image by lonerwolf.com
image by lonerwolf.com

Saat engkau mencoba menyenangkan semua orang, sebenarnya engkau tidak sedang menyenangkan siapa pun.”

-Aesop-

Pernyataan filsuf Yunani Aesop (564 SM) di atas cukup konsisten dengan penyakit yang sedang menjangkiti sebagian besar umat manusia saat ini. Dalam dunia psikologi, hal ini tergolong sebagai gejala people pleaser.

Mungkin sebagian dari Anda sudah familiar dengan istilah ini. Namun bagi yang belum tahu, singkatnya people pleaser adalah orang yang selalu ingin menyenangkan orang lain sampai melupakan kebahagiaannya sendiri. Misalnya, kegembiraan manusia itu seperti lilin yang dinyalakan, tetapi terbakar oleh nyala apinya. Misalnya, banyak dari kita yang selalu menuruti perkataan, ajakan, perintah orang lain, padahal emosi atau hati nurani kita mengatakan tidak. Sebenarnya kami tidak suka pulang larut malam, tapi karena sahabat kami yang memintanya, akhirnya kami dengan ragu menolak ajakannya.

Merasa malu adalah salah satu gejala sindrom people pleaser. Dan saya yakin itu tidak akan membuat kita merasa nyaman dan tenang. Sebaliknya, emosi membuat gugup, bukan tenang karena kita cenderung membohongi diri sendiri. Untuk orang yang menyenangkan, sikap mereka yang selalu senang seringkali didasarkan pada keinginan orang lain melakukan hal yang sama untuk mereka. Sedangkan pada kenyataannya, kita tidak bisa mengontrol perilaku orang lain, karena kita hanya bisa mengontrol perilaku yang berasal dari diri kita sendiri. Peduli dengan anggapan orang lain otomatis mengandaikan kebahagiaan kita sendiri.

Lebih jauh lagi, harapan bahwa orang lain akan menerapkan hal yang sama kepada kita dapat memicu kepentingan diri sendiri. Entah untuk keuntungan pribadi dengan imbalan berupa materi, kehormatan atau mungkin hanya sekadar pengakuan. Inilah yang membedakan orang yang menarik cinta, kepahlawanan, komitmen dan kewajiban. Jika cinta, tugas, kepahlawanan dan komitmen tentu tidak didasarkan pada kepentingan diri sendiri.

Era digital benar-benar menjadi sarang bagi orang-orang yang suka bertindak tanpa pamrih untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa orang cenderung tertarik dengan unggahan yang berusaha mendapatkan like dan komentar positif dari orang lain.

Misalnya, banyak orang ketika melihat pameran, pertunjukan, konser, pembacaan puisi, dll, tidak fokus pada aktivitasnya tetapi menggunakan aktivitas tersebut sebagai bahan untuk membuat konten di jejaring sosial, untuk mendapatkan pujian dari netizen lainnya. Orang-orang ini tidak hanya ingin menerima pujian, mereka juga takut jika orang lain tidak menyukainya.

Oleh karena itu, mereka selalu berusaha bekerja keras untuk menyempurnakan citra dirinya di depan orang lain. Padahal, ketika seseorang merasa takut ketika orang lain memiliki asumsi negatif tentang dirinya, rasa takut itu memicu kemarahan dan kemudian berujung pada kebencian.

Cara mencegah sindrom People Pleaser

Konsekuensi dari seseorang yang memiliki sikap people pleaser tidak lain adalah mereka menjadi lelah secara fisik dan mental karena tidak dapat jujur ​​​​pada diri sendiri. Itu hanya melibatkan membangun citra yang benar-benar salah, yang mengarah ke ego palsu.

Oleh karena itu, untuk menghindari mentalitas ingin menyenangkan orang, perlu ditekankan bahwa menjadi pribadi harus memiliki sifat egois (sewenang-wenang). Karakter ini tidak boleh diartikan sebagai sikap tanpa aturan, tanpa moralitas, atau tanpa ketertiban. Jangan dilihat juga sebagai kepribadian antisosial.

Sebaliknya, itulah sikap “karepe dewe” yang berarti bertindak sesuai dengan kehendak, mengikuti kata hati, mengandalkan diri sendiri atau mengikuti kecenderungan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan mengikuti tren terkini.

Tentu saja, ketika kita bertindak secara mandiri, konsekuensinya akan datang kepada kita. Seperti yang saya sebutkan di atas, ini juga termasuk rasa takut ingin keluar dari poeple pleaser. Mereka terobsesi dengan asumsi negatif orang lain.

Tapi ingatlah bahwa tidak ada manusia di bumi ini yang bisa membuat orang mencintaimu. Tidak ada manusia dari kelas apapun, garis keturunan apapun dan apapun yang bisa membuat semua orang bahagia.

Sebut saja dia Einstein, seorang jenius pada zamannya yang membuat penemuan hebat yang masih digunakan sampai sekarang. Namun sepanjang hidupnya, ia dianggap gila oleh masyarakat sekitar.

Seperti mantan presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang banyak menyumbangkan pemikiran diantaranya, sering mendapat stigma negatif, seperti dituduh sekuler, separatis dan stigma negatif. Bahkan, karena sikap politiknya yang tidak bisa ditawar, dia dimakzulkan secara terang-terangan oleh lawan politik. Nabi Muhammad S.A.W. sebagai manusia pilihan, masih ada yang mengkritiknya, baik di zamannya maupun di zaman sekarang ini. Ketika Nabi mengklaim dakwahnya, dia dikutuk menjadi dukun, penyebar berita bohong, bahkan sampai berusaha menyingkirkannya.

Oleh karena itu, melihat 3 contoh di atas, saya akan mengatakan bahwa orang-orang hebat dan berharga pasti memiliki pembenci dan pasti akan menerima umpan balik negatif. , ketidakpedulian terhadap penghargaan orang lain cenderung merugikan diri sendiri. Selain itu, agar tidak mengecewakan orang, kita perlu menyadari kemampuan yang kita miliki. Kita diciptakan Tuhan dengan keterbatasan dan kekurangan. Karena itu, jika kita bisa pintar dan melakukan segalanya untuk menyenangkan orang lain, itu tidak mungkin.

Meminjam penegasan Candra Malik, dari kekurangan, keterbatasan, dan ketidaksempurnaan manusialah yang membuat manusia menjadi makhluk yang sempurna dan menjadi manusia yang nyata.

Terakhir, kita juga harus menekankan pengaturan prioritas untuk diri kita sendiri agar tidak menjadi alat bagi orang lain. Jangan sampai waktu dan tenaga kita terbuang sia-sia hanya untuk menyenangkan orang lain, sedangkan kita mengorbankan diri sendiri. Jadi apapun yang kita lakukan, kita tidak akan bisa menyenangkan semua orang.