image by La Nota Sociológica via Qureta
image by La Nota Sociológica via Qureta

Sastra merupakan hal yang melekat pada manusia. Lebih tepatnya Sastra adalah salah satu karya seni yang berbasis bahasa. Sebagai Karya seni sastra lebih dekenal dalam masyarakat sebagai karya rekaan (Fiktif) hasil dari pemikiran seorang penulis atau pengarang. Sastra biasanya digunakan untuk media pengungkapan hasil penghayatan hidup seorang pengarang.

Sejarah sastra sendiri amatlah panjang. Bahkan sejak Yunani Kuno sastra telah masyhur dalam pandangan beberapa filsuf. Salah satunya yakni Plato, ia menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada ini sebenarnya hanyalah tiruan dari kenyataan tertinggi yang ada di alam Idea.[1]

Tentang Plato

Plato lahir pada tahun 428/7 dalam seuatu kluarga terkemuka di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya Periktione.[2] Sejak masa mudanya ia telah banyak bergaul dengan tokoh-tokoh politik di Athena. Ia diyakini sebagai filsuf yang berperan besar dalam filsafat Yunani Kuno dan filsafat barat secara umum.

Bapak Idea—sebutan lain Plato— sendiri merupakan Murid dari Sokrates. Pengaruh Sokrates terhadap dirinya dapat dilihat dari beberapa karyanya yang bersifat sokratik. Bahkan Analogi Goa yang diberikan oleh Plato untuk memperkenalkan teori Idenya digayang-gayang merupakan kisah hidup Sokrates dan Kaum Sofis.

Selain bersifat Sokratik, karyanya memiliki khas yang bersifat dialog. Hampir semua karya yang ditulis oleh Plato merupakan dialog. Bahka Plato diketahui merupakan filsuf pertama yang memilih dialog sebagai bentuk sastra sebagai media pengejawentahan pikiran-pikiranya.

Selain dikenal sebagai filsuf, Plato juga dikenal sebagai Sastrawan. Karya-karya Plato memilki nilai yang dapat dikatakan unggul dalam kesusastraan dunia. Salah satu karya yang terkenal dari Plato diantaranya adalah Republik. Disana Plato mencoba memaparkan panjang lebar mengenai hubungan-hubungan yang ada antara sastra dan masyarakat.

Mimesis Plato

Pandangan Plato disini tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan filsafatnya, mengenai kenyataan yang bersifat hierarkis. Dalam pandangannya, kenyataan alam semesta ini masih menggantung terhadap kenyataan yang derajatnya lebih tinggi yang ada di dunia Ide.

Seperti halnya suatu benda yang ada di depan kita—Handphone—merupakan tiruan dari benda yang ada di dunia Ide.  Jadi kenyataan empirik tidak benar-benar mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya saja hal ini dapat didekati melalui mimesis.

Mimesis sendiri merupakan peneladanan, pembayangan ataupun peniruan,[3] misalnya seorang satrawan yang membuat gambaran mengenai kertas, tidak dapat langsung membuat tiruan kertas yang ada di dunia Ide. Ia hanya meniru kertas yang ada di dunia nyata. Dengan kata lain sastra dapat dikataan semakin menjauhkan dari dunia Ide yang merupakan realitas tertinggi.

Bagi Plato, mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak menghasilkan yang sungguh-sungguh. Jadi lewat mimesis tataran yang lebih tinggi hanya dapat disarankan dan tidak dapat mengacu langsung pada nilai-nilai ideal.

Secara tersirat pernyataan di atas bahwa dunia ide lebih bernilai dari sastra. Seperti halnya pengrajin kertas (atau benda lain) lebih tinggi kedudukanya dalam masyarakat—sebab lebih dekat pada dunia Ide—dari pada sastrawan yang gagasannya ia dapat dari benda-benda dalam dunianya.

Disini bukan berarti seni atau karya seni telah kehilangan nilainya. Meskipun disini tampak bahwa seni berada pada tataran lebih rendah dari kenyataan, namun seni yang sungguh-sungguh mencoba mengatasi kenyataan sehari-hari.

Bagi Plato seni telah memiliki aspek ganda: dalam perwujudan yang tampak, seni adalah benda yang sangat rendah nilainya, bayangan, namun seni memiiki pula hubungan tak langsung dengan sifat hakiki benda-benda.[4]

Walaupun pandangan Plato cenderung merendahkan nilai karya seni yang hanya dianggap sebagai tiruan dari tiruan, ada sesuatu yang tersembunyi, yaitu hubungan antara karya seni dan masyarakat atau kenyataan. Nilai yang ada pada karya sastra atau karya seni lainnya telah memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di masyarakat atau kenyataan.

[1] Damono, S. D. (2021). Sastra Dan Pendidikan. Yogyakarta: Pabrik Tulisan. Hal.110

[2] Bertens, K. (2018). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Hal.115

[3] Teeuw, A. (2016). Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya. Hal.168.

[4] Ibid.

About The Author