengan begitu, interpreter dapat menguak keterlibatan teks dengan penulisnya, serta pada diri dan sosial pada penulisnya.

Apakah ia mengalami gangguan kejiwaan, sehingga perlu dipertanyakan teks yang dihasilkannya, ataukah ia terdistori oleh ideologi-ideologi yang memaksanya, sehingga perlu dipertanyakan kesepahaman -dalam artian disetujui oleh akal sehatnya- antara dirinya dengan teks yang keluar dari dirinya.

Oleh karena itu, Psikoanalisis, ataupun kritik ideologi sangat dibutuhkan dalam hermeneutika kritisnya Habermas untuk memerangi teks-teks yang terdistori secara sitematis oleh pihak lain, ideologi, atau oleh ketaksadaran penulis.

Ulasan Penulis

Apa yang dikemukakan oleh Habermas dengan para pendahulunya sangat mengabaikan analisa teks itu sendiri, dan lebih mengedepankan analisa penulis dan interpretasi, khususnya Hermeneutik Kritis yang diusung oleh Habermas dengan melalui pendekatan psikoanalisis Freud dan Ideologi Karl Max.

Habermas dan pendahulunya dapat dikatakan analisanya belum sampai ke ranah analisis “strukturalis-linguistis”, yakni antara pembekuan teks bahasa dengan bahasa itu sendiri. Karena, bila diabaikan analisis “strukturalis-linguistis”, dikhawatirkan bahasa yang digunakan penulis akan rentan berubah maknanya, bahkan tergantikan dengan makna yang baru.

Persoalan semacam itu akan terjawab oleh Paul Ricoeur dengan analisis “strukturalis-linguistis” untuk mengambil jarak antara teks yang dipakai oleh penulis dengan teks yang dipakai oleh interpreter. Pengambilan jarak itu disebut distinsiasi.

Referensi:

Budi Hardiman, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schlemacher sampai Derrida, (Yogyakarta: Kanisus, 2018)

About The Author