image by artmajeur.com
image by artmajeur.com

Hal pertama yang kutangkap adalah aroma parfum mahal yang menyengat. Aku tahu itu karena Mama penyuka parfum mahal, banyak sampel yang beliau dapat dari toko-toko parfum di mal. Hal kedua, tanganku diikat. Tak bisa kugerakkan. Kulihat kemeja-kemeja cerah dan blazer mengkilap tergantung di atas kepala, beberapa dibungkus plastik. Kusapu pandangan, sepertinya aku disekap di dalam lemari kayu seseorang yang cukup kaya.

“Aish!”

Aku berusaha mengusir pening di kepala. Hal terakhir yang kuingat adalah, sebuah mobil hitam tiba-tiba berhenti di dekatku dan menarikku masuk saat pulang sekolah. Kala hendak mencoba menendang pintu lemari untuk keluar, sebuah suara dari luar menahanku. Ada seseorang yang masuk. Tidak, beberapa orang, diikuti perdebatan.

“Kenapa kalian menyekapnya di dalam sana?!” seru seseorang.

“Ma-maaf, Tuan!”

Oke, setelah pintu lemari terbuka, aku akan menendang ke depan dan berusaha kabur. Tuhan, tolong aku!

Pintu lemari terbuka. Sekilas tampak lima pria dewasa di luar, satu orang berdiri di depan lemari. Kakiku yang sudah setengah terangkat hendak melawan, terhenti di udara melihat siapa yang membuka lemari.

“Paman Lucas?” ujarku tak percaya.

Lelaki berjas biru di depanku tersenyum, mengulurkan tangan. “Halo, Violet. Mau Paman bantu?”

Aku bungkam. Lantas beranjak keluar sendiri, menolak uluran tangan Paman Lucas. Empat bawahan Paman yang memakai kacamata hitam mengawasiku, ada ekspresi khawatir di sana. Paman Lucas membuka ikatan tanganku dan menyuruh salah satu bawahannya untuk membawakan makanan untukku. Kami duduk di sofa ruangan itu, Paman Lucas duduk di seberangku.

“Maafkan Paman, Vi. Paman hanya menyuruh mereka mengambilmu dan menempatkanmu di sini, bukan menyekapmu begini. Maafkan mereka, ya,” ujar paman Lucas lembut, tersenyum pahit.

Kupasang wajah datar. Selama ini, Ayah selalu menanamkan prinsip bahwa kita tidak boleh mudah percaya pada orang lain. Sebagai seorang manajer tinggi sebuah perusahaan ternama yang hendak berkecimpung di dunia politik, mudah percaya kepada orang yang salah adalah suatu kesalahan besar. Tidak semua orang menyukai kita, bahkan bisa jadi lebih banyak yang tidak suka dan hendak berbuat licik. Aku sudah terbiasa menghadapi beberapa teman yang merupakan anak saingan kerja Ayah, mungkin ayah-ayah mereka menanamkan pemikiran buruk tentang keluargaku. Yang aku tidak habis pikir adalah, Paman Lucas. Kupikir beliau adalah saudara terdekat Ayah. Seseorang yang bisa kupercaya. Apa Paman Lucas juga mengincar posisi Ayah dengan menculikku lalu mengancam Ayah untuk berganti posisi seperti yang ada di film-film?

Aku memandang Paman Lucas, “Boleh aku pulang sekarang, Paman?”

“Setelah ayahmu setuju datang ke mari dan membuat kesepakatan, Vi. Aku berjanji tidak akan menyakitimu,” jawab Paman Lucas santai, tersenyum. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Aku baru tahu bahwa Paman jahat,” kataku dingin.

Paman Lucas berkedip. “Wow. Ayahmu pasti mengajarkan banyak hal padamu, ya?”

Aku diam tak menjawab, menatapnya tajam. Paman Lucas juga balas memandangku yang berani. Well, seharusnya jika ada gadis SMA lain yang berada di posisi yang sama, pasti merengek takut. Tapi, tidak denganku. Ayah bilang, kondisi tak terduga memang mengancam kami hampir setiap hari dan kami harus siap jika itu terjadi. Aku harus bertahan, setidaknya sampai bantuan datang. Aku tahu, Ayah juga punya bawahan dan beliau tidak akan tinggal diam. Aku percaya Ayah.

“Kapan Ayah akan datang? Di mana tas sekolahku?” tanyaku datar. Aku perlu ponsel di tas untuk menghubungi orang rumah.

Paman Lucas mengangkat bahu. “Entahlah. Paman sudah mengirim pesan, tapi sepertinya ayahmu tidak akan datang. Tas sekolahmu sementara Paman simpan, akan dikembalikan ketika kau dijemput dan pulang.”

Tiba-tiba saja aku membenci senyum lelaki itu, kupalingkan wajah. Salah satu bawahan meletakkan piring berisi roti bakar hangat di atas meja di depanku. Harum, tapi aku tidak sudi memakannya.

“Memangnya kesepakatan apa sampai harus menculikku?”

“Untuk mengaku baik-baik telah mengambil uang perusahaan secara ilegal pada Pak Direktur,”

Mataku terbelalak, kaget setengah mati. Bisa-bisanya Paman Lucas mengatakannya dengan santai begitu! Benar-benar! Tanganku terkepal erat, gigi bergemelatuk. Kesal sekali melihat drama konyol ini. Aku bisa saja menyerang ke depan, melawan. Namun, melihat empat bawahan yang masih setia menunggu di sekitar membuatku urung.

“Paman jahat,” kataku marah.

Paman Lucas terdiam, ekspresinya sulit ditebak. “Nak, orang baik dan tidak baik itu beda tipis. Kau tidak boleh asal berasumsi jika tidak tau fakta yang benar-benar fakta, bukan fiksi yang dibuat-buat agar terlihat nyata. Kau tidak boleh hanya melihat dari satu sisi, karena baik dan jahat itu tergantung cara pandang kita terhadap sesuatu. Dan itu hanya asumsi belaka. Bukan fakta.”

Aku memutuskan untuk diam dan tidak menanggapi Paman Lucas sama sekali. Menjelang jam sembilan malam, bawahan Paman yang lain datang dengan seorang lelaki yang amat kukenal.

“Dam!” aku senang sekali melihat lelaki yang Ayah bilang bodyguard pribadiku ini datang. “Di mana Ayah?”

Tanpa menghiraukanku, Dam langsung menghadap Paman Lucas, berbicara formal menggunakan bahasa yang tidak kumengerti. Dam tampak menunduk dalam, sedang Paman Lucas menghela napas panjang. Menggumamkan sesuatu. Beliau kemudian mempersilahkan kami pergi begitu saja. Tas sekolahku dikembalikan. Sejujurnya aku sedikit heran karena mudah sekali terbebas dari cengkraman Paman Lucas, tapi sebaiknya jangan terlalu dipusingkan. Toh, yang terpenting aku bisa pulang dengan utuh.

“Kenapa tidak dari tadi?” tanyaku ketika kami sudah berada di mobil. Ternyata Paman Lucas menyekapku di sebuah apartemen empat puluh lantai milik beliau.

Gerakan tangan Dam yang memakai sabuk pengaman terhenti sejenak, sekilas wajahnya tampak aneh. Antara ragu dan sedih. Tapi kemudian ia kembali menunjukkan wajahnya yang biasa.

“Tuan Lucius sedang sibuk tadi, Nona Violet,” jawabnya tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan.

Aku mengangguk tak banyak tanya. Mungkin Dam sedang ada masalah, entahlah. Sesampai di rumah, kulihat Ayah dan Mama bertengkar hebat di ruang depan. Aku terkejut, tidak pernah kulihat keduanya bertengkar sekali pun, bahkan sampai kedatanganku tidak disadari. Dam tampaknya tidak sekaget diriku, tapi ia diam. Kuputuskan untuk segera naik, melerai mereka tampaknya akan memperkeruh keadaan. Sebelum masuk ke dalam kamar, aku berbalik menghadap Dam yang masih bungkam.

“Terima kasih, Dam. Sampai jumpa besok,” ujarku seperti biasa.

Sejenak, lelaki dua puluh tahun itu terdiam. “Nona, hari ini adalah hari terakhir saya bekerja. Saya minta maaf jika belum bisa menjaga anda secara maksimal selama ini.”

“Apa?” aku sedikit terkejut mendengarnya. “Kenapa?”

“Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang, Nona. Maaf. Saya permisi,” Dam mundur patah-patah, meninggalkanku yang masih berdiri memantung di depan pintu kamar. Tak mengerti.

Pukul dua belas malam lebih lima belas menit. Enam mobil polisi dengan sirene aktif dan beberapa mobil lain mengepung rumah. Pria-pria berseragam menodong pistol ke depan, mengancam Ayah untuk keluar dari dalam rumah. Aku ikut berlari ke halaman, kulihat Mama menangis di dekat pintu depan.

“Ayah, katakan bahwa Ayah tidak bersalah! Ini penipuan!” seruku panik, aku teringat Paman Lucas. Tangan Ayah sudah diborgol dan sedikit diseret menuju salah satu mobil. Seorang polisi menahan lenganku.

Ayah menoleh menatapku, wajahnya sendu. Beliau hanya tersenyum getir.

“Ayah!”

“Sudahlah, Vi. Bukti-bukti yang terkumpul sangat kuat, ayahmu tidak akan bisa mengelak lagi. Padahal aku sudah menawarinya kesempatan untuk mengaku baik-baik dan aku akan membantunya menutup kasus ini, tapi dia menolak. Ya, sudah.”

Aku terkejut mendapati Paman Lucas yang sudah berdiri di sebelahku, kami menatap Ayah yang tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tak ada yang bisa beliau jelaskan karena semuanya sudah jelas. Pintu mobil polisi itu ditutup. Tanganku terkepal, dadaku berkecamuk. Apa arti semua nasihatnya selama ini?

Tengah malam itu aku menyadari bahwa Paman Lucas benar dalam dua hal. Satu, perbedaan baik dan buruk yang amat tipis. Dua, Ayah yang mengambil uang perusahaan secara ilegal. Ternyata Mama dan Dam yang sudah melihat Ayah dari “sudut pandang” yang berbeda menyadarinya lebih dulu dari pada aku.[]

About The Author