Berbicara soal cinta tentu sudah bukan hal yang baru lagi, sebab setiap insan sejak lahirpun sudah dianugerahi rasa cinta yang memang merupakan fitrah dari-Nya. Definisi cinta sangat bermacam-macam karena setiap orang mempunyai arah pandang yang berbeda-beda dalam mengartikannya. Namun bukan kesitu ranah yang akan saya bahas sekarang, melainkan pengimplementasian yang mengatasnamakan cinta justru malah mengentasnamakan cinta sejati itu sendiri, sungguh kontradiktif bukan!

Kali ini saya ingin mengingatkan tentang sesuatu, ini penting bagi kita, mungkin penting juga bagi semua umat manusia. Lihatlah dikala pagi tiba, mentari memancarkan sinarnya dengan kasih cinta, disambut oleh semerbak harumnya bunga yang bermekaran penuh cinta, kemudian dimeriahkan dengan kicauan burung yang meresapi percintaan mereka, hingga membuat rerumputan menari atas angin yang menyisirnya. Sungguh sederhana nan indah hakikat percintaan pada dasarnya. Tapi, kita manusia, sampai detik ini masih terus saja berdebat tentang perayaan cinta, sibuk dengan syarat-syarat cinta, dan kebingungan mencari makna cinta itu sendiri.

Mungkin sekarang adalah saatnya kita berhenti memperdebatkan perihal cinta. Hanya kita, manusia, yang dianugerahi pikiran untuk mempertanyakan dan memperdebatkan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, tapi jangan kemudian kita terlalu sibuk dengan itu semua dan lupa mencintainya. Karena sesungguhnya, cinta bukanlah pertanyaan dan mosi perdebatan, tapi cinta justru merupakan jawaban dari keduanya.

Kerap kali kita senang memenjarakan cinta dalam kata. Tanpa sadar kita telah memeras maknanya, sampai yang tersisa hanyalah ampas-ampasnya saja, konsep-konsep cinta. Kering. Mati. Kemudian inilah yang sama-sama kita yakini sebagai cinta, yang sama-sama kita perdebatkan dan ributkan dengan logika kita masing-masing tentunya. Dengan ayat-ayatmu dan ayat-ayatku.

Kita kadang kala terlalu memaksakan diri untuk melihat segalanya sempurna, sehingga kita terjebak di dalam halusinasi pikiran kita sendiri, hingga akhirnya kehilangan esensi. Dalam buku Hati Tak Bertangga karya Ikhwan Marzuki dan Adi Prayuda, mengatakan bahwa kesempurnaan itu ilusi. Dan cinta adalah guru paling berharga  yang mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu apa adanya, tanpa menuntut kesempurnaan.

Mungkin yang selama ini kita anggap cinta kepada orang lain adalah cinta pada persepsi kita sendiri. Oleh karenanya, kita tidak henti-hentinya menuntut orang yang kita cintai untuk bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita mengontrol dan mengubah orang yang kita cintai agar selalu sama dengan sosok ideal yang ada dibenak kita. Itukah cinta? Atau itukah ego yang mengatasnamakan dirinya cinta, hingga mengentasnamakan cinta yang sesungguhnya. Sampai disini mulai tergambar maksud dari judul tulisan ini.

Saya mulai dengan satu pertanyaan penting, “kenapa tidak semua dari kita bisa menerima orang lain apa adanya, sehingga cenderung ingin mengubah mereka agar sesuai dengan keinginan kita?” simpelnya begini “kenapa kita ingin mengubah orang yang kita cintai sesuai dengan keinginan kita?” Tentu banyak sekali jawabannya. Bisa karena “ingin membuat orang yang kita cintai menjadi lebih baik”, “agar dia tidak berlama-lama dalam kesedihan”, “agar hidupnya tidak lagi menyusahkan orang lain”, “karena dia punya kebiasan buruk, yang itu merugikan orang-orang yang ada disekitarnya”, dan lan-lain sebagainya. Semua jawaban itu tentu memiliki nilai benar pada kondisinya masing-masing.

Sebenarnya, apa yang memicu kita hingga punya hasrat untuk mengubah orang yang kita cintai? Apakah itu karena kita benar-benar mencintainya? Atau jangan-jangan karena kita takut hal-hal buruk terjadi pada orang lain, terutama orang yang kita cintai? Sehingga kita perlu mengambil tindakan untuk “mengubahnya”. Atau sebenarnya karena kita belum bisa menerima diri sendiri apa adanya? Sehingga ketidakmampuan ini menjelma menjadi sebuah hasrat untuk mengubah orang lain. Bukankah lebih baik kita mengajukan pertanyaan kepada diri-sendiri terlebih dahulu “kenapa saya ingin mengubahnya?” sebelum bertanya “apa yang ingin saya ubah dari orang lain?” Lagi-lagi ini bukan pertanyaan untuk segera dijawab, tapi untuk direnungkan secara perlahan-lahan. Lalu kita jadikan pembimbing dalam menembusi lapisa-lapisan yang sudah lama diciptakan oleh ego kita yang menjadikan “penghalang” dan pemberi kita “jarak” dengan hati kita sendiri.

Kita mungkin tidak sadar bahwa kadangkala ketakutan bisa menyamar  menjadi cinta. Kita katakan bahwa kita “mencintai” seseorang lalu kemudian atas alasan itu pula, kita mengatur, mengontrol, mendikte, membatasi ruang orang yang kita cintai  agar perilakunya sesuai dengan  apa yang kita inginkan. Sebenarnya kitalah yang takut. Jika kita yang takut, kenapa orang lian yang harus berubah? Jika kita yang sakit, kenapa orang lain yang harus minum obat?

Masalahnya, seandainya pun orang itu berubah, kita masih punya potensi untuk tidak puas dengan itu, tidak menyukainya, bahkan marah. Kenapa? Pertama, karena bisa jadi perubahannya tidak atau belum sesuai  dengan yang kita keinginkan. Kedua, karena ada bagian yang seharusnya tidak berubah, malah ikut berubah. Inilah salah satu kelucuan  yang bisa mengingatkan kita sebagai manusia: keinginan untuk mengubah banyak hal dalam hidup namun pada saat yang sama ada hal-hal yang ingin tidak berubah, selama mungkin. Dan semakin lucu ketika tindakan  yang didasari oleh keinginan seperti ini sebagai tindakan mencintai.

Pernahkah kita melihat orang yang sama-sama “kelelahan dalam mencintai”? atau mungkin pernah mengalami itu? Yang satu, atas dasar cinta, inginnya begini, sedangkan yang satunya lagi, atas dasar cinta juga, memiliki keinginan yang berlawanan. Sama-sama ingin mengubah satu sama lain. Sudah merasa mengarahkan berbagai upaya, sampai akhirnya kewalahan sendiri. Namun orang yang dicintai tidak merasa di bantu ke arah yang lebih baik. Jangankan bergerak ke arah yang diberi tahu, bahkan melihat ke arah yang itu saja tidak. Itu sangat mungkin disebabkan karena sumber gerakannya bukan dari pemahaman, tapi dari ketakutan.

Kita merasa semua upaya kita datang dari cinta, tapi yang sebenarnya lebih dominan  kita pancarkan adalah kekhawatiran. Kita khawatir karena terseret oleh pikiran yang memproyeksikan sesuatu dimasa depan  tentang orang yang kita cintai. Padahal cinta hanya bisa hadir dikedalaman saat ini. Pada hakikatnya, “mencintai” itu tidak melelahkan, namun bergerak karena di dorong oleh kekhawatiran  kita terhadap orang yang kita cintai, itu yang melelahkan.

Mengucapkan “aku cinta padamu” adalah satu hal, namun mencintainya adalah hal yang lain lagi. Sebenarnya siapa yang kita cintai, seseorang itu atau gambaran orang itu di benak kita? Bukankah kita sedang mencintai “gambaran tentang orang lain itu di benak kita”?. Ketika kita rajin mengubah orang lain agar sama dengan gambaran yang ada di benak kita, fakta sosial mengatakan bahwa sebenarnya kita mencintai gambaran orang lain itu dibenak kita.

Bila ini kita sadari, kita akan mendapatkan pelajaran berharga. Bahwa yang lebih penting dari orang lain berubah  adalah menyadari gambaran ideal yang ada di benak kita tentang orang itu. Selama sosok ideal itu masih ada, kita selelu melihat dua orang. Orang yang ada dibenak kita dan orang yang ada dihadapan kita. Ini yang kemudian cenderung menghasilkan upaya-upaya untuk membuat keduanya sama. Dan yang memprihatinkan adalah kita lebih memilih mengubah orangnya daripada mengubah sosoknya di benak kita. Idealnya, “kita mencintai seseorang bukan untuk menyempuranakannya, tapi karena telah berhasil menemukan kesempurnaan  dari kekurangan dan kelebihannya”.

Betepa sangat seringnya kita menemui cinta dalam kata-kata, dalam definisi, makna dan teori. Ternyata sebenarnya kita menemui pikiran kita sendiri, karena kata-kata adalah pikiran. Kita melihat garis yang tegas antara hitam dan putih, benar dan salah. Ada tangga, ada tingkatan. Ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Terlalu banyak hal yang bisa kita ributkan disisni. Satu kata bisa membelah menjadi ribuan persepsi.

Dalam hidup ini, kita sedang mengekspresikan cinta yang “bentuknya” berbeda-beda. Yang sama akan “menari” bersama, yang berbeda akan saling “mengajari”. Adakalanya juga terjadi gesekan antara yang satu dan yang lain, padahal sama-sama sedang memperjuangkan cinta masing-masing. Dari setiap gesekan itu akan menciptakan sesuatu yang sebenarnya masih bisa kita gunakan  sebagai celah untuk menelusuri batin kita lebih dalam lagi sehingga yang kita temukan pun akan berbeda dari apa yang kita yakini sebelumnya.

Keributan kita selama ini, sekalipun kita saling mencintai, sebenarnya tidak terlepas dari satu kalimat sederhana, “Aku benar, kamu salah!” cinta kita masih bertangga. Masih ada batasan yang jelas dan keras antara benar dan salah. Masih ada AKU dan KAMU. Masih ada kalimat-kalimat seperti “KAMU seharusnya begini” atau “ AKU sudah begini, dan KAMU masih saja begitu”.

Cinta kita masih penuh dengan konsep. Itu adalah cinta yang khas bagi pikiran. Tanpa konsep, pikiran tidak merasa ada. Pikiran perlu mencipakan konsep untuk menunjukkan eksistensi diri. Selama kita mendekati cinta dengan pikiran, selama itu pula akan ada konsep atau “anak-anak tangga”, selama itu pulalah kita akan temui syarat dan cara. Apakah itu salah? Tidak. Kita semua sedang bertumbuh sesuai kesadaran kita masing-masing. Hanya saja ada yang menemui cinta dengan “kendaraan” rasa, sehingga yang ditemukannya pun berbeda.

Kalau kita mencintai seseorang, sekalipun tidak diungkapkan dengan kata-kata, orang yang kita cintai itu akan merasa. Ada matriks di alam ini  yang bisa mengalirkan energi cinta melebihi radius yang dapat di jangkau wifi. Namun, kadang kita tidak percaya ini dan merasa sangat perlu mengungkapkannya dangan kata-kata. Harus lewat kata-kata. Tidak ada jalan lain. Kita masih merasa bahwa cinta bisa saja salah alamat dan kata-kata adalah obat!

Ada juga yang menemukan cinta justru dengan melepas “kendaraan” dalam bentuk apapun. Sudah pasti yang ditemukannya pun berbeda. Hidup kita adalah perjalanan untuk menelusuri ini. “Mencari sesuatu yang ternyata, kalau ditelusuri terus, adalah si pencari itu sendiri”. Cintailah dirimu sendiri dahulu sebelum mencintai orang lain, mencintai diri sendiri bukanlah sesuatu tindakan yang egois. Justru tindakan mencintai orang lain tanpa mencintai diri sendiri, itu adalah tindakan yang berpusat pada ego, itu tindakan yang arogan. Kita merasa bisa “memberi kebahagiaan” untuk orang lain, tanpa membuat diri kita bahagia terlebih dahulu. Bila seperti itu, apa yang sebenarnya kita berikan? Padahal, kita hanya bisa memberi apa yang kita punya, bukan sesuatu yang tidak kita miliki. Tolong renungi ini: orang lain mungkin bisa senang dengan tindakan kita, tapi ingat, bahwa kita juga mahluk emosi yang dianugerahi kepekaan dalam merasakan emosi orang lain, sesuai dengan tingkatannya masing-masing.

Kita bisa saja tersenyum dihadapan orang lain, sekalipun tidak dalam kondisi bahagia. Namun ketidakbahagiaan atau kesedihan di dalam diri kita  tidak bisa dikurung oleh senyuman. Kesedihan itu akan menggetarkan atau “beresonansi” dengan kesedihan di dalam diri orang lain. Dan seketika itu pula, orang lain yang terasah kepekaan emosinya bisa tahu bahwa kita tidak dalam kondisi senang melakukannya, tapi hanya untuk membuat orang itu senang. Itu bukan cinta. Itu ketakutan. Takut orang lain tidak menyukai kita. Takut orang kain tidak mencintai kita lagi. Takut orang lain berubah. Takut orang lain marah. Takut orang lain menyangka kita bukanlah orang baik. Takut orang lain berpaling ke lain hati. Dan takut-takut yang lainnya.

Jadi, mohon renungi pertanyaan terakhir ini: seberapa sering dan sebarapa banyak keputusan kita dalam hidup ini yang kita buat bukan atas dasar cinta, tapi atas dasar takut sehingga ketakutan inilah yang mengentasnamakan cinta sejati dengan mengatasnamakan cinta itu sendiri. Ingatlah bahwa cinta yang hakiki itu suci, karena sudah fitrah dari sang Ilahi. Dan cinta itu memang wajar, namun akan hilang kewajarannya jika pemenuhannya adalah penuhanannya.

Lawan dari cinta bukanlah benci, tapi takut.
Kita tidak bisa benar-benar mencintai,
Bila masih ada ketakutan.
-Hati Tak Bertangga-

* Penulis adalah Putra Akuntansi IAIN Madura 2020, Tenaga pengajar kursus Sains dan Penggerak Forum Kajian Simposium

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here