image by republika
image by republika

Ratusan tahun yang lalu, para ilmuwan berlomba–lomba menemukan beberapa temuan dan inovasi mutakhir untuk memudahkan pekerjaan manusia. Dengan beberapa pertimbangan dari pendahulunya dan dari kondisi sosial waktu itu, inovasi dan pengembangan sudah mereka pikirkan, salah satunya terjadi pada masa ratu Elizabeth berkuasa.

Waktu itu terdapat seorang ilmuwan menciptakan alat perajut yang dikenal dengan “stocking frame”, ia menghadap ratu Elizabeth untuk mendapatkan hak paten atas mesin ciptaannya. Tapi alih-alih mendapat yang ia harapkan, ia malah mendapat kritik tajam dari sang ratu tentang mesin yang di gadang-gadang akan membatu meringankan beban pekerjaan manusia tersebut. Penyebabnya adalah mesin tersebut akan berdampak pada kemelaratan rakyat dan juga berpotensi meningkatkan angka pengangguran yang diakibatkan terampasnya pekerjaan jutaan orang yang dahulu merajut secara manual digantikan oleh mesin “stocking frame” si ilmuwan dan instabilitas politik yang dipastikan akan mengancam tahta kerajaan.

Hal ini bukan dongeng belaka, fenomena ini benar terjadi pada tahun 1589, dan pola yang sama terjadi sampai detik ini dimana inovasi dan teknologi tidak bisa di hindarkan dari kenyataan hidup kita. Perusahaan-perusahaan akan merampingkan jumlah pekerja atau buruh dan menggantinya dengan mesin-mesin yang semakin canggih menggantikan keterampilan manusia.

Saya ada cerita menarik ketika saya menyeberang laut dari pelabuhan Kamal ke pelabuhan perak, Surabaya, menggunakan kapal Jokotole. Sebagai anak muda yang ramah dengan teknologi, saya memanfaatkan teknologi secara sederhana dan mudah. Saya memesan ojek online di sebuah aplikasi dengan menggunakan cashback atau diskon jika melakukan pembayaran melalui E-wallet (dompet elektronik).

Pembayaran semacam ini sudah merambat ke berbagai sektor kapital besar dengan perubahan pembayaran elektronik yang lebih mudah dan praktis daripada menggunakan ojek pangkalan (offline) yang harganya cenderung lebih mahal. Namun di sisi lain, teknologi ini sangat asing bagi mereka yang masih menggunakan pembayaran manual dan tanpa banyak keuntungan yang di dapat konsumen.

Ternyata setelah ditelusuri, wilayah tempat saya pesan tadi adalah wilayah yang melarang ojek online beroperasi. Menurut informan yang saya dapati, pelarangan tersebut merupakan kesepakatan antar ojek offline, sehingga tak jarang ojek online merasa ketakutan dan sebagian terpaksa harus menyamar sebagai keluarga yang menjemput salah satu anggota keluarganya.

Jika tidak demikian, mereka akan diteror oleh persatuan ojek offline dan orang-orang terkait. Saya kemudian mikir, padahal tidak ada hukum tertulis tentang peraturan ini. Waktu itu saya masih sesosok anak muda yang berfikiran pendek, saya berpikir bahwa pelarangan ini hanya akan menghambat inovasi dan kemajuan zaman yang semakin canggih.

Namun setelah saya membaca buku Yuval Noah Harari judulnya “21 lessons”, saya kemudian sadar bahwa ini adalah hajat hidup mereka (ojek offline) untuk bertahan hidup di tengah melejitnya inovasi dan teknologi oleh perusahaan startup yang didanai para kapitalis besar.

Ironisnya, hal ini akan menghilangkan profesi-profesi tenaga manusia digantikan dengan mesin yang tidak berperasaan, tidak memiliki emosi, rasa kantuk, dan lelah, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi dan upaya ekspansi pasar global dunia yang semakin memisahkan jarak antara si kaya dan si miskin.

Fenomena ini tidak bisa kita hindari jika kita berpikir tentang kehidupan yang lebih baik, tapi jika kita masih berpikir konservatif dan menghindari inovasi, maka yang akan terjadi kita saat ini mungkin masih menaiki andong dan berumah anyaman bambu yang dingin ketika di terpa angin.

Kita harus mampu beradaptasi dengan perubahan dunia yang cepat. Pasar tenaga kerja kini lebih suka menggunakan mesin atau bahkan AI (Artificial intelligence), meskipun tak jarang pula beberapa manusia masih melakukan pekerjaan yang lebih baik dari mesin. Banyak ahli berpendapat bahwa sekolah harus beralih ke pengajaran 4C “critical thingking, communication, collaboration, creativity”. Lebih luas, sekolah harus mengecilkan keterampilan teknis dan menekankan keterampilan kehidupan umum. Namun yang paling penting dari semuanya adalah bagaimana kemampuan kita untuk menghadapi perubahan. Lagi pula yang harus kita lindungi adalah pekerja, bukan pekerjaan.