image by Didik Suhartono / ANTARA FOTO
image by Didik Suhartono / ANTARA FOTO

Akhir-akhir ini sepertinya menjadi waktu yang kelam bagi masyarakat Indonesia, tentu akibat dari semakin masifnya penyebaran covid-19 di berbagai daerah di negeri ini. Semua wilayah merasakan dampak ini, salah satunya pulau Madura. Tiga bulan yang lalu mungkin bisa dibilang pulau ini sudah mulai bersih dari virus, akan tetapi akhir-akhir ini data yang berkembang di daerah Madura kian memburuk dan terpaksa diberlakukan pembatasan di berbagai sektor.

Terlepas dari semakin tingginya penyebaran wabah di pulau Madura, ada hal yang membuat saya tercengang dengan keadaan dan kondisi masyarakat di pulau ini. Masyarakat pulau Madura bukan tidak tahu mengenai adanya virus ini dan masyarakat Madura juga paham dengan kondisi yang dihadapi negara ini, akan tetapi masyarakat Madura masih banyak yang abai terhadap keadaan sekarang. Sebenarnya mereka bukan tidak percaya dengan adanya virus, tetapi mereka tidak percaya dengan sistem dan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah dalam penanganan wabah ini.

Beberapa aspek yang mungkin menarik untuk kita perbincangkan dalam kasus ini adalah perihal unsur keyakinan, kultur dan mitos yang tertanam pada masing-masing pribadi masyarakat Madura. Ada sebagian dari mereka mempercayai dengan adanya tha’un,wabah yang dinilai menjadi sumber kekacauan di Madura. Menurut keyakinan, tha’un merupakan mahluk halus yang mendatangi rumah-rumah warga dengan mengketok pintu yang mana ketika pemilik rumah membuka, maka pemilik rumah akan sial. Penjelasan tha’un di atas berasal dari mitos yang melekat di kalangan masyarakat Madura, meskipun pada dasarnya secara harfiah, kata tha’un sendiri merupakan sebuah wabah atau pandemi.

Terlepas dari adanya mitos menganai thaun, masyarakat Madura kini sedang dihinggapi berbagai kepiluan, salah satunya dengan banyaknya orang sakit dan meninggal. Fenomena ini banyak terjadi akhir-akhir ini. Penyebabnya pun belum diketahui secara pasti, namun tidak jarang yang mengatakan bahwa semua itu imbas dari virus corona, sehingga wajar beberapa pekan terakhir pemerintah menerapkan beberapa kebijakan atau system dalam menahan laju penyebaran wabah ini.

Namun dari berbagai kejadian tersebut masih banyak masyarakat yang tidak percaya dengan sistem yang diterapkan dalam menangkal virus ini. Di lingkungan saya, masih banyak yang tidak percaya dan cenderung abai dengan keadaan sekarang. Sekali lagi, mereka bukan tidak percaya dengan penyakit atau virus ini, melainkan mereka lebih menganggap fenomena ini sebagai fenomena yang wajar dan dikenal dengan “Panyakèt Satèyaan”.

Panyakèt satèyaan ini kian ramai diperbicangkan dari mulut ke mulut, dan dari warung ke warung. Penyakit ini ramai setelah banyaknya warga yang mengalami sakit dengan keluhan yang sama, seperti sesak nafas, panas, dan batuk. Tidak hanya dengan yang sakit, bahkan yang meninggal dengan gejala yang sedemikian akan di cap sebagai orang yang mati karena panyakèt satèyaan.

Fenomena ini tidak menyurutkan nilai-nilai kebersamaan di kalangan sekitar. Ketika ada salah satu kerabat dan tetangga sakit mereka tetap biasa menjenguk, bahkan ketika ada yang meninggal karena gejala tersebut, warga sekitar tetap berbondong-bondong untuk menunaikan kewajibannya sebagai manusia yang masih hidup terhadap orang yang meninggal, mulai dari memandikan, mengafani, menyalati dan menguburkan. Masyarakat Madura tidak terlalu khawatir terhadap virus, mereka lebih khawatir jika ada orang yang meninggal diberlakukan tidak sesuai dengan adat yang berlaku.

Pandangan mengenai panyakèt satèyaan tidak separah dengan apa yang diberitakan media mengenai covid-19. Istilah tersebut disandangkan kepada seseorang yang mengalami gejala di atas dan mereka tetap beranggapan bahwa apa yang dialaminya tidak serupa dengan covid-19. Mereka lebih suka menyebut penyakit yang dialaminya tersebut dengan penyakit baru yang wajar dan banyak dialami masyarakat karena perubahan musim, cuaca dan semacamnya.

Sampai sekarang saya sendiri masih bingung dengan adanya fenomena seperti itu, di sisi lain karena memang keyakinan, kultur dan pola sosial yang sedemikian rupa sudah tertanam di kalangan masyrakat, atau mungkin tentang penamaan (Panyakèt satèyaan) tersebut merupakan suatu cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk menenangkan dan mengembalikan ketentraman di tengah meningkatnya kasus covid-19 di Madura. Atau bisa jadi pola tersebut merupakan sebuah bentuk penolakan terhadap sistem dari covid-19 yang kita tahu pesatnya penyebaran di daerah Madura itu sendiri.

About The Author