image by pinterest
image by pinterest

Sebelum membahas pemikiran Heidegger, lebih baik mengetahui jejak-jejak pendahulunya, yang tak lain, mereka telah menjadi pondasi-pondasi tegaknya pemikiran Heidegger, di antaranya Schlemacher dengan Hermeneutik terkenalnya tentang “psikologis” dan Dilthey dengan “sosial-historis”. Namun, tidak jauh berbeda antara mereka dengan pemikiran Heidegger.

Tokoh kelahiran 26 September 1889 di Mebkirch itu juga memperkenalkan dasar pemikirannya dengan aliran “fenomenologi” yang digagas oleh Edmund Husserl sebagaimana di tangkap oleh “hermeneutika sosial Dilthey”, serta mengenai gagasan “verstehen” yang telah dibuktikan oleh Schlemacher sampai dengan Dilthey, bahkan Heidegger juga memakainya. Jadi, tidaklah salah bila pemikiran-pemikiran sebelumnya dengan setelahnya mempunyai kaitan yang terus berantai.

Namun, titik tolak yang harus diperhatikan antara “verstehen” yang disokong oleh Heidegger dengan pendahulunya adalah sisi “verstehen” itu sendiri. Kalau Schlemacher dan Dilthey menjadikan “verstehen”sebagai ranah “epistemologis” atau sebagai alat untuk memahami, tetapi berbeda dengan Heidegger.

Ia menjadikan “verstehen” sebagai “ontologis”. Jadi “memahami” itu sendiri menunjukan eksistensinya bahwa ia memang terwujud di dunia ini, sehingga pemikiran Heidegger tergolong “Pra-struktur Memahami”.

Pemikiran Heidegger mengenai konsep “verstehen” bukannya dijadikan “epistemologis” dalam interpretasinya, malah dijadikan ke ranah “ontologis”. Pemikiran tersebut tidak lain tersentuh oleh “totalitarianisme” yang tegak di era Hilter, Nazi Jerman, dan sampai berujung pengangkatannya sebagai rektor Universitas Freiburg, persis setelah naiknya Hitler.

Heidegger sendiri terlibat dalam partai Nazi, juga memberikan pidato sebagai pengukuhan rektor tersebut dengan judul “Penegasan Diri Universitas Jerman, 1933”. Namun akan terlihat jelas, keterlibatannya terhadap partai Nazi yang anti-Yahudi, sehingga menyuruh kekasihnya pergi dari kota Jerman, dan ia berlabuh di Amerika guna menyelamatkan diri dari dampak kekejaman Nazi.

Hermeneutika Fenomenologi Ontologis Dengan Keberadaan Dasein

Sebelum melangkah jauh terapan “Dasein” sebagai “Hermeneutika Faktisitas” Heidegger terlebih dahulu mengupas dasaran pemikirannya, yakni “Fenomenologi” yang digagas oleh Husserl sebagaimana Dilthey berpatok kepada “Libensphilosophie” untuk membangun “Hermeneutika Sosial-Historis”.

Untuk mengetahui apa itu fenomenologi? Fenomenologi adalah bentuk pendekatan demi mendeskripsikan hal-hal yang dialami atau dihayati, dan jauh sebelum hal-hal dirumuskan oleh pikiran. Lebih jelasnya, Heidegger menunjukan hermeneutikanya dengan fenomenologi.

Dengan adanya dasaran dari fenomenologi dapat diketahui bahwa hermeneutik, interpretasi, ataupun verstehen itu menunjukan eksistensi dari pemahaman itu sendiri. Lebih mudahnya, Heidegger memberi sepenuhnya bahwa praktek memahami kepada suatu wujud tertentu, ataupun manusia menunjukkan keberadaan manusia tersebut. Jadi, pemahaman itu menurut Heidegger tidak lagi disebut “epistemologis” sebagaimana dilakukan oleh Schlemacher dan Dilthey, tetapi “ontologis”.

Dengan begitu, Heidegger berupaya “bagaimana pemahaman itu menunjukkan suatu yang dipahami?”. Adapaun caranya tentu dengan fenomenologi Husserl. Namun perlu diperhatikan bahwa “fenomenologi” menghadapi “ontologi” akan merubah sistem subyek-obyek dalam “fenomenologi” sendiri.

Dengan begitu, “fenomenologi ontologi” yang dikembangkan oleh Heidegger menunjukan kenyataan eksistensial. Bukan lagi bicara historis, artefak, ataupun teks, apalagi psikologis subyek. “Jadi, yang dilakukan Heidegger dengan hermeneutikanya itu bukanlah memahami ini dan itu, melainkan membiarkan “memahami” sebagai primordial menampakkan diri, dan memahami tidak lain daripada cara Dasein bereksistensi”.

Oleh karena itu, interpretasi atau bahasa Jermanya Auslegung perspektif Heidegger sebagai “membiarkan terbuka” atau “berada seperti adanya”, tanpa ada lagi manipulasi-manipulasi yang dibentuk oleh pikiran-pikiran yang lebih dalam. Dengan begitu, tidak lagi pemikiran-pemikiran kritis menanggapi, melainkan kenyataan yang dihadapi, sehingga “Hermeneutika Ontologi” Heidegger tergolong “Pra-Struktur Memahami” atau “Hermeneutika Primordial”.

Menuju Masa Depan Dengan Verstehen

Setelah membahas “Hermeneutika Ontologis” Heidegger, beserta dasarannya, Fenomenologi Husserl. Sekarang membahas imbas atau pengaruh daripada “Fenomenologi Ontologi”, yaitu praktek “pemahaman” atau “verstehen” dengan dasaran hermeneutika ontologi mendorong untuk menangkap “pemahaman” itu terarah ke masa depan, bukan lagi mengacu pada masa lampau.

Berbeda dengan tindakan Schlemacher dan Dilthey dengan “pemahamannya” yang mengacu terhadap masa lampau. Bisa dikatakan, selain hermeneutika Heidegger tergolong Pra-Struktur memahami atau hermeneutika primordial, juga disebut “Hermeneutika Masa Depan”.

Mengapa disebut demikian, karena dalam ranah “ontologi” akan menunjukan “eksistensinya” yang muncul tiba-tiba atau kemungkinan-kemungkinan yang akan terwujud dari eksistensinya tersebut. F. Budi Hardiman membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu ada tiga yang selalu bersamaan, yaitu Vorhabe (rencana), Vorsicht (kewaspadaan), Vorgriff (antisipasi).

Ketiga makna yang terpendam dalam “fenomenologi ontologis” selalu memberi kemungkinan-kemungkinan dengan adanya suatu yang akan terjadi, terencana, serta mewaspadai suatu yang akan terjadi, dan mengantisipasinya. Dengan pandangan semacam itu, dalam interpretasi bukanlah mencari obyektivitas, melainkan menyingkap makna bagi masa depan.

Ulasan Penulis

Heidegger dapat dikatakan telah berhasil memenjarakan teks dan penulisnya dari interpreter. Dengan perangkat Dasein untuk menyatakan Hermeneutika Ontologisnya, ia dapat mengkuak jarak antara penulis dengan interpreter dengan tepat dan serius. Namun yang belum ditangkap oleh pemikiran Heidegger adalah “kerawanan” terhadap teks yang dibiarkan terbaca oleh interpreter yang berbeda-beda keahliannya, sehingga kesimpulan pra-pemahaman, atau pra-kongnitif juga akan berbeda-beda.

Oleh karena itu, makna masih relatif, atau bergantung pada orang yang interpretasi. Oleh karena itu, dalam Hermeneutik Haidegger perlu dibahas lebih detail mengenai dunia historis penulis yang dapat menghasilkan teks, dan juga dunia historis interpreter. Adapun persoalan ini akan terjawab oleh Gadamer dengan konsep “peleburan horizon-horizon”.

Referensi:

Hardiman, B. (2018). Seni Memahami; Hermeneutik dari Schlemacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisus