image by junioris.weebly.com
image by junioris.weebly.com

Agama di satu sisi merupakan sebuah penghayatan, kepercayaan atau keyakinan (keimanan) secara personal. Demikian di sisi lain,  agama memiliki dimensi sosio-kultural sebagai perwujudan dari perilaku pemeluk agama dan berpengaruh terhadap realitas sosial serta melahirkan beragam sikap dan perilaku keagamaan.

Secara normatif, ia mencakup doktrin atau ajaran-ajaran ketuhanan  sebagaimana tercantum dalam teks keagamaan yang diyakini dan terinternalisasi, sehingga terbentuk ritual dan pelbagai simbol-simbol keagamaan. Kendati demikian, pembahasan ini tidak akan secara mendalam membahas doktrin agama, melainkan hanya menyinggung terkait fenomena keagamaan yang lahir dari pemahaman agama namun agaknya paradoksal dengan spirit nilai-nilai agama (yang semestinya).

Fenomena pertama, Cassirer (1945) menyebut bahwa manusia merupakan animal symboliicum sebagai asumsi dasar dalam paradigma antropologi interpretatif. Demikian karena manusia tidak pernah terlepas dari simbol-simbol dan interaksi simbolik. Dalam fenomena umum, simbol-simbol membentuk suatu identitas masyarakat, sebagaimana simbol keagamaan membentuk identitas keagamaan, kemudian berangsur-angsur menciptakan status sosial di masyarakat.

Tentu benar bahwa hal itu sudah menjadi sebuah keniscayaan, karena manusia memiliki kecenderungan untuk terus berkembang. Namun, ketika landasannya adalah nilai-nilai agama, tentu ada distorsi nilai. Semisal bagaimana melihat fenomena ketika pembangunan masjid megah menjadi sebuah kebanggaan tetapi masyarakat di sekitarnya masih banyak yang ekonominya menengah ke bawah.

Ada masjid megah ditengah perkampungan kumuh. lalu pertanyaannya, apakah kesalehan masyarakat diukur seberapa megah rumah Tuhan yang kita bangun? Ada pula masjid yang didesain terlalu megah sehingga seolah hanya menerima pemeluk agama kelas elite. Bahkan diberlakukan jam-jam tertentu untuk menjaga kebersihan dan kekondusifan area masjid. Sejak kapan masjid seolah hotel bintang lima sehingga hanya menerima golongan konglomerat?

Fenomena kedua, penggunaan teks Al-Qur’an (selanjutnya disebut teks) dalam fungsi performatifnya, juga mengalami kesalahan pemahaman dan kehilangan esensi. Pemaknaan terhadap teks yang beragam menjadikan implementasi dari pemaknaan tersebut turut beragam di masyarakat, terutama apabila pemaknaan teks mengalami tranformasi, sehingga penghayatan makna al-Qur’an akan hanya menyisakan simbol semisal penggunaan teks sebagai jimat tanpa memahami makna kontekstual dari suatu ayat.

Penggunaan teks sebagai obat bahkan dalam tradisi-tradisi yang memakai teks hanya menyisakan tradisi secara formal-simbolis tapi kering makna dan tidak dipahami oleh subjek itu sendiri. Lalu nilai-nilai teks yang mana yg diupayakan hidup di tengah masyarakat atau yg hendak diinternalisasikan dalam perilaku keberagaman masyarakat?

Distorsi nilai yang demikian lahir dari pemahaman simbolik dan interaksionisme simbolik yang hidup di masyarakat. Pemahaman semacam ini sudah mengakar dan akut di masyarakat. Seolah selainnya adalah salah dan yang melenceng itu liberal. Agama seolah tertutup sehingga integrasi dan kontekstualisasi terhadap nilai-nilai sudah tidak laku di masyarakat. Mungkin, hal itu menjadi salah satu indikator masyarakat  yang demikian menjadi sasaran empuk aliran garis keras. Sehingga keangkuhan dan ke-aku-an lebih dominan dibandingkan kemanusiaan dan kedamaian.

Demikian tulisan ini, bukan berarti cukup sekian persoalan yang terjadi. Namun, masih banyak sekali realita yang memilukan di sekitar kita yang akan membuat kita tersadar bahwa ini merupakan pertanda akhir zaman, lalu kita akan saling mengingat dosa dan teringat bahwa selama ini kita terjebak dalam kesadaran palsu. Sungguh, Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.