image by excapsapolitics.com
image by excapsapolitics.com

Konflik Rusia-Ukraina yang melibatkan negara-negara Eropa terus berkembang hingga saat ini. Sanksi yang dilancarkan negara-negara “Barat” sama seperti ucapan Putin sendiri, hanya akan mempersulit dirinya sendiri mengingat banyak negara yang bergantung pada pasokan energi dan pangan dari Rusia. Sebab itulah saat Indonesia diundang dalam KTT G7 di Munich Jerman, meminta supaya komoditas pangan dan pupuk Rusia tidak dikenakan sanksi. Perkembangan konflik juga dibuktikan dari banyaknya aksi walkout pada pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G-20 yang saat ini Indonesia sebagai Presidency G20 tersebut.

Ukraina gencar meminta dukungan dan pasokan senjata negara lain utamanya NATO bahkan Israel. Pengeboman dan perusakan terjadi di beberapa kota. Ribuan korban sipil berjatuhan, pun lebih banyak korban yang luka-luka akibat perang tersebut. Sedangkan Rusia terus aktif unjuk kekuatan dengan beberapa kali uji coba rudal berkemampuan nuklir.

Fenomena di atas menjadi stimulus Komunitas Simposium yang kemudian membahas buku karya Bertrand Russell dengan judul “Akal Sehat dan Ancaman Nuklir” beberapa waktu lalu. Pada buku tersebut, Russell menulis untuk menanggapi ketegangan dunia dengan adanya Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat lalu.

Waktu itu saat Perang Dingin, setelah usai Perang Dunia II, ancaman nuklir sangat besar dan dapat menjadi malapetaka bagi dunia. Perang Dingin sendiri bermula pada 1949 saat Amerika menggandeng beberapa Negara Eropa membentuk NATO sebagai blok barat, dan Uni Soviet bersama Rumania, Hungaria, dan sekutu lain melakukan penandatanganan Pakta Warsawa tahun 1955 sebagai blok timur.

Sebab itulah, menanggapi perang dingin ini, gerakan perdamaian, HAM dan pemikir di Amerika dan Eropa berfokus pada kebijakan perang kedua negara itu. Gerakan ini terbilang masif ditambah banyaknya kaum Hippies pada saat itu yang gencar menyuarakan cinta damai dan anti perang, “make love not war”. Termasuk Noam Chomsky dan filsuf humanis lainnya, Russell menentang keras penggunaan nuklir sebagai senjata perang.

“We shouldn’t be looking for heroes, we should be looking for good ideas,” (kita tidak membuthkan pahlawan, melainkan ide yang baik) – Noam Chomsky -.

Perang dingin pada saat itu sangat menegangkan. Rumornya, peluncuran nuklir little boy di Jepang sebenarnya hanyalah ujicoba dan unjuk nyali pada Uni Soviet bahwa Amerika mempunyai senjata nuklir. Sebab itulah Uni Soviet juga mengembangkan senjata itu. Dikatakan dari saking banyaknya senjata nuklir yang dibuat dari kedua belah pihak, hal itu dapat membuat dunia ini dalam kepunahan.

Kedua belah pihak gencar menyebarkan ideologinya kepada seluruh dunia, Amerika dengan kapitalis-liberal dan Uni Soviet dengan sosial-komunis. Keduanya berlomba membuat pangkalan militer di banyak negara dan memotori perang antar negara. Perang China-Taiwan, konflik saudara di Korea, tragedi Kuba dan perang Vietnam, semuanya tidak lepas dari campur tangan dua negara “adikuasa” tersebut. Oleh sebab itulah tidak berlebihan jika potensi perang nuklir dampak perang dunia II kapanpun bisa saja terjadi, bahkan hingga saat ini.

Dicanangkan bahwa kedua belah pihak tidak hanya membangun pangkalan militer di bumi, tetapi juga di bulan karena dianggap dapat dengan mudah mengawasi lawannya. Makanya diragukan bahwa sebenarnya yang sampai ke bulan pertama kali bukanlah Neil Armstrong dari Amerika, tetapi orang dari Uni Soviet lebih dahulu sampai ke bulan. Dipilihnya bulan sebagai pangkalan militer karena lebih mudah meluncurkan rudal dan melihat pergerakan musuh, juga sulit diserang karena pengaruh gravitasi. Bisa saja kehadiran Neil Armstrong bukan hanya dalam bisi penelitian luar angkasa, tapi juga membawa misi perdamaian.

Melihat dari perseteruan yang tidak berkesudahan itulah Russell dalam bukunya meminjam teori John Dulles tentang brinkmanship digunakan untuk menggambarkan ketegangan negara adikuasa tersebut. Dalam ilmu hubungan internasional brinkmanship adalah kegiatan komunikasi untuk mendorong situasi pada level yang lebih tinggi. Digambarkan brinkmanship merupakan sebuah permainan di mana kedua orang mengendarai sebuah truk yang saling berpacu di arah berlawanan, berhadapan untuk kemudian saling menghantam. Siapa di antara keduanya yang lebih dulu banting setir, dialah pihak yang kalah. Dia akan disoraki sebagai pengecut layaknya ayam, dalam bahasa inggris disebut chicken!

Tentu tidak ada yang mau dari kedua negara adikuasa itu disebut “chicken” meski pada akhirnya tidak ada yang menguntungkan kedua belah pihak. Bayangkan saja, keduanya membawa banyak penumpang jutaan jiwa dengan segala komponen di dalamnya, seperti energi, wilayah dan ekosistem. Dampak dari adu nyali yang melibatkan bom nuklir ini sangat besar bagi kelestarian umat manusia.

Bencana akibat bom nuklir begitu mengerikan. Wilayah yang dijatuhi bom tersebut sudah pasti akan hancur lebur dan puluhan hingga ratusan tahun tak akan bisa dihuni. Sudah seperti kota mati, tak ada kehidupan di dalamnya, gersang dan memicu perubahan iklim. Bagi mahluk hidup pun berbahaya, orang yang terkena akan hancur bagai abu dan yang terkena radiasi akan sangat mudah terkena kanker, hanya soal waktu ajalnya tiba. Tidak hanya itu, yang terkena radiasi dan selamat akan mengalami kerusakan genetik yang nanti akan mempengaruhi keturunannya. Bisa dibayangkan saja bagaimana hal itu terjadi di sekitar kita.

Selanjutnya dalam mengakhiri konflik tersebut, Russell memerlukan adanya organisasi yang memegang otoritas internasional yang lebih dari sekadar PPB (United Nation). PBB oleh Russell dianggap gagal dengan adanya hak veto oleh dewan keamanan yang terdiri dari negara yang dianggap memiliki bom nuklir. Dan negara yang memiliki hak istimewa itulah dengan mudahnya dapat lolos ketika PBB menjatuhi sangsi atau hukuman.

Sebab itulah Russell dengan ide akal sehatnya menginginkan seluruh dunia sadar dan paham bahwa ancaman nuklir itu ada dan berbahaya bagi kehidupan umat manusia. Hal itu dapat dilakukan dengan cara meniadakan fanatisme dan nasionalisme yang berlebihan dalam diri setiap orang dan warga negara manapun, karena itu akan menumbuhkan independensi dalam otoritas internasional.

Russell sangat serius dalam hal ini, dia bahkan mengkritik habis-habisan sistem pendidikan yang sangat gencar dengan doktrin nasionalisme. Setiap negara sudah barang tentu akan mengajarkan nasionalisme dalam upaya kemajuan dan kelestarian negaranya, tetapi fanatisme dan rasa nasionalisme yang berlebihan itulah yang nantinya akan mudah memicu perang dengan dalih melindungi negaranya, meminjam pepatah latin, si vis pacem, para bellum:  jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang!

Tepatnya Russell menginginkan dunia menganggap bahwa keberadaan senjata nuklir itu sebagai musuh utama umat manusia. Layaknya manusia di abad 14, ketika wabah black death membunuh sepertiga penduduk Eropa. Dengan keterbatasan alat medis dan pengetahuan dunia bersatu mengakhiri wabah tersebut, dan akhirnya berhasil. Jadi seharusnya orang-orang sadar bahwa nuklir sebagai senjata merupakan black death yang harus kita jauhi bersama, bahkan lebih parah dari itu.

Perang bagi Russell memang tidak bisa dihapuskan, tetapi perang yang melibatkan nuklir adalah kebodohan dan kerusakan terbesar bagi keberlanjutan hidup manusia. Walaupun konsep perdamaian ala Russell masih semu dan terkesan utopia, tetapi akal sehat umat manusia adalah modal utama dalam mengendalikan kemauan dan ambisi. Karena Russel menganggap, dengan hilangnya akal sehat, baik dengan bom nuklir atau tidak, manusia akan dengan sangat cepat mengalami kepunahan.

Konflik Rusia-Ukraina yang sekarang sedang memanas sangat erat kaitannya dengan pembacaan kembali atas karya Russell di atas. Melestarikan akal sehat akan membawa pada perdamaian dunia dan terhindar dari dampak ancaman nuklir yang sangat mengganggu tatanan dunia yang saat ini sedang tidak baik-baik saja.