image by Paul Morigi/Getty Images
image by Paul Morigi/Getty Images

Dari zaman Yunani kuno hingga posmodernisme—pergerakan kolektif memiliki peranan yang begitu besar untuk memberikan peringatan atau melakukan perubahan-perubahan yang cukup substansial di setiap zamannya. Kita tidak dapat menutup mata atas beberapa revolusi besar yang terjadi di seluruh dunia, misalnya revolusi yang dilakukan oleh Bolshevik di Russia. Beberapa perubahan yang terjadi disebabkan adanya suatu pergerakan kolektif dengan visi misi yang sama untuk membentuk sistem baru dan mengubah ketidakmampuan sistem yang lama untuk memberikan dampak baik bagi masyarakat.

Tetapi kita perlu menyadari bahwa pergerakan kolektif tidak hanya berfokus pada upaya-upaya yang akan dilakukan untuk menghancurkan status quo sistem yang lama. Perlu diperhatikan bahwa—tidak jarang hal tersebut terjadi setelah pergerakan berhasil mengganti suatu sistem yang lalim—pergerakan kolektif berpotensi untuk berhadapan dengan kekososngan fungsi-fungsi struktural dan ketidakjelasan arah yang lebih mendorong kelompok tersebut ke dalam pergesekan internal. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan adanya kemunduran dari gerakan progresif bahkan menggagalkan pembentukan sistem baru yang sudah diharapan.

Meski begitu, bukan berarti kita tidak dapat melakukan perubahan atas sistem yang lalim, namun kita perlu menyadari adanya kemungkinan yang cukup kompleks ketika dibangun dengan substansi pergerakan yang cenderung penuh keraguan atau bahkan adanya unsur dari konflik kepentingan. Kita perlu belajar dari pengalaman bahwa suatu pergerakan tidak dapat bertahan lama ketika tidak dipersiapkan dengan matang—kapitalisme misalnya yang telah menemui beberapa kali titik jenuh di dalam perjalanannya berhasil mempertahankan dirinya dengan baik—kita dapat mempelajari kekuatan dan strategi kapitalisme dalam mempertahankan dirinya untuk membentuk suatu pergerakan yang solid dengan mengutamakan hal-hal yang bersifat substantial dibandingkan yang praktis.

Untuk membentuk suatu pergerakan kolektif yang lebih kuat, kita perlu memperhatikan beberapa hal. Dan, salah satunya dapat kita pelajari dari pemikiran Ernst Bloch yang mencoba membawa kita pada suatu harapan—meski terdengar utopis dan penuh dengan harapan-harapan—bahwa manusia masih dapat menemukan sesuatu yang bermakna di masa depan untuk menuju perubahan-perubahan yang baik. “harapan” atau “berharap” dianggap sebagai bahan bakar bagi diri seseorag untuk mengatasi atau bahkan menjadi bahan bakar yang dapat mendorong manusia untuk mampu melakukan sesuatu agar ia dapat mencapai apa yang mereka harapkan di masa depan.

das Noch-Nicht

Jika kita berbicara tentang pemikiran Ernst Bloch—ontologi dari Yang-Belum (das Noch-Nicht) maka kita akan menemukan bahwa “harapan” atau “berharap” menjadi nilai yang fundamental di dalam analisa Bloch, meski pada dasarnya tidak banyak yang membahas “harapan” atau “berharap” di dalam filsafat—di dalam psikoanalisa, khususnya Abraham Maslow menggunakan motivasi sebagai salah satu aspek yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan manusia memenuhi setiap tingkatan di dalam hierarki kebutuhan Maslo. Dan, harapan (yang terkandung di dalamnya: tujuan tertentu) merupakan salah satu motivasi yang dapat mendorong manusia untuk melakukan sesuatu—Bloch mencoba untuk menerangkan kepada kita bahwa Yang-Belum itu bukan berarti kosong. Yang-Belum ada saat ini tidak dapat kita sangkal bahwa ia memang tidak “ada”, namun kita dapat merasakan “Yang-Tidak” itu dianggap sebagai suatu kekosongan.

Dengan demikian “Yang-Tidak” adalah “Yang-Belum”. Akibatnya di dalam pikiran kita terdapat suatu masa depan yang telah terinjeksi ke dalam fantasi dari pikiran kita sendiri. Mungkin untuk mempermudah pemahaman kita tentang “Yang-Belum (das Noch-Nicht)” maka kita akan menggunakan ilustrasi berikut ini: rasa haus yang dialami seseorang akan membawa suatu perubahan di dalam diri manusia dengan menimbulkan respon sebagai “dasar dari segala dorongan yang lain” hal ini juga dipengaruhi oleh diri manusia itu sendiri sebagai respon tubuh—dengan meningkatnya rasa haus, maka tubuh dan pikiran akan terarahkan kepada minuman, Yang-Belum. Dengan demikian “rasa haus” merupakan dorongan atau tenaga produktif di dalam garis terdepan dunia yang belum jadi, yang selalu muncul lagi (Suseno, 2013).

Seseorang yang sedang kehausan akan menimbulkan suatu dorongan di dalam diri manusia untuk melakukan usaha tertentu yang menjadi cikal-bakal dari garis terdepan atas dunia yang belum jadi. Usaha-usaha yang akan dilakukan manusia merupakan bentuk—pada dasarnya akan terjadi secara berulang dan terus-menerus—dari aktivitas yang dilakukan untuk mewujudukan dunia, sekali lagi dan berulang, yang didorong oleh rasa haus yang akan selalu muncul secara alami.

Dari das Noch-Nicht menuju das Noch-Nicht-Bewußte

Yang-Belum-Disadari dapat kita artikan sebagai Yang-Belum yang sudah mendesak atau ingin melompat keluar untuk menyatakan dirinya. Dengan demikian di dalam pemikiran Bloch dapat kita lihat bahwa Yang-Belum-Disadari adalah kehadiran dari Yang-Belum. Meski di dalam katanya merujuk pada sesuatu yang benar-benar belum disadari, namun ia pada dasarnya bukanlah sesuatu yang belum disadari ia selayaknya pelita yang memancarkan cahayanya di sekitar dirinya yang menampakkan objek-objek yang ada, disekitar wilayah yang menerima cahaya dari pelita tersebut terkandung objek yang dalam waktu yang singkat akan menjadi fokus kita atau tersoroti oleh cahaya dari pelita tersebut.

Artinya Yang-Belum-Disadari serupa dengan objek-objek yang berada di tepian sorotan dari cahaya pelita yang akan keluar dan tersoroti ketika pelita tersebut diarahkan. Kondisi ini (Yang-Belum-Disadari) merupakan pengaruh dan masalah kondisi-kondisi perealisasian dari Yang-Belum, yang belum terbentuk secara utuh (matang). Yang-Belum-Disadari merupakan suatu hal yang menjadi bagian dari apa yang sudah diketahui sebelumnya dari yang akan datang.

Dari das Noch-Nicht menuju das Noch-Nicht-Bewußte menuju Pergerakan Kolektif

Setelah kita menjelaskan beberapa hal yang menjadi titik tolak analisa kita menggunakan pemikiran Bloch. Selanjutnya, kita akan mencoba untuk melihat bagaimana implikasi das Noch-Nicht dan das Noch-Nicht-Bewußte sebagai bagian dari penyusunan yang cukup subtansial untuk memebentuk kesatuan kolektif yang lebih komprehensif dan kritis. Latensi dan tendensi dari realitas—latensi dapat dianggap sebagai realitas Yang-Belum, yang pada faktanya memang belum ada, namun memiliki kemungkinan untuk ada sebagai bentuk dari kemungkinan realisasian yang dapat terjadi di masa depan.

Tendensi merupakan desakan atau upaya dari realitas untuk mewujudkan apa yang masih menjelma di dalam bentuk latensi. Dalam hal ini, pergerakan kolektif dengan dorongan harapan dan tujuan perubahan sebagai garis terdepan untuk membangun masyarakat atau sistem yang lebih baik. Akan melakukan beberapa transformasi yang disebabkan oleh adanya gangguan di dalam sistem yang lama. Dengan demikian dapat kita bentuk suatu ilustrasi sederhana, yaitu: sistem lama yang gagal merupakan dasar atau titik tolak pertama yang memicu adanya harapan-harapan (latensi) bagi kelompok tertentu yang kemudia di dalam pergerakan yang tidak hanya memperhatikan bagaimana cara untuk mengubah, namun juga melakukan analisa yang mendalam terhadap aspek-aspek pendukung perubahan, misalnya pendidikan, ekonomi, sosial, dll.

Merupakan hal yang penting untuk mewujudkan tendensi yang lebih matang dan tidak hanya terpaku pada semangat “tunggal” dari inisiatif perubahan-perubahan. Dengan demikian suatu permasalahan substansial di dalam sistem yang lama misalnya, ekonomi yang gagal. Dapat menyusun sesuatu Yang-Belum (restrukturisasi ekonomi) di masa depan—dengan tujuan untuk membentuk perekonomian yang lebih baik. Yang-Belum-Disadari merupakan tahapan atau sesuatu yang dapat dianggap sebagai lanjutan dari yang belum, meski ia belum disadari bukan berarti ia tidak akan didasari karena pada dasarnya ini hanyalah suatu masalah dari perealisasian. Dengan demikian Yang-Belum-Disadari di dalam pergerakan kolektif merupakan unsur-unsur partikular yang dilihat sebagai elemen pendukung untuk menyusun pergerakan yang lebih kolektif.

Bayangan dari sebuah pelita yang digunakan untuk menampilkan beberapa objek sebagai fokus  utama, pada dasarnya akan menghasilkan bias cahaya yang akan memperlihatkan apa yang sebenarnya menjadi tenaga pendukung untuk menimbulkan kesadaran kolektif yang lebih kuat, tidak hanya fokus sebagai upaya untuk mengganti sistem yang rusak, namun sebagai cara atau elemen pendukung bagi suatu sistem yang memikirkan masa depan dan pergerakan pemulihan setelah sistem lama berhasil digantikan. Dengan demikian, implikasi dari Yang-Belum dan Yang-Belum-Disadari dapat mempengaruhi apa yang diharapkan oleh suatu kelompok yang memperjuangkan apa yang layak bagi masyarakat dari sistem yang menindas.

Kesimpulan

Apa yang menjadi perhatian bagi kita dalam menentukan baik atau buruknya suatu pergerakan kolektif didasarkan pada unsur atau elemen apa saja yang menjadi tenaga penggerak bagi pergerakan tersebut. Jika di dalam suatu pergerakan kolektif hanya mementingkan pihak tertentu yang hasilnya tidak mewakili kepentingan setiap elemen di dalamnya, sudah tentu gerakan tersebut bukanlah gerakan yang komprehensif, melainkan suatu gerakan yang hanya menggunakan basis kepentingan segelintir orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pahlawan kolektif.

Artinya ia bukanlah gerakan untuk menuju perubahan yang membebaskan masyarakat, justru ia akan bertransformasi menuju suatu gerakan yang pada dasarnya membawa masyarakat menuju pengekangan atau hegemoni baru. Yang-Belum dan Yang-Belum-Disadari merupakan hal penting yang dapat menjadi pertimbangan nyata bagi setiap orang untuk menganalisa dan berpikir kritis, bahwa terdapat kemungkinan di masa depan yang sudah tentu tidak dapat dihindari—sesuatu yang tidak dapat tidak berhenti dari perubahan-perubahan (panta rhei). Dan, dengan demikian kita akan mencapai sesuatu yang lebih baik dengan memanfaatkan harapan-harapan sebagai penggerak di garis terdepan perjuangan manusia.

Referensi:

Suseno, Franz-Magnis. 2013. Dari Mao ke Marcuse Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;

Bloch, Ernst. 2000. The Spirit of Utopia. Stanford University;

Barnett, Brian C. 2022. Pengantar Filsafat: Epistemologi. Yogyakarta: Antinomi;

Pratama, Angga. 2022. Dualisme Pemikiran Sang Revolusioner. Tersedia di https://www.forumsimposium.com/2022/09/06/dualisme-pemikiran-sang-revolusioner/