image by http://essaycemetery.blogspot.com/
image by http://essaycemetery.blogspot.com/

Paul Ricoeur adalah pemikir asal Prancis, berkelahiran Valence di Selatan Lyons, bertepatan pada tanggal 27 Februari 1913 M. Ia telah dinobatkan sebagai sosok tokoh besar yang berjasa untuk menjembatani antara berbagai tokoh Jerman dan tradisi filsafat Prancis sendiri dengan hasil yang otentik. Dia adalah Paul Ricoeur (1913-2003).

Namun kesuksesannya itu tidak didapatnya dengan mudah, ia menyempatkan membaca karya Husserl, Heidegger dan Karl Jaspers di tengah-tengah konflik Perang Dunia Kedua, meskipun ia sebagai penghuni tahanan di Jerman waktu itu.

Karya-karya itu, maupun dampak sosial yang berkecamuk pada saat itu juga, membuat pemikiran Ricoeur kian kritis, termasuk kritik terhadap fenomenologi yang digagas oleh Husserl, sekaligus melahirkan terjemahan dan komentar terhadapnya atas Ideen I, dan nantinya, fenomenologi untuk menjelajahi dimensi kehendak yang digagas oleh Gabriel Marcel yang telah mendominasi dalam bidang filsafat di Eropa, termasuk filsafatnya Husserl, Heidegger dan Karl Jaspers.

Mengajar Sejarah Filasafat di Universitas Stasboung; Mengkritik Filsafat Descartes

Sehabis Perang Dunia Kedua 1948, Paul Ricoeur sang ‘eksistensialisme’ atau ‘fenomenologi eksistensial’ diminta mengajar sejarah filsafat, mulai dari Plato, Aristoteles, hingga Nietzsche di Universitas Strasboung. Tawaran ini membuat Ricoeur tertarik pada filsafat ‘reflektif’, sebuah aliran filsafat yang berusaha menyibak subjektifitas autentik melalui refleksi atas sarana-sarana yang dipakai memahami eksistensi.

Tujuan ‘filsafat reflektif’ ini berusaha menguak kendala-kendala Descartes tentang ‘kesadaran’. Olehnya, kesadaran atau cogito dapat memahami makna, meskipun sempat menyisihkan aktifitas berpikir dari tubuh; atau melibatkan pikiran murni saja. Jika demikian, kegiatan refleksi telah menghilangkan ruang dan waktu.

Paul Ricoeur membantah pernyataan semacam itu, menurutnya aktivitas manusia tidak dapat dipisahkan antara kesadaran dan tidak sadar, alam bawah sadar dan tidak sadar; terpikirkan dan refleksi.

Oleh karena itu, Ricoeur sang eksistensialisme tidak hanya menguak isi pikiran pengarang, tetapi juga refleksinya; atau tubuh sebagai pijakan kehidupannya juga berperan dalam pembentukan teks. Dengan begitu teks terlibat dengan ruang dan waktu; dan tidak lagi menjadi teks yang otoriter bagi interpretasinya.

Budi Hardiman dalam bukunya mengkaitkan ‘filsafat reflektif Ricoeur’ dengan antropologis. Menurutnya:

“Implikasinya adalah bahwa kegiatan interpretasi juga bukan semata-mata untuk menemukan makna dalam teks, seolah-olah makna adalah sebuah keniscayaan faktual. Memahami teks berarti mengkaitkannya dengan makna hidup, dan kita mengkaitkan teks dengan makna hidup, yakni lewat refleksi. Jadi, tidak ada interpretasi tanpa refleksi”.

Pada kenyataannya, Ricoeur ingin mengkritik pemikiran Descartes yang hanya menggunakan ‘refleksi’ saja dalam pemahamannya, sekaligus mengambil pemikiran ‘refleksi’ nya tadi untuk juga mengkritik Heidegger dan muridnya, Gadamer yang mengabaikan ‘refleksi’. Untuk menanggapi kedua pemikir anti refleksi ini, Ricoeur menyusun kembali fenomenologinya Husserl demi mempertahankan ‘refleksi’ tersebut.

Mengajar Filsafat Umum di Sorbonne; Menjumpai Psikoanalisis

Filsafat reflektif yang dibahas oleh Ricoeur mengenai persoalan-persoalan Descartes atas pentingnya memahami teks dengan mempertimbangkan refleksi yang timbul dari eksistensi pengarang mengalami saling berkelindan antara filsafat Descartes, fenomenologi, dan eksistensialismenya.

Tidak hanya itu, ketika Ricoeur diminta mengajar filsafat umum di Sorbonne pada tahun 1957, dan saat itu juga, gagasan Husserl dan Heidegger disisihkan oleh gagasan Freud dan de Saussure. Namun Ricoeur tidak mengikuti trend tersebut, kecenderungannya terhadap fenomenologi Husserl yang telah mengakar membuatnya ia tampil berbeda dengan gaya filsafat Prancis.

Hanya saja, Ricoeur tidak mengabaikan perubahan tersebut. Menurutnya, ‘psikoanalisis’ dan ‘strukturalisme’ yang dibawa oleh pembaharuan tersebut menawarkan pendekatan radikal terhadap persoalan-persoalan mengenai ‘filsafat kehendak’ yang sebelumnya dibahas melalui pendekatan ‘fenomenologi’ terkait kekeliruan, simbolisme dan subjek. Di tahun 1973, Ricoeur pindah ke Nanterre untuk mengajar di Universitas Chicago, sekaligus menerima jabatan sebagai direktur pusat fenomenologi dan hermeneutik disana.

Meskipun sebelumnya ia sempat mengalami masa-masa yang rumit di Nanterre, tetapi tidak membuat Ricoeur patah semangat. Sehingga pada akhirnya, Ricoeur dapat dibilang “semakin karib dengan persoalan-persoalan bahasa, dan terlibat lebih jauh dalam dialog dengan hermeneutika”. Pada akhirnya, ia meninggal dunia pada 20 Mei 2005 di Chatenay-Malabry.

Memahami dan Menjelaskan

Memahami dengan menjelaskan, atau dalam bahasa Jermannya Verstehen dan Erklaren tentunya berbeda, serta mendapatkan bagian yang berbeda pula. Kalau memahami adalah menafsirkan, sedangkan menjelaskan adalah merefleksikan atau menganalisis. Namun perlu diketahui, disamping memperkenalkan dua metode tersebut, Ricoeur juga menekankan “distansiasi” yakni mengambil jarak antara penulis dengan pembaca, sehingga tidak lagi terjadi pembaca mencaplok horizon penulis, sebagaimana dilakukan oleh Romantisme.

Adapun distansiasi melibatkan dua tahap dialiktis, sehingga terbentuknya jarak tersebut. Pertama adalah bahasa, karena awal daripada problematika adalah pengambilan bahasa sebagai simbol-simbol tertentu, sehingga terbentuk kesepahaman antara penutur dan pendengar. Dengan bahasa yang begitu banyak, dan tentunya dipilih sebagai simbol tertentu, maka tentunya terlebih dahulu melalu “diskursus” sehingga ada kesepakatan atas bahasa sebagai simbol tertentu.

Itulah bagian pertama, dan bagian kedua adalah sebelum bahasa itu tersimbolkan, atau setelah melalui diskursus untuk kesepahaman, maka ranah selanjutnya bahasa itu tersimbolkan, atau ditekstualkan. Dari dua tahap itulah, distansiasi terwujud antara penulis dengan pembaca. Ricouer sendiri menyatakan

Saya yakin kita tidak harus berpikir di belakang simbol tapi mulai dari simbol itu sendiri,…bahwa ia membentuk lapisan paling atas dari ujaran yang beredar di kalangan manusia. Singkat kata, simbollah yang memunculkan pemikiran”.

Hermeneutika Ricoeur lebih komplit dibandingkan sebelumnya, Habermas. Karena, Habermas hanya mempersoalkan hermeneutik Psikoanalisis Freud dan Kritik Ideologis Marx, sedangkan Ricoeur juga melibatkan analisis strukturalis-linguistis. Oleh karena itu, tambahan dari Ricoeur akan analisis, mulia terbentuknya bahasa, sampai kesepakatan melalui diskursus, sampai mengtekstualkan menjadi ajang pembahasan dan kajian hermeneutik yang lebih dalam dan komplit.

Karena dengan mengetahui bahasa-bahasa yang dibawa oleh penulis, belum tentu sepadan maknanya dengan harapan si pembaca, dikarenakan ada distansiasi atau jarak yang memisahkannya. Adapun dengan keterlibatan Ricoeur dengan Psikoanalisis Freud dan Kritis Ideologis Marx, ia menjadikannya sebagai alat untuk “Hermeneutika Kecurigaan” nya.

Hermeneutika Kecurigaan

Untuk mengetahui gerak-gerik mengenai “Hermeneutika Kecurigaan”, maka tentunya merujuk kepada karyanya yang langsung berhubungan, bahkan berciri khas dan membicarakan “Psikoanalisis Freud”. Buku itu berjudul Freud et Philosophie yang tebalnya lebih 500 halaman. Lewat buku itu, akan dikenalkan Hermeneutika Ricoeur dan Psikoanalisis, atau lebih trendnya adalah “Hermeneutika Kecurigaan”. Namun perlu diketahui juga tentang asal-muasal dari “Hermeneutika Kecurigaan”.

Dua kata itu terbentuk dari dua konsep, yakni “Hermeneutik” dan “Psikoanalisis”. Tentu keduanya berbeda, bahkan obyek, maupun pengaruhnya berbeda. Kalau “Hermeneutik” berurusan dengan teks yang sifatnya mitos, samar sehingga dibutuhkan untuk diinterpretasi. Sedangkan “Psikoanalisis” berurusan dengan makhluk hidup, dan mencoba menguak hal-hal yang masih tersembunyi dalam diri yang tidak sadar. Perbedaan selanjutnya tentang “output”. Kalau Hermeneutik membuat seorang iman dan percaya, sedangkan Psikoanalisis membuat sebaliknya, yakni ateisme, karena kesadaran tidak lagi dipercaya.

Perbedaan-perbedaan semua itu tidak menjadikan Ricoeur mundur dalam membangun “Hermeneutik Kecurigaan” yang mengandung unsur Hermeneutik dan Psikoanalisis. Menurut Ricoeur, meskipun memiliki perbedaan, tetapi masih ada “titiktitik hubung” antara keduanya, sehingga Psikoanalisis dapat membantu pelaksanaan interprets sebagai praktek kecurigaan. F. Budi Hardiman menyatakan “Ricoeur menemukan bahwa baik Psikoanalisis maupun Hermeneutik sama-sama memiliki perhatian kepada pengalaman relegius”.

Karena, Psikoanalisis telah dikenal sebelumnya sebagai alat untuk mengkuak “pengakuan” yang sifatnya relegius dari sang pasien, temasuk “pengakuan“ dalam rangka interpretasi Alkitab yang telah tumbuh sejak awal.

Oleh karena itu, Hermeneutik maupun Psikoanalisis digunakan sebagai Hermeneutik Kecurigaan, dengan harapan kedua unsur itu dapat action dalam rangka interpretasi dengan lebih dalam terhadap teks dengan model “Kecurigaan”, sehingga interpreter lebih mencoba menggali lebih dalam di sisi balik teks, daripada sekedar memahami saja.

Ricoeur sendiri menyatakan “Tipe Hermeneutika seperti ini seperti ini dihidupi oleh kecurigaan, oleh perasaan skeptic terhadap symbol sebagai repsentasi kenyataan”.

Ulasan Penulis

Hermeneutika yang diterapkan oleh Ricouer dapat dikatakan cukup berhasil, bahkan telah berada pada puncak pemikiran setelah para pendahulunya, Habermas, Gadamer, dan seterusnya. Mereka semua, khususnya Ricoeur berupaya untuk mencari satu “makna” dalam sebuah teks dengan Hermeneutiknya masing-masing.

Namun yang menjadi pertanyaan, sekaligus kritikan “apakah hanya untuk mencari satu makna, sebagai satu kebenaran dalam sebuah teks khususnya?”, “apakah tidak ada kesempatan untuk juga memperhatikan makna lain, atau kebenaran yang lain yang lebih varian, atau berwarna?”, dan “dapat dibenarkankah bila telah menemukan satu makna, satu kebenaran, tetapi ada kesenjangan sosial?.

Misalnya antara makna yang hanya diuntungkan kaum Adam, atau hanya kaum Hawa. Pertanyaan-pertanyaan itu, yang tidak mungkin terjawab oleh Ricoeur, Habermas, Gadamer, Heidegger, Dilthey, ataupun Schlemacher dapat dijawab oleh Jacques Derrida dengan gagasan “Dekonstruksi”nya.

Dengan dekonstruksinya, makna tidak lagi satu, atau tidak lagi satu kebenaran yang sepihak, tetapi maknanya banyak, bervarian, dan berwarna, sehingga klaim-klaim, atau tuntutan terhadap makna yang tidak sesuai oleh kaum Hawa, meskipun di sisi lain kaum Adam yang mendapatkan untung tidak akan lagi terjadi, dan maknanya tidak lagi satu. Itulah jawaban Dekonstruksinya Derrida untuk menanggapi kritikan Ricoeur dan lainnya.

Referensi:

Budi Hardiman, Seni Memahami; Hermeneutik dari Schlemacher sampai Derrida, (Yogyakarta: Kanisus, 2018)

Paul Ricoeur, Hermeneutics and The Human Sciences, diterjemahkan oleh  Muhammad Syukri, dalam Hermeneutika Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008)

About The Author