image by
image by Gabriel Santos via Pexels

Pernahkah kalian merasa bahwa segalanya jadi serba salah? Begitulah parameter dunia hari ini. Keadaan menuntut Anda harus berbuat A sementara di sisi lainnya menuntut Anda bertahan dengan B. Pada opsi lain (C), kita tidak pernah mengenalnya, opsi itu selalu terlewat. Opsi  yang seharusnya dipilih terkadang hadir, lalu hilang, hadir kembali, hilang lagi, dan hadir, kemudian hilang kembali, saat bersamaan hadir kembali. Seketika semuanya berlangsung di hamparan pikiran, psikologis, orientasi, dan sikap kita. Praktisnya, segalanya menjadi lebih cepat, dan harus cepat.

Dalam bukunya Speed & Politics (1987), Paul Virilio menyatakan, lenyapnya ruang materi menggiring kita ke arah penguasaan waktu semata. Kebrutalan kecepatan telah menjadi tujuan sekaligus takdir dunia.

Kultus kecepatan  menjadi orientasi akhir dalam bermasyarakat. Kita tanpa daya upaya melawannya, karena kecepatan itu sendiri ialah konsep berkehidupan yang “disepakati” bersama hari ini, baik secara sadar ataupun tidak.

Dalam skala makro, kita bisa melihat dalam kebijakan pemerintah. Misalnya, pemindahan ibu kota, konsep investasi, rencana penarikan pajak, perencanaan omnibus law, penanganan teroris, dan pengondisian kesehatan. Semua kebijakan itu selalu dibungkus kosa kata “percepatan”.

Untuk skala mikro yang lebih spesifik, kita bisa melihat jargon “cara cepat investasi”, “membaca kilat”, “kiat cepat menulis”, “percepat pelayanan”, “printing kilat”, one day service, “sehari sampai”, “flash sale”, “cuma hari ini”, dsb.

Semua jargon konsumsi dan kosa kata kebijakan hadir silih berganti, menimbun, berkeliaran, membanjiri kebutuhan dan pikiran kita. Ekstasi seperti itu melingkari semuanya tanpa memberi celah untuk sekadar duduk menepi. Karena menepi atau melambatkan gerak dalam ruang ekstasi, akan menjadi masalah  besar yang serius. Kita memang harus berlari sampai entah di mana. Menghadapi banalitas pikiran, psikologis, orientasi, dan sikap. Ini ciri khas dari masyarakat industri 4.0.

Jadi, kecepatan, kini tidak saja menjadi ukuran kemajuan, ia bahkan menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, dan kehidupan kontemporer. Paul Virilio (1932-2018) menyebut ilmu pertumbuhan cepat ini dengan dromologi (berasal dari bahasa Yunani, dromos artinya kecepatan, dan logos artinya semesta pengetahuan). Singkatnya, semua aspek kehidupan dewasa ini berparadigma kecepatan.

Kultus Kecepatan

Bila kita tengok lebih dalam, paradigma perkembangan teknologi (informasi) yang begitu cepat inilah yang mewadahi kultus kecepatan. Logika kecepatan diadopsi atas nama kemajuan. Bagi Virilio, revolusi industri pada hakikatnya tak lebih dari revolusi dromokatik-revolusi kecepatan.

Masyarakat industri 4.0 menjadikan kecepatan sebagai parameter tunggal. Semua aktifitas bermasyarakat tersentralisasi atas parameter tersebut. Akibatnya kita terbawa pada kondisi “piknolepsi”, yaitu kondisi keseringan, penumpukan, dan tingginya frekuensi kemunculan citra, yang menggiring pada kemabukan. Jadi, tidak heran bila kita sering merasa bingung harus bagaimana.

Lebih konkret dari itu, dapat dilihat pada program pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Program itu jelas diambil atas dasar percepatan. Tidak akan pernah bisa ditawar, direvisi, apalagi ditolak oleh rakyat. Padahal, kita sama-sama tahu bahwa program tersebut belum pernah menjadi diskusi publik yang luas dan hangat yang melibatkan seluruh elemen warga.

Kebijakan lainnya juga sama. Terakhir, pemerintah malah berencana memberlakukan pajak pada sektor kebutuhan pokok, sekolah, dan persalinan. Atas nama percepatan pondasi keuangan negara, pemerintah merencanakan itu. Di satu sisi sebelum-sebelumnya, pemerintah mengatakan sektor usaha kecil menjadi pembangkit utama ekonomi bangsa. Jadi antara kebijakan dan harapan tidak pernah sinkron. Semua terjadi karena orientasi kebijakannya ialah percepatan.

Kecepatan telah menjadi kata sakral yang dipakai oleh rezim. Kalau kita menggunakan kacamata Virilio, kecepatan selalu beriringan dengan “risiko kecelakaan”. Risiko kecepatan inilah yang jarang dipikirkan. Gampangnya, ketika Anda memaksa abang ojol untuk lebih cepat, risiko kecelakaan juga akan kian besar. Sekalipun abang ojolnya cukup lihai, risiko kecelakaan dalam kecepatan selalu hadir. Ini efek nyata atau konsekuensi atas dromologi itu. Belum lagi, bila abang ojolnya tidak lihai, tetapi dipaksa untuk melaju 120km/jam. Bayangkan sendiri, kecelakaan apa yang menanti di depan.

Jadi, kata-kata “semakin cepat semakin baik”, menurut Virilio, benar-benar salah. Semakin cepat berlari, semakin banyak risiko yang akan kita hadapi. Permasalahan hari ini, tata bahasa budaya, ekonomi, politik, dan agama selalu menggaungkan itu. Seakan-akan ada yang mengejar-ngejar di dalam kehidupan. Sehingga, menjadikan kita ingin selalu melakukan segala sesuatu secara cepat, instan, dan tidak sabar menunggu.

Kultus kecepatan menjadikan pikiran, barang siapa mencoba menghambat, akan tertinggal dan tergilas. Ukuran atau indikator dari keberhasilan program yang berdasarkan kecepatan biasanya bersifat kuantitatif. Hasil akan jauh dari kemaksimalan kualitas. Yang diukur selalu berorientasi angka dan jumlah. Contohnya pertumbuhan ekonomi, laju investasi, capaian pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Kultus kecepatan tidak pernah memikirkan akibat lebih jauh ketimbang itu.

Jadi, ukuran keberhasilan bukan lagi keadilan dan kemerataan. Hasilnya, kecepatan telah merampas hak warga dalam berdemokrasi. Sehingga, yang terjadi adalah dromokasi, dromos dan kratia, artinya pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan tertinggi terletak pada kecepatan.