image by kempalan.com
image by kempalan.com

Rennaisance telah menjadi gerbang awal umat manusia sampai pada suatu zaman yang sama sekali baru, yakni zaman modern. Dengan dimulainya zaman modern, manusia mulai sadar akan eksistensi kediriannya yang hadir untuk saat ini dan di masa kini, terlebih dengan begitu muncul juga kesadaran untuk melakukan suatu perubahan-perubahan besar di berbagai macam bidang kehidupan. Umat manusia menuntun dirinya pada suatu perubahan besar yang bahkan tak pernah dihasilkan pada Abad Pertengahan, masa di mana akal dikuasai oleh kungkungan dogma belaka dan cenderung terhegemoni oleh obskurantisme besar-besaran. Manusia pun gagap karena tidak menggunakan rasionya sendiri, ditambah kurang adanya keberanian untuk mendobrak batas yang ada. Maka salah satu semboyan yang diteriakkan dari apa yang dinamakan zaman modern itu tak lain adalah: “Sapere Aude!” Beranilah berpikri sendiri, ujar Immanuel Kant yang berusaha menjelaskan hal apa yang melandasi semangat fajar budi di zaman modern.

Salah satunya yang menjadi buah hasil  zaman modern adalah sistem ekonomi kapitalistik yang kita rasakan saat ini serta kemajuan teknologi yang sungguh tiada terbendung, selain itu ada juga perang dunia ke satu dan dua sebagai salah satu contoh terburuk apa yang pernah dihasilkan oleh zaman modern. Hal tersebut menjadi turning point para pemikir dengan bertanya bagaimana mungkin suatu peradaban yang dihasilkan dengan semangat kemanusiaan itu berbalik menjadi petaka bagi umat manusia itu sendiri. Salah satu yang masih kita rasakan saat ini adalah kehadiran teknologi yang berbentuk gawai atau dalam bahasa kesehariannya kita sebut sebagai handphone.

Gawai tengah menjadi suatu kebutuhan baru bagi manusia modern, terutama generasi Z yang tumbuh dan besar bersama kemajuan teknologi tersebut. Gawai dengan perangkat media sosialnya telah membuat manusia berpikir ulang soal apa itu hakikat komunikasi dan lebih-lebih pada pergulatan eksistensial kedirian manusia itu sendiri. Sejalan dengan fungsi positif yang dihasilkannya, seperti mempertemukan orang yang jauh dan mempermudah akses kita dalam mendapatkan sesuatu, kita tentu tak bisa melepaskan sisi koin yang lainnya dari media sosial. Sisi koin yang lain itu terangkum dengan jelas dan apik dalam film dokumenter berjudul: “The Social Dilemma.” Karena lagi-lagi, mengutip Sophocles yang ditampilkan di awal-awal film tersebut, tentunya kita tau:

“Nothing vast enters the life of mortals without a curse.”

Begitu juga, zaman modern.

Serta teknologi.

Juga   media sosial.

 

 The Social Dilemma

The Social Dilemma adalah film dokumenter besutan Netflix yang dirilis pada tahun 2020 yang diarahi oleh Jeff Orwolski. Film ini menampilkan bagaimana industri teknologi serta media sosial berjalan, diantara adalah industri teknologi dan media sosial yang kerap kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti: Facebook, Twitter, Path, Instagram, Youtube, Whatsapp, dan lain sebagainya. Para narasumber dari film dokumenter tersebut tak lain adalah mereka yang pernah menjadi komponen penting serta beberapa founding father dari industri-industri tersebut. Salah satunya adalah Tristan Harris, sebagai Mantan Pakar Etika Desain Google sekaligus co-founder dari perusahaan barunya dengan ide agenda baru bagi teknologi yakni Humane; Tim Kendall sebagai mantan eksekutif perusahaan Facebook, presiden dari Pinterest, dan juga CEO dari aplikasi bernama Moment; Seant Parker, Chamath Palihapitiya, Justin Rosesntein, dan lainnya. Selain para pendiri serta komponen penting dalam dunia teknologi dan sosial media ini, dihadirkan juga beberapa narasumber yang memiliki latar belakang akademisi yang juga menyoroti hal ini: ada Shoshana Zuboff, Profesor Harvard Business Scholl juga penulis buku berjudul The Age of Surveillance Capitalism (2019); ada juga Jaron Lanier, sebagai ilmuwan komputer dan juga penulis Ten Argument for Deleting yout Social Media Right Now (2018); dan lain sebagainya.

Film tersebut banyak berserita tentang sisi lain dari manfaat sosial media, kita tahu sendiri bahwa banyak sekali manfaat yang dibawa sosial media dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita lebih bisa akrab dalam berkomunikasi dengan mereka yang berada jauh dari kita, mempercepat informasi yang ada, serta dalam fungsi praktisnya yang lain. Namun, rasanya terlalu naif rasanya jika kita tidak melihat sisi yang lainnya. Bagaimanakah semua kenyataan teknologi dan media sosial ini berjalan? Apa dampaknya bagi kehidupan kita yang terdalam? Selain membawa segala manfaat, ‘racun’ apa yang ia kandung sehingga bisa menyebabkan kerusakan dalam kehidupan keseharian kita?

“If you’re not paying the product, then you are the product.”

Kita selalu berpikir bahwa setiap layanan yang media sosial tawarkan kepada kita adalah suatu layanan yang cuma-cuma dihasilkan begitu saja tanpa ada sesuatu yang mesti dibayar. Namun, kenyataannya tidak berjalan sesederhana yang kita kira. Dalam film tersebut Justin Bosenstein yang merupakan former engineer bagi Facebook dan Youtube mengatakan, “Ada banyak layanan yang kita anggap gratis. Namun, itu tak gratis. Semua itu dibayar oleh pengiklan. Lantas mengapa mereka membayar perusahaan itu? Mereka membayar untuk menampilkan iklannya kepada kita. Kitalah produknya. Perhatian kitalah yang dijual kepada pengiklan.”

Selanjutnya, Lanier berkata bahwa perumpaan yang diaktakan Justin terlalu sederhana. Ia menambahkan bahwa, “Perubahan yang perlahan, tampak kecil, dan tak terlihat dalam perilaku dan kebiasaan kita itulah produknya.”   Selain kita sebagai produknya, Zuboff dalam film tersebut juga menyatakan bahwa ketika pengiklan membayar perusahaan tersebut, yang mereka inginkan adalah kepastian. Ketika sesesorang membutuhkan kepastian, mereka mesti membutuhkan prediksi yang tepat, dan semua itu dimulai dari satu hal yang penting yakni kita memerlukan banyak sekali data. “Inilah jenis lokapasar baru, lokapasar yang belum pernah ada. Lokapasar yang hanya memperdagangkan prediksi saham manusia.” Imbuh Zuboff

Sisi Lain dari Peradaban Modern yang Dilematis

Film dokumenter ini dengan sangat jelas memperlihatkan bagaimana realitas yang kita jalani pada hari ini begitu sangat dipenuhi oleh hal-hal yang dilematis, sebuah kondisi yang sangat membingungkan dan sulit. Di tataran permukaan kita memenukan fakta bahwa media sosial memiliki banyak dampak baik terhadap kehidupan, namun di sisi lain banyak juga kondisi-kondisi negatif yang dihasilkannya. Hal negatif tersebut adalah konsumerisme, polarisasi ekstirm, kesehatan jiwa yang rentan terancam, dan lain sebagainya.

Media sosial telah dimanfaatkan oleh para pengiklan untuk menggaet keuntungan sebanyak mungkin dengan terus memborbardir kita dengan produk-produknya. Di sisi lain, para pengusaha media sosial terus mengembangankan cara agar kita terus terpaku pada layar gawai, mengajak teman-teman kita untuk ikut memiliki akun, dan memastikan iklan-iklan yang telah dipasangkan dapat meraih keuntungan.

Ditinjau dari pemikiran Jean Baudrillard, sosial media telah menjadi arena simulakra—suatu konstruksi pikiran imajiner manusia terkait realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial[1]. Impilaksinya adalah kebutuhan manusia atas suatu komoditas tidak lagi didasari oleh nilai guna dan nilai tukarnya saja, tetapi juga pada nilai simbol. Hal ini menyebabkan manusia tidak lagi membeli suatu komoditas karena kegunaannya saja, tetapi karena representasi yang melekat pada produk itu. Misal ketika artis anu menggunakan tas merek tertentu, orang-orang cenderung untuk membeli tas yang sama karena artis itu menggunakan tas tersebut. Mau tak mau, jika tidak kita takkan diakui dan dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman.

Dari sisi lain, media sosial telah menciptakan polarisasi yang sangat ekstrim. Hal ini disebabkan karena algorima sebagai perangkat utamanya merancangan sistem kerja media sosial untuk selalu menampilan hal-hal yang menarik perhatian kita, hal ini tentu tak lain daripada hal-hal yang kita sukai. Ini berdampak pada daya kita untuk mempertimbangkan kebenaran suatu narasi tertentu. Dengan selalu disuguhkan hal-hal yang kita sukai, kita menjadi lebih tertutup pada narasi lainnya yang memiliki tendensi perbedaan dengan narasi yang selalu kita konsumsi—toh lambat laun, karena kita sering mengonsumsinya, kita menganggapnya sebagai satu-satunya kebenaran. Maka tak heran kita lihat bagaiama pemilu 2019 diwarnai oleh polarisasi ekstrim antara kardun dan kampret, seolah-olah tidak ada lagi ruang dialog di antara masing-masing kubu untuk mencoba memahami satu sama lain dan memaknai perbedaan dengan dewasa.

Pada taraf individual, media sosial telah mengakibatkan manusia jatuh pada jurang krisis eksitensialisme. Di mana manusia tidak lagi merasa nyaman dengan kediriannya, hal ini dikarenakan kapitalisme telah menawarkan suatu standar tertentu dengan sistem simbolnya untuk menetapkan mana manusia yang layak atau tidak. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas pada bagaimana iklan menetapkan standar kecantikan yang begitu keterlaluan. Selain itu, media sosial juga telah menjadikan manusia gagap untuk menerima keterbatasan dirinya, seolah-olah manusia dituntut untuk menjadi mahluk paling sempurna. Kita bisa lihat bagaimana orang-orang selalu memposting mengenai pencapaiannya, kecantikannya, atau hal-hal bagus lainnya. Kita menjadi sering merasa rendah diri berlebihan, mempertanyakan kebermaknaan hidup kita yang jika kita bandingan pada orang-orang di media sosial tentu saja kehidupan kita sangatalah tidak bermakna—padahal mereka juga sama saja.

Pada akhirnya memang kita mesti megakui bahwa modernisme ternyata memang sangatlah dilematis, di satu sisi ia menawarkan suatu sisi positif yang memberikan harapan namun di sisi lain muncul juga beragam masalah yang meliputinya. Film dokumenter The Social Dilema ini adalah suatu gambaran yang pas bagi kita untuk merefleksikan kembali peradaban yang kita hidupi saat ini, salah satunya adalah dengan mengenali permasalahan-permasalahan yang terjadi dalamnya agar kita dapat belajar untuk memperbaikinya agar lebih baik kembali.

Dalam kasus yang tersebut di atas, kita perlu menimbang ulang persoalan security culture dalam bermedia sosial, memperjuangkan regulasi atas hak-hak privasi karena data-data yang diambil oleh perusahaan media, dan juga kontrol kita atas diri kita sendiri sebagai subjek yang bisa menentunkan kebebasan dirinya—bukan ia yang dikontrol oleh orang lain, diperlakukan hanya sebatas komoditas dan barang tertentu.

[1] https://lsfdiscourse.org/simulakra-dan-eksistensi-manusia/

About The Author