image by news.detik.com
image by news.detik.com

Kasus bom bunuh diri yang terjadi beberapa waktu lalu di Gereja Katedral Makassar masih menyimpan persoalan problematis di tengah kemajemukan kita. Meskipun kasus tersebut bukan tergolong baru, namun dampaknya masih bisa kita rasakan sampai hari ini, dan menjadi bukti bahwa masyarakat kita masih belum bisa mencapai toleransi sosial satu sama lain. Kasus tersebut masih menjadi tanda tanya besar bagi kita. Bukan karena jenis rakitan bom atau efek seberapa besar radius ledakan bom itu datang, namun alasan pelaku kiranya lebih menarik untuk diuraikan, serta sebagai upaya dalam menjawab kegelisahan masyarakat atas teganya pelaku melancarkan aksi terorisme seperti itu.

Sebenarnya aksi terorisme tidak hanya terjadi dalam bentuk bom bunuh diri saja, namun lebih luas dari itu. Mengutip dari Cambridge Dictionary, terorisme adalah “(threats of) violent action for political purposes”. Terorisme adalah suatu ancaman dalam bentuk kekerasan dengan tujuan politik. Artinya, segala bentuk ancaman yang melibatkan tindakan kekerasan dalam melancarkan tujuan politik bisa disebut dengan aksi terorisme.

Analisis Crenshaw (1981) tentang bentuk terorisme cukup luas. Menurutnya, terorisme bisa berupa tindakan revolusioner, reformis, perlawanan kaum nasionalis terhadap kolonial, perlawanan separatis minoritas terhadap warga pribumi, dan anarkisme.

Secara umum, dalam mempelajari terorisme kita akan dihadapkan pada tiga persoalan utama; kenapa terorisme terjadi? bagaimana proses terjadinya terorisme? serta bagaimana dampak terorisme terhadap ranah sosial dan politik masyarakat kita? (Crenshaw, 1981). Tulisan ini akan difokuskan pada poin pertama, tentang alasan pelaku terorisme melakukan tindakan yang sangat merugikan semua pihak tersebut. Untuk menguraikannya, saya ditemani oleh beberapa temuan hasil riset dari beberapa peneliti nasional maupun internasional.

Riset sistematik review kolaboratif yang dilakukan oleh Matteo Vergani, Muhammad Iqbal, Ekin Ilbahar, dan Greg Barton pada tahun 2018 mencatat bahwa aksi radikalisme dan terorisme didorong oleh beberapa faktor, seperti deprivasi relatif kelompok tempat pelaku bernaung, adanya ketidakadilan, marginalisasi dari lingkungan sosial atau pemerintah, terpisah secara sosial, frustasi, menjadi korban dari tindakan yang merugikan, serta memperoleh stigma dari lingkungan sekitar (Vergani, dkk, 2018).

Dalam temuannya yang dimuat dalam jurnal Studies and Conflict Terrorism tersebut, Vergani, dkk (2018) mengungkapkan bahwa terorisme dalam bingkai jihadis lebih sering disebabkan oleh rasa frustasi dan ketidakadilan yang selama ini mereka peroleh dari kebijakan luar negeri (negara barat) di negara-negara yang dihuni mayoritas muslim, seperti perang yang terjadi di Afghanistan.

Tindakan represif dari negara juga berkontribusi dalam memunculkan aksi terorisme dalam riset tersebut. Hal ini terjadi terutama di beberapa negara seperti Indonesia, India, Israel, Tanzania, negara-negara Timur Tengah, Afrika Utara, serta Rusia dan negara-negara pasca-komunis. Di negara barat, terorisme yang disebabkan oleh tindakan represif pemerintah terjadi di Denmark yang dilakukan oleh kelompok anarkis sayap kiri, serta tindakan radikalisasi jihadis di beberapa penjara di Prancis dan Inggris.

Temuan dari Sajid Haider, Carmen de Pablos Heredero, Munir Ahmed, dan Sumaira Dustgeer juga membenarkan riset di atas, bahwa di Timur Tengah, terutama di Pakistan, penyebab terorisme juga berakar dari peran pemerintah, seperti kurangnya penegakan hukum dan cenderung memfasilitasi keterlibatan asing dalam negaranya. Meski demikian, faktor seperti kemiskinan dan pengangguran turut terlibat dalam melancarkan agenda terorisme domestik maupun transnasional di Pakistan (Haider, dkk, 2015).

Hampir mirip, penelitian oleh Kevin B. Goldstein dari perguruan tinggi Dartmouth College juga mengkonfirmasi bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan tingkat pengangguran orang dewasa bisa meningkatkan motivasi seseorang untuk melancarkan aksi terorisme (Goldstein, 2005).

Riset Vergani, dkk, (2018) mengungkapkan bahwa faktor pengangguran juga berkaitan dengan tindakan radikalisme. Kedua domain tersebut (pengangguran dan radikalisme) dapat dijelaskan dalam dua cara. Pertama, pengangguran dapat memunculkan frustasi yang kemudian mudah menyulut amarah seseorang dalam melancarkan aksi tersebut. Kedua, seseorang yang pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan lebih rentan masuk ke dalam jaringan kelompok-kelompok ekstrimis. Selain itu, tingkat Pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang dapat memprediksi aksi terorisme. Hal ini terjadi karena Pendidikan yang rendah dikaitkan dengan pengetahuan yang minim tentang aspek moralitas kehidupan, yang selanjutnya juga berhubungan dengan kondisi kognitif manusia yang menjadi controller atas apa yang akan diperbuat.

Riset yang berbeda oleh James A. Piazza dari The Pennsylvania State University menjelaskan bahwa berbagai macam berita palsu (fake news) dan disinformasi yang berseliweran di internet dan media sosial dapat meningkatkan tindakan terorisme di sebuah negara. Riset yang terbit di jurnal Dynamics of Asymetric Conflict tersebut telah dilakukan sejak tahun 2000 sampai 2017 yang telah melibatkan sekitar 150 negara dalam data penelitiannya (Piazza, 2021).

Di Indonesia, aksi terorisme seperti bom bunuh diri dianggap telah terjadi dan mulai marak pada tahun 2000 ke atas. Penelitian kolaboratif yang diketuai oleh Sarlito Wirawan Sarwono bersama tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tidak menemukan kontribusi dari gangguan psikologis dalam mendorong pelaku bom bunuh diri. Artinya, pelaku terorisme bukan orang penyandang sakit jiwa dan gangguan kepribadian. Mereka pada dasarnya manusia normal biasa seperti kita kebanyakan (Sarwono, 2012).

Bertolak belakang dengan temuan di atas, Andrew Silke dalam bukunya “Terrorists Victims and Society: Psychological Perspectives on Terrorism and Its Consequences” mencatat bahwa seorang teroris dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis seperti psikopatologi. Menurutnya, pada tahun 1970-an, teroris diyakini secara luas telah mengalami gangguan mental dan kepribadian (Silke, 2003).

Dalam temuan penelitiannya, Sarlito bersama tim mencatat bahwa alasan pelaku melakukan aksi bom bunuh diri salah satunya karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sebelum bergabung dalam kelompok ekstrimis, seseorang diajak oleh kenalan atau atas dasar perintah senior untuk terlibat dalam belajar keislaman. Beberapa motif lain dari pelaku aksi bom bunuh diri dapat berupa ikut-ikutan membantu teman tanpa mengetahui tujuan dari apa yang dilakukan, ingin mengenal Islam lebih jauh, mendengarkan ceramah yang berkenaan dengan jihad membela Islam dari ustadz-ustadz tertentu, dikhianati oleh teman, ingin balas dendam terhadap umat Kristen, serta untuk mengorbankan jiwa demi Islam.

Lebih jauh, Sarwono (2012) juga menjelaskan pelaku dari aspek kognitif. Menurutnya, pelaku aksi bom bunuh diri cenderung memiliki pikiran yang sempit, tingkat Pendidikan yang rendah, dan tidak memiliki pengetahuan lain yang berguna sebagai pembanding dari pikiran jihad yang selama itu mereka tekuni. Pelaku jika ditinjau dari aspek ekonomi, mereka rata-rata termasuk ke dalam kategori ekonomi kelas menengah ke bawah, dan cenderung tidak memiliki pekerjaan yang tetap, sehingga keputusan untuk bergabung dengan kelompok ekstrimis menjadi keputusan yang tepat baginya, yang di sisi lain manisnya janji-janji secara finansial yang ditawarkan oleh pentolan kelompok tersebut sangat menarik baginya.

Lebih jauh, peneliti dari University of Maryland, AS, yang terdiri dari Arie W. Kruglanski, Xiaoyan Chen, Mark Dechesne, Shira Fishman, dan Edward Orehek menganalisis motif yang dilakukan oleh pelaku bom bunuh diri. Dalam temuannya, mereka mencatat bahwa seseorang cenderung melakukan aksi tersebut karena pernah mengalami trauma, penghinaan, dan cenderung dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Faktor ideologi juga berperan besar dalam mendorong perilaku tersebut, seperti guna membebaskan kelompok se-ideologi dari penjajahan asing serta melakukan aksi bom bunuh diri sebagai pembelaan atas negara atau agama yang dianutnya (Kruglanski, dkk, 2009).

Dalam konteks di wilayah Afrika, terorisme biasanya terjadi karena beberapa sebab. Hal tersebut diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Robert L. Feldman yang terbit di jurnal Defense & Security Analysis. Menurutnya, berbagai aksi terorisme di Afrika disebabkan oleh kemiskinan, ketidakadilan, penyakit, perang, kejahatan, gesekan antar etnis, dan semakin minimnya warga asli. Kondisi demikian memicu pencarian jalan alternatif bagi mereka, dan berafiliasi dengan jaringan terorisme adalah pilihan yang tepat (Feldman, 2009).

Boko Haram, salah satu organisasi jihadis yang bermarkas di Nigeria Timur Laut, Afrika, dianggap sebagai salah satu organisasi yang menghendaki tindakan terorisme. Dari paparan hasil penelitian oleh Adesoji O. Adelaja, Abdullahi Labo dan Eva Penar, masyarakat setuju bahwa yang menjadi alasan Boko Haram melakukan aksi tersebut adalah faktor pengangguran, kemiskinan, masalah ekonomi, kebencian terhadap pemerintah, ideologi politik ekstrim yang dimilikinya, religiusitas yang ekstrim, dan sempat tercium ada indikasi campur tangan beberapa politisi terhadap organisasi tersebut (Adelaja, Labo, & Penar, 2018).

Dari beberapa paparan temuan hasil penelitian di atas, rata-rata pelaku terorisme lebih dominan terjadi pada orang dewasa yang notabenenya cukup matang dalam memahami perilaku moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Namun uniknya, pelaku terorisme tidak hanya selalu terjadi pada lingkaran orang dewasa saja, namun akhir-akhir ini sudah mulai terjadi pada remaja dan anak usia dini.

Keterlibatan remaja dalam tindakan aksi terorisme dibenarkan dalam tulisan Sarwono (2012). Meskipun tidak sampai pada aksi terorisme secara nyata, namun doktrin-doktrin menuju pada tindakan tersebut sudah mulai menggerogoti sekolah-sekolah. Pada tahun 2011, Bambang Pranowo dari UIN Jakarta sudah melakukan penelitian tentang meluasnya pengaruh radikalisme ke SMP dan SMA. Dalam temuannya, Sebanyak 48,90% siswa menyatakan bersedia ikut aksi kekerasan terkait agama dan moral.

Remaja yang rentan berisiko mengalami radikalisasi juga dibenarkan oleh penelitian Alice Oppetit bersama timnya. Penelitian yang menggunakan studi cross-sectional tersebut juga menegaskan bahwa dibandingkan pelaku orang dewasa, pelaku anak di bawah umur dan remaja cenderung didominasi oleh perempuan dan sebelumnya cenderung memiliki riwayat menyakiti diri sendiri sebelum terdoktrin ke dalam radikalisme (Oppetit, 2019).

Motif atau faktor pendorong munculnya tindakan radikalisme dan terorisme pada umumnya cukup bervariasi. Namun kita juga harus memperhatikan kondisi demografis antar wilayah, peran pemerintah dalam sebuah negara, kondisi sosial-budaya masyarakat sekitar, kondisi ekonomi dalam keluarga, serta kondisi psikologis individu. Beberapa domain tersebut sejauh ini menggambarkan penyebab munculnya aksi terorisme dari riset-riset yang sudah ada, dan tentunya masih cukup terbuka untuk berubah seiring bertambahnya waktu dan adanya riset-riset terbaru.

Melihat dinamika terorisme dari motif pelaku, menarik kiranya jika upaya deradikalisasi berfokus pada pelaku. Upaya preventif ini diperlukan agar dapat meminimalisir munculnya orang-orang baru korban dari doktrin beringas golongan ekstrimis. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan kita, bahkan dengan orang terdekat kita. Namun kita berhak berperan sebagai controller atas segala sikap dan tindakan kita, agar tidak mudah tergiring menuju opini timpang. Kita juga perlu memiliki pemikiran atau pengetahuan pembanding, sebagai upaya mencegah dari jeratan dalil-dalil intoleransi.

Sumber:

Adelaja, A. O., Labo, A., & Penar, E. (2018). Public Opinion on the root causes of terrorism and objectives of terrorists: A Boko Haram Case Study. Perspective On Terrorism, 12(3), 35-49.

Crenshaw, M. (1981). The Causes of terrorism. Comparative Politics, 13(4), 379-399. doi:10.2307/421717

Feldman, R. L. (2009). The root causes of terrorism: Why parts of africa might never be at peace. Defense & Security Analysis, 25(4), 355–372. Doi 10.1080/14751790903416707

Goldstein, K. B. (2005). Unemployment, inequality and terrorism: Another look at the relationship between economics and terrorism. Undergraduate Economic Review, 1(1). Bisa diakses di http://digitalcommons.iwu.edu/uer/vol1/iss1/6

Haider, S., de Pablos Heredero, C., Ahmed, M., & Dustgeer, S. (2015). Identifying causes of terrorism in pakistan. The Dialogue, 10(3), 220-236.

Kruglanski, A. W., Chen, X., Dechesne, M., Fishman, S., & Orehek, E. (2009). Fully committed: Suicide bombers’ motivation and the quest for personal significance. Political Psychology, 30(3), 331-358.

Oppetit, A., Campelo, N., Bouzar, L., Pellerin, H., Hefez, S., Bronsard, G., Bouzar, D., & Cohen, D. (2019). Do radicalized minors have different social and psychological profiles from radicalized adults? Frontiers In Psychiatry, 10, 1-7. Doi 10.3389/fpsyt.2019.00644 

Piazza, J. A. (2021). Fake news: The effects of social media disinformation on domestic terrorism. Dynamics of Asymmetric Conflict. Doi 10.1080/17467586.2021.1895263

Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di indonesia dalam tinjauan psikologi. Jakarta: PT Pustaka Alvabet.

Silke, A. (2003). Becoming a terrorist. Dalam A. Silke (Ed.), Terrorists Victims and Society: Psychological Perspectives on Terrorism and Its Consequences. West Sussex, UK: John Wiley & Sons Ltd.

Vergani, M., Iqbal, M., Ilbahar, E., & Barton, G. (2018). The 3 ps of radicalisation: Push, pull and personal. A systematic scoping review of the scientific evidence about radicalisation into violent extremism. Studies in Conflict and Terrorism, 43(10),