image by cottonbro via pexels

Istilah “Infrastruktur” sudah lazim kita dengar dan diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat. Kata ini pula yang sering menjadi polemik kehidupan berbangsa dan bernegara, kata yang menjadi alat kesejahteraan dan juga penindasan bagi masyarakat sosial, kata yang sering didengungkan oleh politisi pejabat elit dalam setiap kampanye menjelang pemilu (alias hanya janji-janji).

Tersedianya infrastruktur menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur kegiatan ekonomi. Ketika keadaan infrastruktur di sebuah negara lemah, itu berarti bahwa perekonomian negara itu berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien. Biaya logistik yang sangat tinggi, berujung pada perusahaan dan bisnis yang kekurangan daya saing (karena biaya bisnis yang tinggi). Maka, tidaklah heran ketika suatu negara rela mengeluarkan banyak biaya untuk menyediakan infrastruktur yang baik dan mapan bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi negaranya.

Ya meskipun masih banyak pro-kontra ketika berbicara infrastruktur karena sebagian menganggap manfaatnya tidak begitu berdampak bagi masyarakat dan hanya buang-buang uang negara, sebagian lagi menganggap hal inilah yang akan membawa kemajuan terhadap negara nantinya. Karena menurutnya, dampak adanya infrastruktur tidak bisa dirasakan secepat mungkin, instan, namun bertahap.

Data yang dirilis oleh  World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2019, menunjukkan Indonesia menempati urutan ke-50 dari 140 negara dalam hal pembangunan infrastruktur, peringkat tersebut mengalami kemunduran dari tahun sebelumnya di peringkat 45.

Dalam pembangunan ekonomi, kesiapan infrastruktur menjadi salah satu aspek penting. Tidak bisa dipungkiri bahwa laju pertumbuhan ekonomi negara tidak lepas dari pengaruh infrastruktur yang ada dalam negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakatnya.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang baik di suatu negara akan mampu mendorong peningkatan ekonomi di negara tersebut. Sebab, ketersediaan infrastruktur dapat mempermudah arus perekonomian agar dapat melakukan ekspansi seluas mungkin, mengurangi biaya produksi hingga dapat menimbulkan efek yang sangat besar terhadap kemajuan negara.

Berbicara infrastruktur, sering kali orang beranggapan hanya berbentuk bangunan fisik belaka, namun kenyataannya infrastruktur terbagi menjadi dua macam yakni fisik dan non-fisik (lunak). Infrastruktur fisik yaitu prasarana berbentuk bangunan seperti jalan dan bandara yang berfungsi mempercepat kegiatan-kegiatan ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan sebagainya.

 Sedangkan infrastruktur non-fisik (lunak) merupakan fondasi prasarana seperti yang disajikan dalam bentuk platform digital, App, dll. Pun demikian, kebermanfaatan yang sering dirasakan oleh masyarakat hanya berbentuk fisik saja, seperti halnya proyek aspal yang sudah masuk ke pelosok desa dan bahkan jalan setapak pun masih diperhitungkan dengan adanya proyek infrastruktur berupa paving, sehingga masyarakat lebih gampang melakukan kegiatan usaha setiap hari dan mempercepat proses perekonomian serta pendidikan yang nyaman.

Krisis ekonomi yang menimpa negara secara global akibat pandemi covid-19, merupakan kartu kuning bagi suatu negara yang tidak siap menerima konsekuensi era 4.0 yang menyajikan berbagai teknologi dalam segala macam kegiatan negara yang mencakup bidang pendidikan, politik, sosial, khususnya ekonomi, dan sebagainya, sehingga laju perekonomian tidak bisa ditampung seolah kembali pada kondisi semula.

Indonesia sebagai negara dengan beragam ras, suku, budaya, agama bahkan cita rasa produk lokalnya merupakan persemakmuran yang komplit. Maka jangan heran dalam setiap kegiatan sosial budaya di masing-masing wilayah sudah terdapat makanan khas dengan produk lokal dan sajian yang berbeda pada setiap wilayah. Hal ini pula yang menjadi landasan dan pertanyaan besar bagi bangsa kita, mengapa Indonesia masih gini-gini saja perkembangan ekonominya? pemerintah selaku pemegang kebijakan sudah sejauh mana memberikan perhatian di bidang ini?

Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu kita refleksikan bersama dan kita cari jalan alternatifnya. Bukan malah kita menyalahkan komersialisasi dan konsumsi masyarakat atas produk-produk barat, seperti halnya yang dituliskan oleh salah satu rekan saya “Internasionalisasi produk: sarana independensi ekonomi negeri’. Arah pemikiran penulis tersebut hanya akan membawa kita terhadap ilusi dan halusinasi saja, bahkan hanya berbentuk teori yang meng-hegemoni tanpa praktik yang klimaks.

Sehingga apa yang dikatakan oleh Horkheimer dan Adorno  bahwa masyarakat bukan butuh teori untuk teori, tapi teori dengan maksud praksis itu benar, yakni hegemoni yang dibangun. Dialektika yang di tawarkan bukan berpangkal hanya pada pikiran saja, tapi bisa menggerakkan kita menuju apa yang kita inginkan.

Pada era digitalisasi sekarang, sejauh ini masyarakat Indonesia sebenarnya sudah melangkah lebih baik di bidang usaha, tapi itu masih terangkum dalam usaha secara individu saja. Maksudnya adalah dengan bermodal akun media sosial (Facebook, instagram, twitter, WastApp, dll), mereka membuka usaha secara individual dan sudah sedikit banyak membantu keberlangsungan hidup atas kebutuhan sehari-harinya. Pun demikian, produk lokal yang tersedia di setiap wilayah yang berbeda banyak ditemui dan dipasarkan di media sosial masing-masing, baik olshop, menjadi reseller produk, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, masyarakat Indonesia sebenarnya hanya membutuhkan pembinaan menjadi wirausahawan yang baik dengan kerja ekonomi yang mapan, dan pemerintah dengan kebijakan yang dikeluarkan bisa mengkucurkan dana dalam menyediakan infrastruktur non fisik (lunak) berbentuk platform atau App bagi masyarakat agar terstruktur dan tersistem dengan baik pula. Sehingga, pemulihan ekonomi kita bisa terealisasi tanpa menunggu kapan Covid-19 selesai. Pun demikian, produk lokal serta hasil kreativitas masyarakat bisa dipasarkan dan ditawarkan atau diinternasionalisasikan secara global atau mendunia, hal ini pula bisa disebut juga dengan ekonomi digital/digitalisasi ekonomi.

About The Author