Al-Qur’an menduduki posisi penting sebagai sumber utama agama Islam. Berada setelahnya, hadis dan sumber-sumber hukum Islam lain yang dianggap memiliki keabsahan untuk dijadikan pegangan dalam merumuskan hukum agar dapat selalu dinamis dengan tuntutan peradaban dan kompleksitas persoalan manusia.

Al-Qur’an tidak dapat dipahami melalui analisis tekstual semata, melainkan memerlukan sudut pandang dan pisau analisis kontekstual agar al-Qur’an dapat eksis untuk menjawab tantangan zaman. Tentunya karena al-Qur’an merupakan pedoman mutlak dan menduduki posisi sebagai teks keagaman yang otentik.

Asma Barlas dalam bukunya “Cara Qur’an Membebaskan Perempuan” menilai bahwa pembacaan kaum konservatif terhadap al-Qur’an sangat mengunggulkan superioritas laki-laki, dan memposisikan laki-laki sebagai makhluk dengan kesempurnaan kecakapan mental dan kebijaksanaan, dan memiliki kemampuan penuh dalam mengemban perintah Tuhan. Sedangkan perempuan menjadi makhluk yang menyedihkan, yang menurutnya, hanya memiliki orientasi terhadap fungsi-fungsi seksual-biologis manusia. Mirisnya, beberapa pembacaan terhadap al-Qur’an dan wacana-wacana yang muncul pada masa-masa awal dianggap merupakan bagian dari agama, sehingga unsur pariarki dilabelkan lahir dari agama.

Persoalan yang sering digaungkan adalah adanya ketimpangan atau ketidaksetaraan gender antara hak laki-laki dan perempuan. Murtadha Mutahhari (2012) menilai bahwa Islam tidak berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang persis sama. Islam juga mempertimbangkan kesebandingan atau kesamaan hak, bukan keidentikan hak yang memposisikan keduanya persis, tanpa sama sekali perbedaan. Ia juga menepis sejumlah wacana-wacana mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan yang menganggap keduanya tercipta dari esensi yang berbeda dengan mengacu pada QS. An-Nisâ’ (4): 1,

Berkenaan dengan ayat tersebut, Ibnu Katsir (1994) menyebutkan bahwa ada 4 konsep penciptaan yaitu: Pertama, penciptaan Adam dari tanah, tanpa ayah dan tanpa ibu. Kedua, penciptaan Hawa melalui pria tanpa wanita. Ketiga, penciptaan Isa melalui seorang wanita tanpa pria, secara hukum dan biologis. Keempat, penciptaan manusia selain Adam, Hawa, dan Isa, diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum.

Penciptaan asal wanita, dalam persoalan Hawa, umumnya mengacu pada kata nafs. Tiga ayat derivasi kata tersebut terdapat pada QS. An-Nisâ’(4):1, QS. al-A’râf (7): 189, dan QS. Az-Zumar (39): 6, yang dapat dijadikan dasar adalah kata nafsin wâhidah, minhâ, dan zaujahâ. Ketiga ayat tersebut dijadikan rujukan dalam membicarakan asal penciptaan wanita. Ayat yang pertama seringkali menuai kontroversi penafsiran. Zaitunah Subhan dalam Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an  menjelaskan beberapa perbedaan pendapat terkait pemahaman dalam penciptaan laki-laki dan perempuan.

Pertama, pendapat yang menilai bahwa penciptaan Hawa berasal dari bagian tubuh Adam, yaitu tulang rusuk yang bengkok. Pendapat pertama umumnya berasal dari para ulama terdahulu yang sepakat mengartikan nafs wâhidah adalah  Adam. Karena dari kata zaujahâ arti harfiahnya adalah pasangannya, dan mengacu pada istri Adam, yaitu Hawa. Di antara para mufassir yang sepakat dengan pendapat demikian antara lain, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya jami’ li al-Ahkam Al-Qur’an, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Aziim, Imam az-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf’an Haqa’iq al-Tanzil, dan beberapa tokoh ulama lainnya. Beberapa mufassir tersebut mengacu pada hadis Nabi yang redaksinya menjelaskan bahwa wanita tercipta dari tulang rusuk. Walaupun beberapa ulama kontemporer memaknainya secara metaforik bahkan ada yang menolak hadis tersebut.

Kedua, penciptaan Hawa tidak berbeda dengan penciptaan Adam, yaitu dari diri atau jenis yang satu, tidak terdapat perbedaan satu sama lain. Pendapat kedua ini dapat ditemukan dalam pandangan mufassir seperti al-Mâraghî dalam Tafsir al-Mâraghî yang secara tegas mengatakan bahwa ayat al-Qur’an sedikitpun tidak mendukung pemahahaman pendapat bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam.

Sejalan dengannya, Râsyîd Ridhâ dalam tafsir Al-Manâr mengatakan bahwa pemahaman yang pertama lahir dari spirit Perjanjian Lama dalam Kitab Kejadian II ayat 21-22 tentang kisah Adam dan Hawa. Ulama lainnya yang senada dengan mereka yakni Asghâr Alî Engineer, Murtadhâ Muthahharî, ulama kontemporer Al-Thâbâthâba’î, dan beberapa mufasssir lainnya.

Perbedaan laki-laki dan perempuan sangat kontras satu sama lain, dan al-Qur’an tidak menafikan hal itu. Al-Qur’an sebagai teks universal hanya memberikan gambaran laki-laki dan perempuan sebagai individu dan anggota masyarakat, tanpa menjelaskan secara rinci. Adapun dalil-dalil al-Qur’an yang mengatur tentang kesetaraan gender  yakni; QS. al-Rûm (30):21, QS. An-Nisâ’ (04):1, QS. al-Hujurat (49):13 yang intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan.

Ayat-ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya. Pembedaan gender terkonsep sebagai suatu pedoman moral sebagai refleksi terhadap keadaan dan kondisi bangsa Arab pada saat al-Qur’an diturunkan.

Surat Ali ‘Imrân  (03):195, QS. An- Nisâ’ (04):124, QS. An-Nahl (16):97, QS. At-Taubah (09):71-72, QS. Al-Ahzâb (33): 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun laki-laki untuk menegakkan nilai-nilai Islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal.

Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya dan memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan laki-laki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Artinya, kedudukan dan derajat antara laki-laki dan perempuan di mata Allah SWT adalah sama, yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaannya. Kompleksitas persoalan tersebut di antaranya adalah bias patriarki yang menyelimuti al-Qur’an dalam wajah wacana-wacana keagamaan yang berakulturasi dan saling bergesekan dalam kurun waktu hampir 15 abad. Sehingga seringkali sulit dibedakan mengenai wacana agama dan pemahaman terhadap wacana agama. Padahal  al-Qur’an tidak mengalienasi posisi perempuan dan tidak ada superioritas dalam penciptaan laki-laki dan perempuan. Hanya saja, pemahaman setelahnya yang dipahami memiliki kecenderungan patriarkis.

* Penulis adalah Mahasiswi IAIN Madura, Aktivis Perempuan, Pegiat kajian literasi dan Penggerak Forum Kajian Simposium

About The Author

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here