image by isbpanthernation.com
image by isbpanthernation.com

Tiang rumah itu sudah hampir lapuk dimakan rayap. Gentingnya sudah banyak yang menghitam dan sebagian pecah. Dua, tiga, bahkan sepuluh. Akibatnya atap rumah itu menjadi bolong. Hingga tak jarang setiap kali hujan deras mengguyur desa itu, rumah Zulfani kebanjiran air hingga mencapai kurang lebih 20 sentimeter. Lantainya pun menjadi becek karena hanya berupa tanah. Namun Zulfani dan keluarganya tidak pernah mengeluh walaupun mereka hidup berkecukupan. Ia tinggal bersama ibu dan adiknya, Marwa. Kebahagiaan yang bagi mereka telah sempurna untuk disyukuri di surga kecilnya, surga yang berdinding batu separuh bambu turut menjadi saksi hidup Zulfani.

Sejak Zulfani ditinggal pergi ayahnya, ia merasa tertuntut menjadi tulang punggung keluarga. Padahal sudah lama ia membangun taman impian dan cita-citanya untuk menjadi seorang pilot yang bisa mengantar ribuan manusia ke negara-negara di dunia. Terutama negara Mesir yang ia agung-agungkan semasa kecilnya. Negara yang dihiasi dengan berbagai bangunan piramida. Tidak hanya itu impian Zulfani. Ia juga ingin mengunjungi negara-negara tempat tinggal para nabi, termasuk Mekkah dan Madinah, sekaligus bisa menunaikan ibadah haji bersama keluarganya. Zulfani bena-benar yakin mimpinya akan terwujud, asalkan ia mau belajar keras dan tekun, seperti yang telah diajarkan almarhum ayahnya.

Namun nasib Zulfani tidak sampai di gerbang SMA. Padahal waktu ia masih duduk di bangku SMP, ia selalu mendapatkan penghargaan lomba mata pelajaran yang ia sukai, yaitu fisika. Harapannya ia bisa melanjutkan belajarnya menekuni bidang itu agar bisa sampai ke jenjang universitas, melanjutkan serangkaian keinginan yang ia rencanakan sejak dulu. Dan takdir telah menghapus semua harapannya. Lebih-lebih lagi setelah ayahnya pulang menghadap Ilahi. Terpaksa ia kubur dalam-dalam semua impian dan cita-citanya itu. Semangatnya tak lagi menggelora. Ia benar-benar tak berani untuk bermimpi lagi. Semuanya ia hapus kuat-kuat dari otaknya. Berusaha tegar menyambut kewajiban walau usia masih remaja. 

“Zul, Ibu lebih senang kalau kamu mondok di pesantren. Ibu dengar dari pamanmu, katanya ada beasiswa khusus untuk anak yatim di sana. Mungkin cuma biaya makanmu sehari-hari yang perlu bayar. Kalau uang buku dan spp akan ditanggung pesantren.”

Zulfani tak habis pikir akan nasihat dari ibunya. Baginya, ia lebih baik sekolah SMA atau bila tak mampu, ia lebih baik bekerja saja dibandingkan harus menetap diri di lingkungan pesantren. Sebuah kehidupan yang tak pernah terlintas dalam benak Zulfani. Kehidupan dibalik jeruji suci. Menjadi seorang santri, bukanlah cita-citanya. Malah ia tidak mau dan tidak akan pernah betah hidup di tempat yang dipenuhi banyak peraturan dan jadwal yang padat menurutnya.

“Tidak apa-apa, Bu. Biar Zul bekerja saja. Supaya bisa membiayai kehidupan Ibu dan Marwa. Izinkan Zul menjadi pengganti ayah, Bu.”

“Jangan, Nak. Lanjutkan sekolahmu. Dan Ibu ingin kamu mau menjalankan nasehat Ibu. Ibu ingin kamu juga memperdalami ilmu agama. Dan Ibu ingin yang terbaik buat kamu. Tak usah kamu pikirkan biaya keluarga apalagi sekolahmu. Ibu akan serahkan semuanya pada pamanmu, Hasbi untuk mengurus pendaftarannya.”

Sejenak Zulfani diam mendengarkan tawaran ibunya. Watak Zulfani memang begitu. Walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu, tak langsung dimuntahkannya. Dan ia tak bisa lagi berkata apa-apa. Zulfani memilih untuk berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.

Ia tak ingin menyusahkan sekaligus tak ingin mengecewakan ibunya. Bagi Zulfani, hidup di pondok pesantren itu tidak membuka kebebasan. Tak bisa berpikir bebas dan luas karena sudah terikat penuh dengan peraturan. Belum lagi harus jauh-jauh berpisah dari sanak keluarga. Ia tak sanggup menanggung beban rindu bila lama-lama tak bertemu, terutama dengan sang ibu. Tapi Zulfani tak bisa membantah ibunya untuk yang kedua kali. Ia masih teguh dengan pelajaran yang ayahnya berikan, “patuhilah titah orang tua selama itu adalah hal kebaikan.”

Rupanya kekuatan nasehat ayah Zulfani membuat ia berubah pikiran. Perlahan-lahan ia mengubah semua rencananya dengan apa yang dipilih ibunya. Lebih-lebih lagi ketika ia tahu kalau di pondok pilihan ibunya itu memang ada beasiswa khusus untuk santri yang kurang mampu. Zulfani mulai merasa ada kesempatan dan peluang besar untuk bisa masuk ke pesantren itu, yang tempatnya di kabupaten Nganjuk. Pondok Pesantren Sulaimaniyah namanya. Ia sudah didatangi pamannya tiga kali yang akan mengirimnya ke pondok itu.

Walau Zulfani merasa kurang yakin, namun berkat bujukan ibu dan pamannya membuat hati Zulfani tergerak untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Lagi pula benar kata ibunya, pelajaran agama itu harus lebih diutamakan disamping pelajaran umum. Dan di dalam pikiran Zulfani, jika sekolah di SMA belum tentu bisa mendapatkan beasiswa penuh selama tiga tahun, tapi di pesantren pilihan pamannya sudah menjamin mendapat beasiswa.

***

Pagi itu, sekitar jam 05.00 Zulfani sudah bersiap pergi meninggalkan tanah kelahirannya, tanah garam di pulau Madura. Dengan berat hati ia pergi meninggalkan ibu dan adiknya. Hati Zulfani seperti diremas-remas oleh tuntutan kehidupan. Ia kini harus belajar tabah dan berpikir dewasa sebagai seorang laki-laki, berkuat hati demi menjalani tujuan mulia menuntut ilmu meskipun bukan pilihannya sendiri.

“Jaga diri baik-baik ya, Nak. Patuhi gurumu. Dan jangan lupa shalat lima waktu.”

Pesan singkat ibunya membuat Zulfani semakin semangat menempuh perjalanannya. Sebuah pesan mulia dan berharga dari pemata.

“Doakan Zul, ya, Bu.” Sebuah cairan embun tiba-tiba merayap di pipi Zulfani.

“Jangan nagis, Nak. Ya, Ibu selalu mendoakanmu. Hasbi, titip anakku ya!”

Paman Zulfani mengangguk, “Ya, mbak.”

Langit tampak termenung memandang isak mereka. Daun-daun yang berjatuhan dari rantingnya juga merasa iba menyaksikan skenario yang mengharukan itu. Kepergian Zulfani dari kampung halamannya membuat muram durja dan duka di sekitarnya. Hujan tiba-tiba turun mendadak saat ia dan pamannya telah sampai di jembatan Suramadu. Jembatan yang menghubungkan Kota Surabaya dengan Pulau Madura. Di sepanjang jalan, hujan tak jua berhenti, menggambarkan suasana hati Zulfani yang sedang diliputi kebimbangan, ketakutan, dan kecemasan. Akankah ia akan diterima di sana? Di sebuah pesantren yang sama sekali tidak ia inginkan? Akankah impian dan cita-cita Zulfani bersemi lagi setelah ia kubur dan buang jauh-jauh angan-angannya hingga takut merajutnya kembali? 

***

Satu tahun telah berlalu. Kini Zulfani telah nyaman hidup di dunia pesantren. Ia teringat ketika pertamakali menginjakkan kaki di Pondok ini adalah hal yang tak pernah disangka-sangkanya, kalau ia akan dikirim pamannya ke Pondok Tahfidzul Qur’an. Apalagi ibunya, yang dari awal tidak pernah menceritakan hal ihwal pondok itu kepada Zulfani. Awalnya ia merasa sangat tertekan, kalau akan menghadapi tantangan menghafal Al-Qur’an. Dan setelah ia jalani dengan sabar dan ketekunannya, ia bisa menjalankannya. Dan kini Zulfani telah menghafal 15 juz. Tak terbayangkan! Hanya dalam waktu satu tahun, itu pun tidak sampai, ia sudah mampu menghafal Al-Qur’an secepat itu. Dan akhirnya Zulfani dicatat sebagai santri paling cerdas di pondoknya. Tampaknya ingatan Zulfani begitu kuat dibandingkan teman-temannya.

Pamannya juga tak menyangka kalau keponakannya itu akan menjadi santri yang paling cepat menghafal di pondoknya. Tak sia-sia ia kirimkan Zulfani ke pondok dekat rumahnya. Ia juga merasa berbangga hati telah membujuknya pergi dari tanah kelahirannya. Dan setiap kali ibu Zulfani menelfon, pamannya selalu menceritakan pengalaman dan kegiatan Zulfani selama di pondoknya.

“Tahun depan pendaftaran beasiswa tahfidz ke Turki dibuka. Di sana kalian akan belajar gratis selama 3 tahun. Tapi syaratnya santri yang akan dikirim sudah khatam 30 juz, dan bisa menjalani beberapa tes untuk bisa lolos. Dan ingat, peserta yang lolos hanya 25 orang. Selamat berjuang anak-anakku.” Kata Ustadz Amran seraya menutup pelajaran sore hari itu.

Semua santri bersorak dan mengangkat tangannya ke langit. “Allahu Akbar!” Suara riuh menggema ruang kelas Zulfani. Tampaknya ia juga larut dalam kobaran semangat teman-temannya.

“Ini kesempatan besar kawan.” Kata Alif, teman sebangku Zulfani.

“Semoga apa yang kita cita-citakan terwujud, dan Allah meridhainya.” Sambung Zulfani.

“Amin….” Suara serentak terdengar kompak memenuhi ruang kelas.

***

Waktu berputar begitu cepat. Kabar pendaftaran beasiswa itu telah merebak ke berbagai penjuru pesantren. Semua santri kelas XI begitu sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti tes-an yang amat besar itu. Selain sudah khatam 30 juz, mereka juga dites berbahasa Arab dan Inggris dengan baik. Walau itu terasa tidak terlalu sulit bagi Zulfani, namun yang ditakuti ketika berbicara bahasa Inggris. Kelemahan Zulfani rata-rata berbeda dengan dengan teman-temannya yang lain meskipun daya ingatnya lebih kuat. Dan ia tahu, semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Tapi Zulfani tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.

Ujian yang berlangsung selama 2 hari itu diikuti oleh peserta sebanyak kurang lebih 300 orang. Keyakinan Zulfani nol besar. Ia merasa tak bisa lolos. Bagaimana tidak? Peserta yang diambil hanya 25 orang. Kini ia harus pasrah dan harus ikhlas menerima dengan lapang dada begitu pengumuman jam 12 siang nanti dimulai. Zulfani kini hanya bisa berdoa dan bersujud lama-lama di masjid. Teman-temannya mencari-cari keberadaan Zulfani yang kini entah dimana.

“Sudah, Nak. Jangan terlalu dipikirkan. Kegigihanmu itu sudah sangat membuat ibu bahagia. Ibu bangga kamu sekarang bisa menghafal Al-Qur’an. kelak, kamu bisa memberikan mahkota kemuliaan untuk almarhum ayahmu, juga ibumu di akhirat nanti. Itu yang lebih utama, Nak.” Ucap ibunya ketika hendak menghibur Zulfani setelah ia tak lolos dari ujiannya.

Zulfani menjawab disertai tangisan, “Ibu… Maafkan Zul, ya, Bu kalau Zul tak bisa bahagiakan ibu.”

Sementara ibunya memeluk erat tubuh Zulfani seakan-akan tak mau kehilangan anak sulungnya itu. Air mata Zulfani mulai deras. Ia benar-benar tak berdaya.

“Ikhlaskan ya, Nak. Ibu akan pergi untuk menjemputmu kelak di surga.”

Zulfani tiba-tiba terkejut setelah mendengar suara lirih teakhir ibunya. Ia tidak berhasil mengikuti tes ke Turki. Ia gagal. Ketika ia mulai membuka matanya berat, sisa air matanya mengenai lengan kemejanya. Ia lalu bangun dan duduk sekuat tenaga. Kini ia sadar, ia hanya bermimpi. “Ya Allah…,” keluhnya seketika. Zulfani masih merasa ada keanehan besar setelah ia terbangun dari mimpinya. Ia benar-benar mengeluarkan air mata. Jam menunjukkan angka 12.30. Tiba-tiba…

“Zul…! Zulfani…!” Suara teriakan yang tak asing mengejutkan Zulfani yang baru bangun. Rizqi, teman sekelasnya tampak berlari-lari kegirangan memasuki area masjid. Zulfani tak mengerti dengan tingkah temannya itu.

“Ada apa, Qi?” Tanya Zulfani yamg ikut panik.

“Zul, kabar baik Zul. Doamu didengar Allah Zul. Kamu lolos!” Teriak temannya yang berkacamata merah itu. 

“Apa?” Zulfani tak kaget tanda tak percaya.

“Ya. Ayo kalau kamu tidak percaya ikut aku ke papan pengumuman.” Ajak Rizqi kemudian menggandeng tangan Zulfani erat-erat.

Nafas Rizqi masih terengah-engah setelah ia berhasil menemukan keberadaan Zulfani. Nama Zulfani benar-benar ada di papan pengumuman itu. Terdapat di nomor urut 12. Ia lolos! Suara teriakan teman-teman sekelasnya kemudian berkumpul mendekat ke arah mereka lalu menggendong Zulfani dengan riangnya. Melemparkan tubuhnya ke udara. Dan itu dilakukan berkali-kali. Pantas saja. Zulfani adalah satu-satunya siswa di kelas mereka yang lolos ujian ke Turki.

“Turki… Zul datang…!” Teriak Alif yang turut bangga dengan teman sebangkunya itu. Hati Zulfani bergetar dan hampir tak berdaya. Ia sangat bersyukur walaupun negara yang akan ia kunjungi bukan Mesir, negara yang ia impikan saat masih kecil.

***

Dua bulan setelah Zulfani dan kedua puluh empat temannya menjalani proses karantina, seminggu lagi mereka akan berangkat bersama Kiyai  yang mengantarnya dan beberapa ustadz pendamping selama perjalanan. Ke-dua puluh lima peserta yang lolos itu diberi kesempatan pulang ke kampung halaman untuk pamit pada keluarganya.

Zulfani disambut gembira oleh masyarakat sekampung. Semua tetangganya menggeleng-geleng tak percaya. Bagaimana mungkin, seorang anak yang ekonominya menengah ke bawah itu mendapatkan keberuntungan besar dan mulia, berkat syafaat Al-Qur’an bisa membimbingnya ke negeri impian banyak orang, berkesempatan belajar dengan beasiswa prestasi yang diraihnya. Ibu dan adik Zulfani menangis terharu. Dan sejak saat itu, Zulfani mulai berani bermimpi kembali dan sepenuhnya percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya bagi yang mau berusaha dan berdoa serta berserah diri kepada-Nya.