image by cbc.ca
image by cbc.ca

Berpikir rasional memang harus diterapkan dalam setiap langkah kita dalam kehidupan, agar konsep dan paradigma yang terbentuk dari refleksi pemikiran kita tidak bersifat mutlak. Namun, bagaimana jika pola pikir seperti itu dihadapkan dengan kehidupan yang absurd?

Hegel mengatakan bahwa manusia hidup berdampingan dengan ruang dan waktu serta hukum-hukum dalam kehidupan. Keterbatasan dalam kehidupan menjadikan kita melakukan apapun dengan batasan-batasan yang tidak bisa dihindari. Namun untuk mengukir sejarah di masing-masing individu adalah hak setiap individu yang bebas mengatur takdirnya.

Masih dalam anggapan Hegel, bahwa manusia sebenarnya bisa dan mampu melakukan segalanya selama dia bersedia untuk berusaha. Dalam Islam, hal tersebut sesuai dengan firman Allah yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah ‘apa-apa/keadaan yang ada pada suatu kaum’ (ma bi qoumin), hingga mereka mengubah apa-apa/keadaan yang ada pada jiwa-jiwa mereka (ma bi anfusihim).” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Jean-Paul Sartre dalam teori eksistensialismenya mengatakan bahwa manusia selalu memiliki kebebasan sejauh tindakannya mendatangkan manfaat bagi eksistensi hidupnya. Manusia harus selalu siap bereksistensi dan menjadi pemeran utama bagi dirinya dalam mengisi eksistensi hidupnya. Dengan demikian manusia harus sadar, bahwa kematian setiap saat dapat merenggut eksistensi hidupnya. Hal semacam ini cukup dijadikan bukti bahwa manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa.

Sartre mengatakan bahwa manusia bebas melakukan apa yang dikehendakinya meskipun sebenarnya manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa dengan kematian yang kapan pun siap merenggut. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi “Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap tiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 3.). Ayat ini senada dengan lafadz “Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung.

Kedua pemikiran dari tokoh luar biasa tersebut menunjukkan betapa absurdnya kehidupan, yang pada akhirnya Albert Camus dengan filsafat nihilism-eksistensial mengejawantahkan euforia yang seringkali kita bentuk dari pengaruh filsafat barat. Nihilisme-eksistensial yang dibangun oleh Camus adalah upaya untuk keluar dari tatapan mata perampok, keluar dari rengkuhan pikiran Hegel, keluar dari penjara pikiran Sartre dan keluar dari tutorisasi liberalisme Marxisme.

Camus mengatakan bahwa letak absurditas kehidupan ini dimana manusia hidup mengarah pada masa depan. Sedangkan di sisi lain, masa depan itu semakin mendekatkan manusia pada kematian. Nah hal ini yang seringkali membuat manusia terperangkap pada dua pilihan sebagai solusi akhir. Pertama, menenggelamkan diri pada agama atau ideologi tertentu. Kedua,merelakan diri untuk bunuh diri.

Kedua solusi tersebut sangat ditolak oleh Camus dalam menghadapi hidup yang absurd. Solusi yang ia tawarkan adalah “revolt” atau pemberontakan. Kita harus melakukan pemberontakan, artinya kita harus menghadapi kehidupan tanpa perlu takut pada kematian yang kedatangannya tidak dapat diketahui dan diprediksi.

Nihilisme-eksistensial yang dimaksud Camus adalah “kehidupan tanpa makna”, dimana hal ini terwujud dari konfrontasi antara kebutuhan manusia dan keheningan dunia yang tidak masuk akal. Dalam bukunya yang berjudul ”Le Mythe of Sisyphe” dikisahkan tokoh Sisifus dimana dalam mitologi Yunani Sisifus dikutuk oleh seorang raja untuk selama-lamanya melakukan tugas yang sia-sia, yakni mendorong batu karang ke puncak gunung yang pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali sehingga usahanya hanya sia-sia belaka.

Camus mengatakan bahwa hanya melalui “Art” kita mampu membuat hidup lebih berwarna, hidup yang absurd ini melawan ketertiban nalar rasional. Masa depan tidak perlu dipilih dan tidak perlu ditolak. Kita harus memberontak atas apa yang terjadi, terutama ketika tidak sesuai dengan ekspektasi. Kita patut menghargai perjuangan itu sendiri. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus itu berbahagia.