image by gerry miles paintings
image by gerry miles paintings

Ibu dapat satu plastik ikan bandeng dari kawan dekatnya. Karena pesanan barang yang menumpuk, akhirnya menyuruhku memasak dengan mencari sendiri referensi di web. Ikan bandeng tepung. Aku segera menuju ke dapur setelah mempelajari resep.

“Ibu, ini sisiknya dikerik dulu, ya?” aku berseru dari dapur, melihat ikan bandeng yang masih utuh. Setahuku, biasanya Ibu minta dikeluarkan organ dalamnya dulu sebelum dimasukkan ke dalam kresek ketika beli di pasar.

Tak ada jawaban dari Ibu, aku melangkah ke ruang depan. Tampak Ibu sibuk menata kardus paket pesanan barang.

“Bu, ini ikannya dikerik sisiknya?” tanyaku.

Ibu menoleh, “Loh, masih belum diapa-apain, ya? Isi perutnya udah dibersihin?”

“Tadi kulihat masih utuh, kayaknya belum.”

“Yaudah. Dikerik sisiknya, dikeluarin bagian perutnya, baru dicuci. Ini Ibu masih sibuk urus barang. Meskipun laki-laki, kamu juga harus tau masak!” Ibu kembali fokus pada kardus-kardus.

“… oke.”

Di dapur, aku menatap tumpukan ikan jerih. Masih utuh dan segar. Seakan-akan mereka masih hidup saja. Kulihat sekilas, ada seekor yang bergerak sedikit. Aku terkesiap, memeriksa hati-hati ke dalam baskom. Sepertinya hanya halusinasiku saja.

Aku menyeret baskom ke westafel, mulai mengerik sisik bandeng dengan pisau. Sedikit takut aku mencengkram mereka yang licin, ini pertama kalinya aku mengolah ikan sendiri. Satu, dua, selesai. Ikan ketiga tampak ramping dan kokoh, sedikit lebih hidup dari yang lain. Aku perlahan menggesek sisi pisau di badannya. Betapa terkejutnya aku kala dia menggeliat di tanganku!

“Ikannya masih hidup, Bu!” teriakku reflek.

“Jangan alay! Itu baru diambil dari freezer!” seru Ibu dari depan.

Ah, ibu malah tidak percaya. Lalu aku harus bagaimana? Mengirisnya agar mati, memasukkannya kembali ke dalam kulkas, atau bagaimana?! Ah, aku bingung! Belum sempat melakukan apapun, mulut si ikan seakan menggigitku. Aku tidak tau bakal sesakit itu, hingga aku reflek menjatuhkannya. Melompat ke belakang, kepalaku terbentur wajan yang digantung di dinding. Mataku berkunang-kunang.

“Ah, gimana, sih? Kenapa ikannya bisa masih hidup?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala, hendak memukul kening untuk mengusir pening. Tapi aku merasa aneh, tanganku tidak bisa menggapai kepalaku sendiri. Aku membuka mata lebih lebar.

“DIMANA INI?!” jeritku histeris.

Sekelilingku buram, batu berlumut di mana-mana. Tanaman-tanaman air, jaring yang tersangkut, sepatu sebelah … aku dimana? Permukaan tanah ini sepertinya berlumpur, tapi—

“Levi! Jangan sok linglung begitu! Cepat cari adik-adikmu!”

Seekor ikan bandeng dengan mulut besar mendekat, menamparku. Aku terkejut setengah mati. Aku baru tau ikan bisa berbicara dan menampar! Aku masih menatapnya campur aduk.

“Ka-kamu siapa? Adik-adik siapa? Ini dimana? Dan aku bukan Levi! Aku Radit!” seruku super bingung.

Ikan besar di depanku tampaknya makin marah. “NGGAK USAH SOK LUPA INGATAN! CEPAT CARI ADIKMU DAN PERGI DARI SINI!”

Aku berlari ke samping, segera menjauh darinya. Tapi aku merasakan hal yang aneh, seakan tidak berlari dengan kaki. Aku melihat tubuhku yang bersisik. Aku sebuah ikan! Ikan bandeng! Apa-apaan lagi ini?! Aku berenang terlewat sangat cepat hingga menabrak ikan lain. Seekor ikan bandeng betina, dia mengaduh. Kulihat memang banyak ikan berenang cepat ke arah Selatan.

“Ma-maafkan aku! Aku belum terbiasa berenang!” kataku cepat, mengepak-kepakkan siripku. Aku tidak tau bagaimana membantunya dengan sirip pendek ini.

“Aduh … Levi? Kamu dari mana saja? Aku mencarimu! Adik-adikmu berpencar, aku takut mereka terpisah!” katanya, mendekat.

Aku terkagum-kagum melihatnya dari dekat. Dia terlihat seperti ikan bandeng betina biasa, tapi entah mengapa di mataku tampak sangat cantik. “Kamu cantik.”

“Hah?” dia mengerutkan alis.

“Eh—maksudku kamu siapa? Lalu ikan bandeng mulut besar tadi juga siapa? Aku tidak mengerti! Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?!” aku bertanya cepat, panik. Kembalikan aku ke dapur!

Gadis ikan ini bingung dengan sikapku. “Kamu terbentur, ya, Levi? Itu tadi mungkin ibumu. Beliau bersusah payah menyebrangi lorong-lorong air bawah tanah agar bisa memperingati kawanan ikan di sini! Terutama kamu dan adik-adikmu! Jaring-jaring raksasa itu sudah diturunkan, jika tertangkap, kita akan dibakar!”

“HAH?!” demi mendengarnya, aku ikut panik. Aku tidak mau jadi ikan bakar!

“Ayo, cari adik-adikmu dulu!” ia berenang mendahuluiku.

“Yang mana adikku?!” aku tidak punya adik! Aku anak tunggal!

“Aku bantu cari! Ayo!”

Aku mengikutinya berenang di antara kawanan ikan yang panik berenang tak tentu arah. Mengelilingi kolam ini, sepertinya aku kenal. Apalagi setelah sekilas muncul ke permukaan sebelum Lisa—nama ikan betina itu—berteriak memanggilku turun. Kolam pemancingan dan tambak bandeng dekat rumah, aku yakin. Di arah Utara dan Timur, jaring-jaring dilebarkan. Kulihat banyak ikan terjerat. Aku makin panik. 

Kuperhatikan sekitar. Ada bandeng dewasa, remaja, anak-anak, dan lansia. Sebenarnya jika dilihat sepintas lalu tampak hampir sama, tapi entah mengapa di mataku terlihat seperti itu. Di ujung, bandeng kecil tampak kesusahan melepas diri dari jerat jaring. Belum saatnya ia dimakan, tapi sudah kena ambil! Kulihat, disini memang ada lubang-lubang persembunyian. Sepertinya ikan-ikan ini pintar, bersembunyi kala datang jadwal jaring dilebarkan. Padahal, ini kolam tambak khusus pembiakan. Seharusnya hanya ada ikan-ikan muda di sini. Aku berpikir keras, aku harus melakukan sesuatu! Aku memisahkan diri dari Lisa, berenang sedikit ke permukaan.

“SEMUANYA!”

Aku tak menduga bahwa suaraku sekeras itu, semua ikan serentak berhenti berenang, menatapku. Bisa jadi para pekerja ikan bakal mendengar seruan lantangku.

“Kalian bilang kalian beriman! Tapi kalau jaring datang, malah kacau!”

Lisa kulihat masih mencari adik-adikku, sepertinya dia berpikir bahwa dengan aku menghentikan mereka, dia bisa lebih mudah mencarinya. Aku menarik napas. Seingat yang kupelajari di pondok, semua hewan beriman pada Allah. Semoga mereka paham apa yang akan kukatakan.

“Allah menciptakan sebuah makhluk, sudah pasti ada alasannya! Begitu juga kita! Apalagi kalau bukan untuk roda ekosistem kehidupan ini? kita memakan cacing, lumut, lalu mati, begitu? Lebih baik kita ikut andil dalam melestarikan ekosistem, buat diri kalian berguna! Jangan hanya makan, berkembang biak, lalu mati! Lebih baik mati untuk lestari, dari pada hidup untuk sendiri!”

Mata-mata terkagum melihatku berbicara. Jangankan mereka, aku sendiri saja merasa takjub. Kalimat-kalimat itu seakan keluar sendiri dari mulutku, seakan ada dorongan dari dalam. Sepertinya, Levi yang sebenarnya memang orang hebat seperti ini.

“Yang merasa cukup besar, pisahkan diri! Jangan bersembunyi di balik ketiak anak-anak kecil! Kasihan yang terambil! Jadilah jantan dan berani! Jangan kabur jika jaring kemari! Hadapi takdir kalian dan yakin, Allah akan membalasnya dengan yang lebih!”

“WOO!!!”

Seruan-seruan semangat memenuhi kolam. Aku berenang turun, Lisa berenang mendekat dengan lima ikan bandeng mungil yang kuyakin pasti mereka adik-adikku.

“Kak Levi memang yang paling keren!” seru yang tertua.

Aku hanya tersenyum padanya. Maaf, Dik, aku tidak kenal kamu, ya.

“Lalu kamu bagaimana setelah ini, Levi? Kamu benar-benar akan meninggalkan adik-adikmu? Sia-sia sekali ibumu kemari. Ayahmu kudengar sudah dibakar.” Lisa bertanya khawatir.

“Aku harus pergi, Lisa. Aku tidak mau menghindar terus, ini bukan tempatku. Kasihan anak-anak kecil yang terambil karena yang besar bersembunyi. Jaga adik-adikku, ya.” aku balik badan, berenang ke kawanan bandeng besar. Seruan Lisa tidak kuhiraukan.

Entah mengapa di sudut hatiku merasa sangat pedih. Tapi aku tidak boleh lemah, aku harus membuat diriku berguna bagi kehidupan ini.

“Jaring datang!”

Bandeng-bandeng dewasa menyerbu ke depan. Beberapa bandeng betina segera mengarahkan anak-anak bandeng ke tepi. Mata-mata bersedih, isak demi isak terdengar. Aku baru tau, ternyata ikan juga bisa menangis. Aku menatap Lisa dan kelima bandeng kecil tak kukenal yang dia bilang adik-adikku. Seumur-umur, aku tidak pernah membayangkan akan punya adik karena rahim Ibu lemah dan akan beresiko jika harus melahirkan lagi. Pertama kali kurasakan punya adik, kali itu juga aku harus pergi. Bahkan aku belum sempat bertanya namanya satu per satu. Sedih sekali. Lisa kulihat menangis.

Tak disangka, ternyata terlalu banyak bandeng yang masuk ke dalam jaring. Saking beratnya, tali jaring itu putus dan kembali jatuh ke air setelah sempat naik ke permukaan. Aku merasakan sesaknya tidak bisa bernafas, padahal di sekitarku banyak sekali udara. Memengap-pengap kumelompat. Sampai tubuhku kembali jatuh ke air.

“WOO!!!” 

kami bebas. Tapi, baru sebentar kami berbahagia, jaring-jaring baru muncul. Kecil, namun sangat banyak dan kuat tak mudah putus. Sepertinya semua pekerja ikan turun tangan karena melihat kuantitas bandeng dewasa yang banyak tadi. Kekacauan kembali terjadi. Tangan-tangan besar menjatuhkan jaring di seluruh penjuru. Aku sigap membantu anak-anak bandeng bersembunyi ke lubang-lubang, membantu melepaskan diri dari jaring jika tertangkap.

“Mimi, berenang lebih cepat!” Lisa berseru pada adik bungsuku yang berenang menjauh dari jaring yang cepat diangkat.

Aku melesat ke sisinya. “Ayo, Mimi! Kau pasti bisa!”

“Siripku belum sekuat Kak Levi!” cicitnya takut.

Aduh, suaranya lucu sekali! Aku membatin gemas dalam hati. Namanya Mimi, ya? Bagaimana aku bisa membantunya? Masa kutendang dengan ekorku? Jaring ini sudah hampir terangkat ke permukaan. Segera kubanting ekorku ke samping, membuat Mimi terpental melewati tepi jaring.

“Kak Levi!” dia berseru.

Aku tersenyum padanya dan Lisa di sebelahnya sebelum udara menyesakkan dadaku lagi. Yang kulihat terakhir kali hanya kami yang tertangkap dimasukkan dalam box sterofoam yang gelap dan dingin.

***

Aku tersenyum menatap layar laptop. Pengalaman itu mengajarkanku bahwa kita seharusnya membuat diri kita berguna, setidaknya dimulai dari hal-hal yang kecil. Walaupun sedikit aneh, tapi ada hikmah yang bisa kuambil. Setidaknya aku tidak rebahan sepanjang hari. Kalimat Levi si ikan yang keluar lewat mulutku kala itu terngiang-ngiang di kepala tiap kali aku ingin bermalas-malas ria.

“Itu yang ingin kau sampaikan padaku, ya, Levi?”

Aku menatap seekor bandeng di dalam akuarium. Entah mengapa di mataku, dia tampak menjawab “iya” dengan penuh semangat.

“RADIT! BANDENGNYA GOSONG!”

Aku terbelalak, melompat menuju dapur. Aku lupa!