image by https://mercatornet.com/
image by https://mercatornet.com/

Pernahkah anda berpikir ke mana dan apa akibat dari hasil pencarian, like, dan komentar Anda di mesin pencari, media sosial, e-commerce, dan platform lainnya? Bila Anda tidak pernah berpikir ke arah sana, bersiaplah untuk terus “ditelanjangi”.

Semua aktifitas kita di mesin pencari, media sosial, e-commerce, dan platform lainnya telah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang yang saya sebut “ilmuwan gila”. Mungkin kita tidak pernah menyadari akibat dari aktifitas itu. Kita tidak/belum pernah tahu apa yang bisa dihasilkan dari semua itu. Padahal, semua aktifitas itu (sampah digital) ialah ladang keuntungan yang luar biasa.

Tidak benar-benar ada yang gratis di dunia ini. Begitulah ungkapan yang pas atas keadaan tersebut. Oksigen dirasa gratis, tapi Tuhan menuntutmu agar berbuat kebajikan. Begitupun dengan mesin pencari, media sosial, e-commerce, dan platform lainnya. Mereka memberi keasikan, hiburan, kehadiran, citra, informasi, kedudukan, popularitas, hingga pekerjaan, tapi di satu sisi mereka merenggut hal intim dari hidup Anda (privasi).

Kita tidak/belum sadar akan keadaan ini. Selama ini kita mungkin cuma menganggap aktifitas bermedia kita ialah aktifitas kehidupan yang sudah sewajarnya terjadi. Padahal, ada hal besar di belakang jangkauan kita yang sedang terjadi, mengintai kita setiap waktu.

Bila dilihat lebih jauh, luas, rinci, dan sistematis, kehidupan kita sekarang tidak lebih dari kurungan tunggal. Sebuah tempat saat kita seutuhnya sedang ditelanjangi secara profesional. Saya katakan demikian, sebab diluar kurungan tersebut hiduplah sekelompok “ilmuwan gila” yang bersulang teh manis sambil memerhatikan kita, memanfaatkan kita, dan menertawakan kita.

Selama ini, orang pada umumnya hanya mengetahui bahwa mereka memakai layanan mesin pencari, media sosial, e-commerce, dan platform lainnya hanyalah aktifitas berkuota. Nyatanya, semua itu tidak sesederhana kelihatannya. Tidak hanya kuota saja yang terkuras atas konsekuensi aktifitas tersebut, lebih dari itu, perilaku kita juga terkuras secara otomatis dan sistematis. Dari situlah permasalahan privasi perlu kita renungkan sekali lagi.

Free Service for free data. Begitulah semboyan kehidupan digital. Layanan digital yang “dirasa” gratis ternyata harus dibarter dengan data perilaku pengguna internet yang gratis pula. Mulanya, data perilaku pengguna (privasi) itu hanyalah sampah, sebelum akhirnya diubah menjadi ladang emas dengan teknologi big data.

Tidak bisa dipungkiri lagi, ilmuwan gila tersebut menggunakan big data dalam penelitiaannya. Hasil dari penelitian itu ialah logaritma perilaku. Sampai sini, Anda bisa mulai membuka media sosial Anda. Pada halaman beranda, selalu disajikan konten yang sesuai dengan minat, kesukaan, dan aktifitas bermedia Anda selama ini. Anda dilayani bak raja-ratu, apa yang anda butuhkan ada di media digital tersebut. Sebagai barter, muncullah penjualan iklan setiap waktu di dalam sana.

Secara kasat mata, tidak terlihat adanya masalah serius perihal penayangan iklan tersebut. Namun, bila ditelisik agak jauh, ada pergeseran cara kerja dalam beriklan. Dulu, iklan disebar seluas-luasnya untuk menjangkau subjek seluas-luasnya pula. Dengan harapan, jangkauan yang luas akan meluaskan jaringan ketertarikan dan pembelian. Tetapi, hal itu sekarang telah ditinggalkan. Bukan lagi seluas-luasnya, tetapi setepat-tepatnya.

Iklan sekarang disebar lebih efisien dan efektif. Iklan hanya disebar kepada subjek yang memungkinkan untuk tertarik dan membeli. Dari mana kita tahu subjek itu tertarik dan membeli? Jawabannya sangat jelas. Semua itu diketahui dari aktifitas bermedia kita selama ini, yang terekam sempurna oleh big data. Ilmuwan gila memegang kendali atas itu semua.

Tidak berlebihan rasanya bila teknologi big data menjadikan kita sebagai hewan lab. Apa yang ada dalam diri kita dieksploitasi hingga sarinya. Mulai dari konten apa saja yang Anda sukai, kata kunci apa saja yang sering Anda ketik, tagar apa saja yang sering Anda gunakan, hingga seberapa sering Anda mengunjungi laman porno. Semua itu terekam dan terolah dengan jelas, cermat, dan tepat oleh big data. Semua itu pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh ilmuwan gila untuk dijual.

Menuju Ruang Tanpa Tutup

Menilik persoalan di atas, agaknya novel “The Circleyang ditulis David Eggers bisa jadi abstraksi yang pas. Novel tersebut menjelaskan bagaimana pembebasan dan penguasaan berjalan berdampingan dan saling menguatkan. Kita merasa telah memeroleh kebebasan kita, tapi di satu sisi penguasaan atas itu sedang berlangsung dengan ritme yang lebih cepat. Begitulah The Circle bekerja.

Seperti 1984 (Big Brother is Watching You) karya George Orwel, kisah menegangkan tentang ingatan, sejarah, demokrasi, privasi, serta batas pengetahuan manusia disajikan. Begitupula The Circle yang disebut generasi baru 1984 dan Brave New World ini.

Menilik hal tersebut, pernyataan bahwa kita sebenarnya hewan lab tidaklah berlebihan. Apalagi Indonesia juga salah satu negara dengan pengguna Internet terbanyak. Jadi, data (privasi) kita pada akhirnya akan/telah menjadi bahan baku untuk menciptakan kekuasaan tunggal yang masif tak terlihat (The Circle dan Big Brother). Kita membantu dengan sadar proses persalinan dunia saat pembebasan dan penguasaan berjalan bergandengan.

Dunia sedang menuju ke arah ruang antara manusia dan objek lainnya termasuk manusia itu sendiri akan hilang. Bergantilah transparansi tunggal yang utuh. Saat hal itu terjadi, persis seperti apa yang dikatakan oleh John Steinbeck, masa depan sama sekali tak berbatas, tak bersekat. Begitulah sehingga manusia tak akan memiliki ruang untuk menyimpan kebahagiaannya. Karena pada akhirnya, semuanya sedang kita pertontonkan tanpa sisa.

Kita akan melihat bagaimana dunia ini perlahan berubah menjadi tiran yang mengontrol penuh hak dan kebebasan manusia. Lalu pemilik utama teknologi itu secara pasti ialah para kapitalis (ilmuwan gila). Orang tanpa modal hanya menjadi bahan bakar atas semua itu, yang pada akhirnya hanya menjadi butiran arang dan debu. Lalu, semuanya menjadi benar bahwa kita semua ialah orang yang hidup di negara yang sama, yakni kapitalis. Dan secepatnya kita juga akan tahu, di dunia yang telah terintegrasi dengan big data; privasi, rahasia, serta identitas anonim adalah kejahatan berat.

* Penulis adalah Guru Swasta, seorang pedagang terang bulan, dan sekaligus penulis antologi cerpen “Bau Badan yang Dilarang” (2018)