image by istock istockphoto.com
EU and Russia conflict. Country flags on broken wall. Illustration.

Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock mengeluarkan suatu pernyataan yang mengejutkan pada saat pidatonya di Majelis Parlemen Eropa, bahwa Uni Eropa sedang berperang dengan Rusia. Pernyataan yang secara tidak langsung merupakan indikasi peperangan langsung dengan Rusia, yang membahayakan dan akan semakin membawa konflik geopolitik di Eropa Timur meluas ke Eropa Barat, dan perang dunia pun terjadi.

Pernyataan gegabah politisi Partai Hijau tersebut sejatinya adalah sebuah bentuk generalisasi dan pembentukan orkestrasi kebencian di internal Uni Eropa terhadap Rusia. Namun usaha yang dilakukan Baerbock tersebut tidak berhasil menciptakan suatu persamaan pandangan dalam internal organisasi regional tersebut dan justru mengundang berbagai kecaman. Bahkan Kanselir Jerman sendiri, Olaf Scholz menegaskan bahwa Jerman berkomitmen untuk tetap mendukung penuh Ukraina tetapi enggan berkonfrontasi langsung dengan Rusia.

Kecaman datang dari berbagai pihak. Melalui akun twitternya, Sahra Wagenkneht politisi Partai Kiri Die Linke sekaligus anggota Bundestag, mengkritik pernyataan Menteri Luar Negeri Baerbock dengan mengatakan bahwa ucapannya tidak cocok dengan pekerjaan yang diembannya. Wagenknecht juga menambahkan bahwa tindakan Baerbock seperti gajah di toko porselen China dan mencoreng reputasi Jerman.

Selain kritikan dari politisi sayap kiri Wagenknecht, Baerbock juga dikritik oleh Alice Weidel anggota Bundestag sayap kanan dari Partai Alternatif untuk Jerman (AfD). Weidel mengatakan bahwa seorang Menteri luar negeri seharusnya menjadi seorang diplomat yang bertanggung jawab bukannya menghasut. Dia menambahkan, seorang Menteri luar negeri harus mewakili kepentingan Jerman secara keseluruhan.

Dengan melihat berbagai kecaman di dalam negeri, terutama di Parlemen, terhadap pernyataan Annalena Baerbock tersebut, saya berpendapat bahwa pernyataan sang menlu tersebut adalah pernyataan yang tidak merepresentasikan kepentingan baik Jerman maupun Uni Eropa. Bahkan negara anggota Uni Eropa seperti Prancis melalui juru bicara kementerian luar negerinya, Anne-Claire Legendre, membantah pernyataan menlu Jerman tersebut dengan menegaskan bahwa Uni Eropa tidak sedang berperang dengan Rusia dan pengiriman senjata bukan berarti perang terhadap Rusia. Dalam tulisan ini saya akan melakukan analisis terhadap bagaimana pengaruh Annalena Baerbock dalam kabinet koalisi Olaf Scholz dan asumsi politis jika terjadi perang antara Uni Eropa dan Rusia.

Pengaruh Politik Annalena Baerbock Dalam Kabinet Scholz

Pasca berakhirnya pemerintahan Kanselir Angela Merkel dari partai Demokrat Kristen (CDU), pemilu tahun 2021 di Jerman dimenangkan oleh Partai Demokrasi Sosialis (SPD). Olaf Scholz menjadi tokoh Partai Demokrasi Sosialis yang paling berpeluang menjadi calon kanselir Jerman menggantikan Merkel. Namun, untuk membentuk suatu kabinet perlu dilakukan koalisi dengan partai lain di Parlemen.

Kekuatan yang dilirik oleh SPD pada saat itu adalah Partai Hijau dan Partai Freie Demokraten (FDP), yang secara perolehan suara menempati posisi ketiga dan keempat, menyusul SPD di posisi pertama dan Demokrat Kristen di posisi kedua. Untuk memuluskan Olaf Scholz menjadi kanselir, maka membentuk pemerintahan koalisi dengan kedua partai tersebut adalah suatu keharusan bagi SPD. Maka terbentuklah kabinet koalisi antara Partai Demokrasi Sosialis (SPD), Partai Hijau dan Partai Freie Demokraten (FDP).

Sebagai wakil pemimpin Partai Hijau, Annalena Baerbock mendapatkan jabatan strategis dalam kabinet koalisi Scholz yakni menjadi Menteri luar negeri. Sebagai Menteri luar negeri wanita pertama, Baerbock tentu saja diharapkan menjadi semacam tonggak diplomasi dan hubungan luar negeri Jerman ditengah berbagi problematika internasional yang sedang melanda.

Secara politik, Annalena Baerbock memiliki pandangan yang cukup jelas tentang kebijakan luar negerinya, terutama menyangkut persoalan konflik Rusia-Ukraina. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Baerbock dengan berani melontarkan kecamannya terhadap Menteri luar negeri Rusia Sergey Lavrov, yang dianggapnya telah menyalahgunakan kekuasaan di Dewan Keamanan. Pandangannya terhadap proyek pipa gas Nord Stream 2 yang dianggapnya sebagai suatu kesalahan pun menunjukan sikap kerasnya terhadap Moskow.

Tidak heran apabila dalam kabinet koalisi Scholz, Baerbock menjadi orang yang mendukung untuk terus dikirimkannya bantuan militer ke Ukraina. Dalam kabinet koalisi, Partai Hijau yang direpresentasikan oleh Baerbock berusaha menekan Kanselir Olaf Scholz untuk mengirimkan bantuan militer berupa pengiriman tank Leopard 2 ke Ukraina. Sehingga dalam pertemuan kabinet 23 Januari lalu, Kanselir Olaf Scholz memutuskan mengirimkan 14 tank Leopard ke Ukraina.

Namun keputusan Olaf tersebut tidak serta merta disetujui oleh seluruh pihak, bahkan Menteri pertahanan Boris Pistorius menjadi salah satu orang yang tidak menyetujui keputusan tersebut. Sebagai orang yang ada dalam kabinet koalisi, Pistorius menunjukan tentangannya terhadap kebijakan Kanselir dengan mengatakan bahwa Ia heran mengapa ada pihak yang merayakan pengiriman tank tersebut yang justru akan semakin memperpanjang perang.

Saya berpendapat, bahwa realita yang terjadi di internal kabinet koalisi Scholz menunjukan beberapa hal. Pertama, pengaruh politik Annalena Baerbock dan Partai Hijau cukup besar sehingga berhasil menekan Kanselir untuk menyetujui sarannya atas pengiriman tank ke Ukraina. Kedua, posisi dilematis Olaf Scholz, dimana apabila ia tidak menyetujui saran Partai Hijau ada kemungkinan pemerintahan koalisi akan bubar dan terpecah, dan jika menyetujuinya maka akan membawa perang menjadi lebih panjang dan secara tidak langsung membawa Jerman lebih jauh lagi memasuki medan konflik. pada akhirnya Scholz memilih opsi kedua ketimbang memilih pilihan pertama yang akan berimplikasi pada Partai Hijau yang menarik diri dari kabinet koalisi. Dapat disimpulkan bahwa Annalena Baerbock memiliki pengaruh yang signifikan dalam kabinet koalisi Scholz.

Jika Brussel Mendeklarasikan Perang Terhadap Moskow

Setelah memahami bagaimana kedudukan dan pengaruh politik Annalena Baerbock dalam kabinet koalisi, sekarang kita berasumsi bagaimana apabila pernyataannya di Majelis Parlemen Eropa tentang Uni Eropa yang berperang dengan Rusia terjadi. Apabila Brussel mendeklarasikan perang terhadap Moskow, secara bayangan saja sudah menimbulkan kengerian tersendiri, dimana dunia memasuki suatu mega konflik bahkan great war di abad 21.

Saya berasumsi, apabila memang terjadi suatu perang besar antara Uni Eropa dan Rusia maka akan berimplikasi pada signifikansi perubahan yang signifikan di berbagai aspek. Apabila kita asumsikan seluruh negara anggota Uni Eropa memberikan persetujuannya untuk berperang dengan Rusia, maka polarisasi Brussel-Moskow akan semakin tajam dan solidaritas koalisi barat berada dalam tantangan.

Kekuatan besar di Eropa daratan, yang menurut Huntington disebut sebagai negara inti, antara lain Jerman, Prancis dan Italia akan memimpin dalam konflik Brussel-Moskow. Dan secara prediksional, Moskow dengan kekuatannya akan dengan mudah terkalahkan oleh koalisi besar negara-negara Uni Eropa. Namun tentu saja Moskow secara instingtif akan mencari dukungan koalisi dari negara-negara lainnya yang selama ini memiliki kedekatan politis dengan Kremlin.

Multi-implikasi yang akan timbul pun akan sangat mengerikan. Saya berpendapat apabila konflik ‘khayalan’ namun berpeluang terjadi apabila pernyataan Baerbock benar, akan menyebabkan ketidakstabilan sosial menyangkut masyarakat sipil yang terdampak secara signifikan oleh perang. Rantai ekonomi global akan secara langsung terganggu dengan signifikan, dan secara cepat dampak perang akan dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia.

Belum lagi ancaman nuklir yang mengancam. Mengingat Presiden Putin mewanti-wanti untuk tidak turut campur secara langsung dalam konflik Rusia-Ukraina, karena akan menyebabkan digunakannya senjata nuklir. Maka secara politik apabila Brussel mendeklarasikan perang, maka tentu saja Putin akan menggunakan senjata nuklir sebagai ‘kartu mati’. Apabila ini terjadi, negara-negara Eropa daratan akan hilang dari peta dunia.

Secara politik global, konflik Brussel-Moskow dan kaitannya dengan Asia, akan menyebabkan dua kemungkinan. Pertama, akan terbentuknya koalisi Rusia dan Cina yang boleh jadi dinamakan, meminjam istilah Huntington, kekuatan Eurasia. Kedua, akselerasi bagi semakin besarnya pengaruh Asia dalam percaturan politik global mengingat kekuatan regional Eropa sedang dilanda konflik yang berpeluang mengalami kekalahan. Amerika Serikat sendiri secara pragmatis akan bergabung dalam koalisi Uni Eropa melawan Rusia.

Namun sekali lagi ini hanyalah sebuah asumsi atau khayalan konflik atas pernyataan Menteri Luar Negeri Jerman yang semoga saja tidak akan pernah terjadi dalam sejarah peradaban umat manusia.