image by goodfon.com
image by goodfon.com

“Terima kasih untuk waktu senjanya hari ini,” ujarku padanya yang telah mengajariku arti senja.

Aku tidak pernah menyukai waktu senja sebelumnya, tepatnya sebelum dia datang mewarnai hidup. Dengan caranya, ia berhasil membuatku jatuh cinta pada waktu istimewa ini. Dimana langit berwarna kemerah-merahan dan mentari yang tenggelam ditambah suara deburan ombak dan hamparan pasir pantai. Aku mencintaimu lebih dari sekedar yang kau tahu. Entahlah sudah beribu sekian senja yang aku dan dia lewati, saksikan, dan nikmati bersama.

“Maaf,” mohonnya.

Aku selalu menyukai raut mukanya saat ia tersenyum. Dipertemukan dengan pria baik sepertinya adalah satu bab kebahagiaan hidupku. Yang selalu ada untukku bagaimanapun aku, yang selalu perhatian atas apa yang sedang terjadi padaku, dan yang selalu menjadi semangatku untuk menjalani hari-hari penuh duri. Aku tersenyum, sesekali tertawa sendiri. Segila itukah aku mencintai? 

“Tidak apa,”

Aku tersenyum tipis. Mencoba menegarkannya untuk terus menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang. Dan aku selalu begitu. Setiap pagi bertukar motivasi lebih dari ratusan hari mencoba membuatnya berdiri, menuntunnya untuk terus merangkak, merangkulnya untuk bangun saat terjatuh. Wanita mana yang mau prianya terjatuh? Aku selalu ada di belakangnya cemas penuh harap. Sesekali memanjatkan doa-doa untuknya. Alasannya adalah aku mencintainya dan dia mulai berdiri tegak dalam tuntunan tangan dan bisikan doa-doaku. 

“Mengapa kamu datang ke rumahku?” tanyaku penasaran.

Setelah dia menghilang sekian bulan yang lalu, setelah dia sibuk tak ingin diganggu, dan setelah aku dibuatnya sendiri dalam ambigu. Cintaku padanya membutakanku untuk terus bersangka baik tentangnya meski banyak kabar miring dan genting dari teman-temanku. Aku tidak pernah menanggapi kabar burung itu. Yang kutahu dan kuyakini adalah sesuai dengan pesanmu sekian bulan lalu. Aku sedang sibuk dan tak ingin diganggu. Mungkin aku sudah gila, namun aku memilih untuk tetap tersenyum di depannya. Senyum yang tipis dan manis.

“Aku hanya ingin meminta maaf” pintanya sekali lagi.

Padahal meski tanpa kau sebut kata itu, maafku setulus aku mencintaimu. Tak perlu diminta, maafku selalu ada, bahkan sebelum kamu berbuat salah, meski kamu tidak akan pernah salah di mataku. Namun, ada yang dunia tak tahu tentang aku apalagi dia. Aku sedang menjerit menangis dalam hati mengetahui fakta mencoba menelan realita. Yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Aku masih tersenyum mencoba kuat untuk tidak menumpahkan air mata ini di depanmu. Aku tidak mau kamu tahu.

“Bagaimana dengan gadismu di kota baru?” aku menanyakannya mencoba memancingnya untuk memberikan penjelasan, dan dia dengan polosnya bercerita panjang lebar tentang sibuk yang dia maksudkan adalah gadis yang baru. Aku masih tersenyum. Namun, apakah kamu mempunyai hati? Bagaimana mungkin dia bercerita tentang gadis lain di hadapan gadis yang mencintainya. Apakah dia tidak berfikir tentang lidah yang menusuk hati. Hari ini kabar miring tentangnya yang diceritakan teman-temanku telah diceritakannya sendiri di hadapanku. Dan aku masih tetap tersenyum.

“Dia baik, sebaik kamu,” jawabnya.

Aku menutup mata, mengingat cerita senja-senja dalam memori. Aku tertunduk lesu, namun tetap tersenyum sembari berkata dalam hati. Aku yang menuntunmu berdiri dan dia yang kau ajak berlari.