Sebagai bangsa modern yang baru terbentuk pada awal abad ke-20, Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam tempo waktu relatif lebih cepat. Pada masa-masa awal setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia yang notabenenya adalah negara baru telah mampu menjadi salah satu kekuatan besar di dunia, walaupun di satu sisi elemen-elemen yang ada di internal negeri ini belum sepenuhnya mencerminkan hal tersebut. Kendati demikian, peran dan kontribusi indonesia sangat besar bagi dunia, terutama bagi negara-negara yang bernasib sama dengannya, yang baru terlepas dari penjajahan.

Namun, dengan berjalannya waktu dan seiring bergonta-gantinya pemimpin negara serta ketegangan-ketegangan internal dalam berbagai aspek, Indonesia belum mampu berkontribusi dalam peradaban dunia.

Berbagai persepsi mengenai sebab kemunduran tersebut muncul dan yang paling dominan ialah faktor kekurangan gagasan, konsep, dan narasi yang bisa menjadi acuan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara kedepannya.

Dalam hal ini, Anis Matta menawarkan konsep yang cukup matang yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan dan acuan dalam mengambil tindakan di hari kemudian. Dengan menggunakan perspektif sejarah, ia berhasil menghasilkan suatu konsep yang cukup absolut dalam mengembalikan muruah dan kembali menjadikan Indonesia sebagai salah kekuatan dunia. 

Anis Matta membagi secara periodik sejarah Indonesia menjadi tiga periode. Pertama, gelombang pertama atau periode menjadi Indonesia; dimulai sejak abad ketujuh belas dan mencapai puncaknya pada awal abad ke-20, tepatnya pada peristiwa sumpah pemuda dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Periode menjadi Indonesia ini dilatarbelakangi oleh Imperialisasi dan kuriositas dalam mencari jati diri. Kedua, gelombang kedua atau menjadi negara bangsa modern; periode ini membentang sekitar tujuh puluh tahun sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia hingga melewati orde lama, orde baru, dan era reformasi. Dengan semangat untuk mencari model ideologi dan sistem yang selaras dengan bangsa ini, perdebatan demi perdebatan tersaji dalam kurun waktu tujuh puluh tahun tersebut yang berporos pada tema nasionalisme, agama, dan budaya. Ketiga, gelombang ketiga, yang akan kita bahas secara komparasi dengan fakta sosial pada paragraf berikutnya.

Gelombang Ketiga

Setelah reformasi berumur lima belas tahun atau tepatnya tahun 2014, Anis Matta menegaskan bahwa kita mulai memasuki periode baru dalam sejarah bangsa ini, yaitu periode menjadi masyarakat baru Indonesia. Dengan semangat menuju indonesia sebagai ekuilibrium baru dunia, ia memaparkan secara implisit beberapa kriteria yang harus dimiliki masyarakat baru Indonesia. Setidaknya ada lima kriteria yang seharusnya menjadi tipikal masyarakat ini, yakni kelas menengah baru yang dibentuk oleh orang berusia 45 tahun ke bawah, berpendidikan cukup tinggi, kesejahteraan semakin membaik, terhubung (well connected) dengan lingkungan global melalui internet, dan lahirnya kelompok “native democracy”. 

Jika lima kriteria di atas kita spesifikasikan kembali, maka akan menghasilkan rumusan sebagai berikut: kriteria pertama adalah orang manusia di bawah 45 tahun atau bonus demografi sebagai aktor, berpendidikan sebagai tipe personal, terhubung ke dunia luar sebagai faktor pendukung, native democracy atau politik sebagai koridor atau jalan menuju tujuan, dan output yang diharapkan yaitu kesejahteraan sosial.

Pada artikel ini, kita akan lebih memfokuskan pembahasan pada diagnosa antara harapan dan fakta sosial saat ini setelah lima tahun kita memasuki gelombang ketiga dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

1. Bonus Demografi

Sejarah mencatat, negara-negara yang telah melewati bonus demografi cenderung mempunyai tingkat kesejahteraan yang relatif tinggi, karena dapat memanfaatkan efek demografi tersebut dengan maksimal dan optimal. Beberapa negara seperti jepang dan lain sebagainya mencapai kesejahteraan yang tinggi setelah melewati masa tersebut. Bagaimana dengan Indonesia?

Anis Matta menyebutkan, dengan hadirnya efek demografi tersebut, produktivitas akan meningkat. Ia juga meneruskan bahawa pada tahun 2020 angka rasio ketergantungan (depedency ratio) Indonesia menurun karena jumlah penduduk produktif jauh di atas kelompok penduduk yang tidak produktif. Namun, realita sosial pada tahun 2020 ini justru berbanding terbalik dengan harapan dan anggapan awal tadi, seperti angka pengangguran yang meningkat, lapangan kerja yang semakin sulit, serta utang luar negeri yang semakin membengkak. Beberapa realitas sosial tersebut setidaknya menjadi tolok ukur bahwa kriteria pertama masyarakat baru Indonesia masih belum sepenuhnya “terverifikasi”.

2. Terhubung ke Dunia Luar

Berdasarkan hasil polling Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia (APJII) pada pertengahan tahun 2019 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta atau 64,8 persen penduduk Indonesia sudah terhubung ke internet dan bisa menjelajahi dunia luar dengan menggunakan media tersebut. Dengan begitu, setidaknya kriteria kedua ini sudah bisa dikatakan berhasil. Kendati demikian, perlu diingat bahwa internet dan proses terhubung dengan dunia luar tidak selalu mengenai efek positif dan dampak baik lainnya. Namun, perlu diingat bahwa internet juga bisa menjadi bumerang bagi penggunanya, seperti meningkatnya pornografi, lahirnya sifat anti sosial, serta lain sebagainya.

3. Berpendidikan Tinggi

Jumlah sarjana yang terus bertambah tidak bisa menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di Indonesia. Berbanding lurus dengan hal itu, jumlah pengangguran yang didominasi oleh usia produktif juga bertambah. Pada akhir tahun 2019 lalu, berdasar hasil survei terhadap 77 negara oleh Programme for International Student Assessment (PISA) menempatkan Indonesia di peringkat terendah keenam, tepatnya ke 72 dari 77 negara. Di dalam negeri sendiri, statistik yang dirilis Kemendikbud menunjukkan angka buta huruf di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 3,29 juta penduduk. Semua data statistik di atas bisa dijadikan acuan bahwa pendidikan di Indonesia masih cukup rendah, sehingga seyogyanya menjadi poros perhatian yang paling awal dari pemerintah republik ini.

4.  Kesejahteraan Semakin Meningkat

Kesejeteraan sosial merupakan hal terpenting dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, ia adalah tujuan dan harapan besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, serasa hanya sebatas utopia, harapan besar tersebut masih sangat sulit untuk direalisasikan di tengah kehidupan rakyat. Angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, pengangguran yang begitu banyak, pendidikan yang belum cukup berkualitas serta tidak ada jaminan kesehatan yang aman dari pemerintah sekiranya cukup membuktikan bahwa kesejateraan sosial dan keadilan masih sangat jauh.

5. Lahirnya Kelompok “Native Democracy” 

Dalam hal politik demokrasi mungkin kita cukup lega, sedari awal masa reformasi aktor-aktor politik muda sudah mulai mengambil panggungnya. Dengan berbagai macam koridor, mereka mengambil peran dalam sosial politik. Beberapa diantaranya ada yang terjun langsung ke kursi pemerintahan, menjadi aktivis organisasi dalam kehidupan sosial, dan masih banyak lagi media politik yang digunakan para pemuda.

Dari diagnosa singkat di atas dapat kita simpulkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara harapan dan fakta sosial yang saat ini kita saksikan bersama. Adapun faktor utama yang menyebabkan kesenjangan tersebut ialah belum tuntasnya “pekerjaan-pekerjaan rumah” yang seharusnya selesai pada gelombang kedua. Terutama dalam aspek politik yang menjadi sistem dan mesin penggerak dalam memenuhi tuntutan-tuntutan sosial, seperti kinerja elemen pemerintahan yang belum maksimal atau sudah cukup maksimal, namun mungkin tidak tepat sasaran, dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. 

Kesimpulannya, konsep yang disajikan Anis Matta sudah cukup matang untuk dijadikan ukuran keberhasilan serta kontrol dalam menjalani kebernegaraan kita. Akan tetapi yang menjadi persoalan ialah, seberapa siap elemen pemerintah untuk mengaplikasikan konsep tersebut?  “pekerjaan rumah Indonesia masih cukup banyak”