image by dreamstime.com
image by dreamstime.com

“Kak, ini aku bawain kue labu kesukaan Kakak,” ujarku sambil mengusap lembut kepalanya. Berharap dia akan mengingatku ketika aku membawakan kue kesukaannya dulu. Ini sudah kali ketiga aku berkunjung dengan membawakannya kue labu, setelah sebelumnya ia menolak mentah-mentah dan lansung saja melempar kue itu ke tanah. Kue labu yang aku tempatkan dalam kotak bekal siang miliknya sama sekali tidak membuatnya tertarik untuk mencicipinya, bahkan sekedar untuk melihatnya pun tidak. Dia masih saja terpaku dengan ranting yang ada digenggamannya, memainkan benda tersebut layaknya makhluk yang bisa diajak bicara dan bercanda. Sesekali dia tertawa, lalu seketika ekspresinya menjadi sedih. Kembali tertawa, lalu berubah menjadi tatapan kosong. Tapi tidak mengapa, esok hari aku akan kembali lagi. Dan seterusnya aku akan kembali.

“Mbak, waktu kunjungannya sudah habis,” ujar perawat itu mengingatkan.

“ Baik Mbak.”

“Syila pulang dulu ya Kak, besok Syila datang lagi,” ucapku sambil melambaikan tangan ke arah Kakakku. Tentu saja dia tidak membalas lambaianku, karena memang melihatnya pun tidak.

***

Namaku Syila. Tiga tahun terakhir adalah masa-masa perjuangan yang berat bagiku. Kehidupanku seketika berbanding terbalik dari masa-masa beberapa tahun silam. Syifa, Kakakku yang merupakan satu-satunya keluargaku yang masih hidup saat ini. Ayahku telah lama meninggal, waktu itu ketika Syifa berumur tiga tahun dan Ibuku sedang mengandung diriku. Beruntung Syifa ketika itu masih sempat merasakan kasih sayang seorang Ayah.

Selanjutnya kami dibesarkan oleh seorang bidadari yang Tuhan kirim dengan rupa yang amat cantik dan baik hati, dia biasa kami panggil Ibu. Bagiku dia adalah wujud cinta kasih Tuhan yang diberikan kepada kami. Memberikan kami hidup dan kehidupan. Dia yang menjadi rumah kami dan pelindung bagi kami di segala situasi.

Aku dan Syifa terpaut usia tiga tahun. Waktu itu, ketika Kakakku berusia 18 tahun, ia amat merasakan betapa di dalam hidupnya membutuhkan sosok Ibu. Syifa senantiasa membaktikan dirinya untuk membantu Ibu berjualan kue keliling kampung, kue terenak buatan bidadari kami. Ya, Ibuku menghidupi kami dengan berjualan kue keliling kampung. Dan setiap hari libur, Kakakku selalu ikut menemani Ibu untuk berjualan. Aku yang waktu itu masih dianggap kecil belum boleh ikut, alhasil aku ditugaskan untuk di rumah menunggu kepulangan mereka sambil sesekali membereskan dan membersihkan rumah.

Syifa amat senang bisa ikut membantu Ibu. Menurutnya, melakukan hal yang bisa meringankan pekerjaan Ibu adalah hobi teristimewanya. Sedangkan aku selalu bertugas untuk membantu Ibu dan Kakak membereskan dapur sehabis mereka memasak kue. Begitulah, cinta kasih dikeluarga kami terjalin begitu lekat karena memang kami hidup bersama dan saling membantu dengan uluran kasih dan kehangatan. Sungguh, kehidupan yang aku harap akan berlansung selamanya, tanpa jeda tanpa henti. Aku, Kakakku dan bidadari kami, Ibu.

Namun sayangnya hidup tidak selalu mengikuti kemauan manusia. Kehidupan seketika memberontak. Dia membangkang apa yang hatiku inginkan. Dia berpaling dari do’a-do’a yang senantiasa aku panjatkan. Tuhan mencabut pemberian indah selama ini dari kami. Begitu cepat, hingga rasanya bagai mimpi. Aku roboh, dan jatuh terpelanting ke bagian gelap dari kehidupan. Bahkan Kakakku sampai tidak mampu membendung penderitaan ini. Jiwa raganya terguncang hingga kesadaran menjauhinya. Beruntung aku mampu bertahan, segera bangkit demi melanjutkan sisa-sisa mimpi. Tapi tidak dengan Syifa.

***

“Dek, Kok Ibu belum juga pulang, ya?” tanya Kakakku cemas.

“Ibu masih dijalan mungkin Kak, tunggu aja sebentar lagi,” ujarku.

“Tapi matahari sudah hampir terbenam, Dek, Ibu tidak pernah pulang selambat ini, kan?” sahut Kakakku mulai panik. “Kamu tunggu di rumah, ya? Kakak mau mencari Ibu sebentar.”

“Kakak mau cari kemana? Ini juga sudah hampir malam, Kak,” tanyaku.

“Kamu tunggu saja di rumah, Kakak akan keliling menyusuri jalan yang biasa Kakak dan Ibu lewati ketika berjualan,” ujar Kakakku. Lansung saja Kakakku pergi keluar untuk mencari Ibu. Berbekal senter dan juga jaket yang dibawanya.

Hari itu, Kakakku memang tidak bisa menemani Ibu berjualan. Bukan tanpa sebab, melainkan Ibu menyuruhnya untuk menemaniku di rumah.

“Untuk hari ini, kamu ga usah ikut Ibu jualan, ya? Temani adik kamu. Sesekali kamu juga harus berada di rumah. Kasian Syila kalau harus selalu sendirian di rumah,” pinta Ibuku.

Kakakku tidak pernah menolak apapun yang diperintahkan Ibuku, dia selalu mematuhinya. Dan akhirnya untuk sehari ini saja, dia menemaniku di rumah.

***

Sudah hampir pukul 09.00 namun Kakakku belum juga pulang, begitupun dengan Ibuku. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa diam dan menunggu di rumah saja. Untuk mengusir rasa bosan, akupun pergi ke kamar Ibu. Mengambil baju-bajunya yang sudah robek dibagian jahitannya. Sudah beberapa hari terakhir aku melihat Ibu pergi berjualan dengan kondisi pakaian yang bolong-bolong, entah itu dibagian pundaknya, ketiaknya maupun dibagian lengannya. Ibu sebenarnya tahu bahwa ada jahitan yang lepas dibajunya, namun ia memilih untuk tetap memakainya.

“Ngga apa-apa sayang, cuman bolong-bolong kecil. Lagian bajunya juga masih bagus dan layak pakai,” ujar Ibuku ketika aku bertanya mengapa ia tidak membeli baju baru.

Begitulah Ibuku, sesederhana itu ia dalam menilai sebuah penampilan. Setelah mendapatkan beberapa potong baju yang menurutku bisa diperbaiki, akupun mencari jarum dan benang yang Ibu disimpan di laci kamarnya. Tidak butuh waktu lama untuk mencari barang kecil itu, setelah beberapa saat aku merogoh laci tersebut, akhirnya kutemukan yang kucari. Aku cukup terlatih untuk bisa menjahit baju, Ibu yang mengajariku. Ya, walaupun hanya menjahit secara manual, tapi setidaknya aku bisa dengan kreatif menambalnya dan tidak harus selalu membeli baju ketika ada bagian robek.

“Syila!…Syila!…Buka pintunya, Dek,” teriak Kakakku sambil menggedor pintu. Sontak aku terkejut dan lansung terbangun, membukakan pintu. Entah kapan aku tertidur, sebab baju-baju Ibuku masih berada digenggamanku sewaktu aku terbangun ketika mendengar suara teriakan Kakak.

“Kakak kok pulangnya….”

Belum saja aku menyelesaikan kalimat pertanyaanku, Kakak sudah menghambur memelukku sambil menangis terisak-isak.

“Ayo! Kita pergi ke rumah sakit,” ujar Kakakku.

“Ada apa, Kak? Dan kenapa Kakak menangis?” tanyaku dengan masih sedikit menahan kantuk.

“Ibuu!…Ibuu!…Dia masuk rumah sakit!”

***

Tampak beberapa orang masih menunggu di lorong kamar jenazah rumah sakit, tempat Ibuku dirawat.

“Mereka ini adalah anak kandung dari korban,” ujar seorang bapak yang tinggalnya tidak jauh dari rumah kami.

Bapak itu dengan rela mau mengantarkan kami ke rumah sakit setelah kami tergopoh-gopoh meminta bantuan kepadanya. Kakakku dengan masih terisak-isak menceritakan kejadian yang terjadi kepada bapak tersebut sembari di atas motor ketika hendak menuju ke rumah sakit. Aku hanya bisa menangis sambil sesekali sesenggukan ketika mendengar cerita Kakakku.

“Ibunya tidak tertolong, Pak,” ujar salah seorang Ibu.

“Bukk!!”

Kakakku seketika pingsan mendengar perkataan Ibu itu.

***

Kejadian tiga tahun yang lalu telah merubah kondisi Kakakku dengan begitu drastis. Setelah Ibu meninggal, dia menjadi pribadi yang murung dan lebih banyak diam. Dia masih menjadi Kakak yang hangat, namun ketegarannya itu hanya berlansung beberapa tahun saja. Jauh di dalam dirinya ternyata menyimpan pedih dan penderitaan yang bahkan dia sendiri tidak mampu mengatasinya.

 Sampai akhirnya menginjak tahun keempat sepeninggal Ibu, kelakuan serta sikapnya mulai aneh. Bahkan bisa dibilang tidak waras. Dia mulai berhalusinasi dengan masuk dapur dan berpura-pura seakan-akan dia sedang memasak kue bersama Ibu. Mengobrol dan berbicara layaknya sedang berhadapan dengan Ibu.

Tidak banyak yang bisa aku lakukan untuknya dimasa-masa itu, aku hanya bisa menemaninya setiap saat, mengurusi segala kebutuhannya sambil sesekali berujar, “Ibu pasti pulang, Kak.”

Hanya kata-kata itu yang bisa aku lontarkan ketika dia acapkali bertanya, “Dek, Kok Ibu belum juga pulang, ya?”

Aku tahu dirinya sedang depresi, mungkin dia menanyakan hal itu sebab dirinya masih tidak bisa menerima kenyataan yang menimpa kami. Hingga bertahun-tahun lamanya. Sampai pada suatu kejadian dia memanggilku yang saat itu aku sedang merapikan kamar, “Adek, kesini yuk?”

Aku lansung bergegas menghampirinya. Namun betapa terkejutnya aku ketika mendapati dia hendak menikam dirinya dengan pisau dapur. Tangannya tengah bersiap-siap menusuk perutnya. Sontak aku lansung mencegahnya dengan mencengkram kuat-kuat lengannya dan merebut paksa pisau itu dari tangannya. Dia memberontak dan berusaha melepaskan cengkramanku, namun aku lansung memasang diri sekuat tenaga untuk melawannya. Akhirnya pisau itu aku lempar keluar jendela dapur yang tengah terbuka.

“Kakak mau ketemu Ibu, haha..” ucapnya.

“Apa yang Kakak pikirkan sampai bisa ngelakuin hal gila ini!” bentakku.

“Hahaha! Ibu di sana, ya?”

Karena sikapnya sudah semakin parah, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa. Aku sebenarnya amat tidak tega melihat dia tinggal di rumah sakit jiwa, tetapi melihat kondisinya yang seperti itu membuatku tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak akan sanggup untuk menanganinya jika dia tetap seperti itu. Sedih? Amat. Melihat kondisi ketika Kakakku harus dibawa ke rumah sakit jiwa.

Ketakutan mendatangiku. Sebab, mungkin kali ini aku berhasil mencegahnya, namun aku tidak tahu entah kapan dia akan melakukan hal itu kembali, dan aku juga tidak tahu apa aku bisa mencegahnya lagi.

***

Siang itu, tiba-tiba mobil Avanza putih dengan kecepatan tinggi menghantam tubuh Ibuku yang ketika itu hendak menyeberang jalan. Mobil itu tampak hilang kendali, terlihat dari arah lajunya yang tidak karuan. Ibuku terpental sejauh beberapa meter, kue dagangannya habis bertebaran dimana-mana. Bakul yang menjadi wadah kue itu menggelinding dan akhirnya jatuh ke selokan. Nampak kue-kue kotor karena bercampur dengan tanah berserakan dijalanan. Belum lagi cairan merah keluar dari tubuh Ibuku yang kini sudah tidak sadarkan diri. Tergeletak di tengah jalan. Bidadariku, kini darah segar mengalir keluar dari tubuhnya.

Orang-orang yang melihat kejadian tersebut lansung berlarian menuju Ibuku saat itu.  Teriakan minta tolong terdengar dari para Ibu yang menyaksikan kejadian itu. Hingga seorang bapak yang baru saja pulang dari membajak sawah lansung dengan emosinya berlari menuju kerumunan sambil mengeluarkan kalimat cacian dan sumpah serapah kepada pengendara Avanza maut itu.

“Heh! Keluar kamu sialan! Ayo tanggung jawab! Dasar keparat!” ujar bapak itu dengan begitu geram.

Disusul juga teriakan oleh para warga yang lain. Mendesak pengendara itu supaya keluar. Mereka berulang kali memukul badan mobil tersebut, menggedor kacanya bahkan ada yang nekat menghantam mobil tersebut dengan batu. Namun butuh waktu yang cukup lama agar pengendara itu mau keluar. Andai saja petugas kepolisian tidak datang waktu itu, mungkin si pengendara itu sudah mati ditempat akibat amukan massa. Entah siapa yang menelpon petugas kepolisian tersebut, yang jelas orang tersebut berada di lokasi kejadian.

Sesampainya petugas kepolisian dilokasi kejadian, mereka lansung menelpon ambulance. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mobil ambulance tiba. Lansung saja tanpa basa-basi Ibuku dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sementara itu, pengendara mobil tersebut lansung dibawa dan diamankan oleh polisi.

Sungguh pedih ketika aku mengetahui semua rentetan kejadian yang memilukan itu. Peristiwa yang menjadi titik balik perubahan hidup Kakakku, dan juga aku. Tak henti-hentinya mataku basah, air mata mengalir tanpa jeda dari netra yang kupunya. Setelah mendengar cerita kesaksian dari seorang bapak yang dulu menolong Ibuku ketika dia baru saja pulang bertani dari sawahnya. Terasa begitu nyata hingga rasanya aku benar-benar berada dan melihat secara lansung peristiwa itu.

Sudah sekian lama aku berniat mencari tahu kronologis kejadian yang menimpa Ibu kami. Secara diam-diam sudah beberapa bulan terakhir aku mencari keterangan dari warga sekitar tempat peristiwa tabrakan tiga tahun lalu. Aku merasa diusiaku yang sekarang sudah cukup untuk bisa mendengar bagaimana detilnya. Setelah bertanya sana-sini dan mencari informasi, akhirnya aku mendapatkan apa yang aku cari. Beruntung bapak yang dahulu menolong Ibuku masih hidup dan dengan senang hati menceritakan segala yang dilihatnya tiga tahun silam.

“Pengendara itu sebenarnya yang membiayai semua proses perawatan hingga pemakaman Ibumu, Nak,” ujar bapak tersebut. “Dan pengemudi itu mengaku dia memang yang bersalah dan sudah mendapat hukumannya. Bapak hanya berharap kamu dan saudarimu bisa mengikhlaskan semuanya,” lanjutnya.

“Sudah Pak, saya sudah ikhlas.”

“Lalu, saudarimu?” tanyanya.

“Sangat sulit baginya Pak, makanya sekarang dia berada di rumah sakit jiwa karena kejadian itu,” jawabku.

“Astaga!” sahut Bapak itu kaget, “Hmm..semoga saudarimu lekas membaik, Nak. Bapak tidak berbuat lebih untuk kalian,” lanjutnya.

Ketika mendengar penuturan bapak tersebut bahwa ternyata yang membiayai perawatan Ibuku adalah si pelaku, aku sempat terkejut. Tapi rasa terkejut itu tidak membuatku merasa harus berterima kasih kepadanya. Memang sudah seharusnya begitu, bukan?.

***

Esoknya aku kembali mengunjungi Kakakku. Seperti biasa, aku berkunjung dengan membawakannya kue labu. Berharap semoga hari ini ada hal baik yang terjadi pada kondisi Kakakku.

“Suster, bagaimana perkembangan kondisi Kakak saya?”

“Masih belum ada, Mbak,” jawabnya, “Setelah Mbak pulang kemarin…..” ucapan perawat itu terhenti.

“Ada apa sus? Kakak saya kenapa?” tanyaku mulai cemas.

“Dia melompat ke tanah lalu bertingkah semakin gila, Mbak. Dia menggaruk-garuk tanah menggunakan ranting yang dipegangnya sambil teriak memanggil ‘Ibu..! Ibu…!’dan nampak juga dia menangis, Mbak. Saya sampai dibantu perawat lain saking kewalahannya,” tutur perawat itu.

Penglihatanku mulai menggenang. Perlahan butiran hangat menetes membasahi pipiku. Lagi-lagi Syifa masih amat terpukul dengan kejadian itu. Aku sempat berpikir bahwa mungkin yang menjadi penyesalan terberatnya adalah, ketika dia mematuhi perintah Ibuku untuk tidak ikut berjualan di hari itu. Mungkin itulah hal pertama yang dia ingat sewaktu mengetahui bahwa Ibu tertabrak mobil.

Andai saja ia tahu bahwa itu akan menjadi hari terakhir kami bersama, tentu Syifa akan bersikeras untuk ikut. Andai saja ia tahu bahwa mungkin Ibu sudah memiliki firasat tentang nasibnya di hari itu, Syifa akan berani untuk membantah permintaan Ibu supaya dia tetap di rumah bersamaku. Hal-hal seperti itulah yang menjadi beban pikiranku ketika melihat kondisi Kakak.

“Sekarang dia dimana, sus?” tanyaku.

“masih di kamarnya, Mbak. Semalaman dia terus mengerang. Untunglah pagi tadi dia setidaknya bisa tidur dengan nyenyak,” jawab suster itu.

“Baiklah, biarkan saja dia tidur. Besok saya akan kembali lagi,”

“Baik, Mbak.”

***

Sesampainya di rumah, aku lansung membaringkan diri di ranjang kamar. Entah kenapa sore itu aku merasa begitu letih, padahal aktivitas fisik tidak banyak yang sudah aku lakukan. Aku merasa amat mengantuk. Seakan-akan rasanya tidak pernah ada kantuk yang begitu memaksaku untuk terlelap. Ditambah dengan suasana rumah yang sepi menambah sugesti untuk segera bermimpi. Memang selama ini aku jadi hidup sendiri, semenjak Kakak tinggal di rumah sakit jiwa.

“Sayang, bawa Kakakmu pulang…bawa dia bersamamu. Dia amat menderita di sana. Ingatkan dia akan kenangan-kenangan kita,”

“Ibu? Ibu? Aku mendengar suara Ibu. Ibu dimana? Kenapa gelap sekali?”

“Bawa Syifa pulang, sayang. Sembuhkan Kakakmu.”

“Ibu? Ibu dimana? Ibuu..!”

“Ibuuu…!” teriakku.

Mimpi yang membuatku seketika terbangun dan berteriak. Mimpi yang aku harapkan menjadi kenyataan. Ah! Bukankah orang mati tidak bisa hidup lagi. Begitu konyol pikiranku waktu itu. Tapi disisi lain, aku mengingat satu hal. Ibu menyuruhku untuk membawa pulang Kakakku. Aku berpikir apa maksud perkataan Ibu dalam mimpiku itu. Mimpi yang bahkan tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Aku terbangun dalam kondisi tanganku gemetar. Nafasku terengah-engah memikirkan maksud mimpiku itu. Mencoba berpikir jernih, mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanyalah mimpi. Tapi seketika aku bimbang, mencari kepastian justru kebimbangan melandaku dengan hebat. Aku memikirkan mimpi semalaman.

***

“Pagi suster,” sapaku ketika melihat perawat itu sedang bersama Kakakku di taman rumah sakit jiwa itu.

“Iya selamat pagi, Mbak,” balasnya.

“Bagaimana kondisinya hari ini?”

“Seperti yang Mbak lihat, syukurlah dia sudah lebih baik.”

Perasaan yang amat lega menghampiriku ketika melihat kondisi Kakak sudah membaik sejak penuturan perawat itu kemarin. Tujuanku mengunjungi Kakak hari ini bukan hanya ingin membawakannya kue labu saja. Aku sudah membulatkan tekad akan meminta izin kepada pihak rumah sakit untuk membawanya pulang ke rumah. Ya, aneh dan konyol memang. Aku, mempercayai mimpi semalam.

“Apakah benar sesulit itu mendapatkan izin, sus?” tanyaku.

“Iya Mbak, karena ketika pasien berada di luar, itu akan menambah tanggung jawab kami sebagai perawat.”

“Hanya sebentar saja, sus. Saya mohon dengan amat sangat,” pintaku, “Saya janji ini tidak akan lama. Saya hanya berniat memperlihatkannya kenangan-kenangan kami saja.” Lanjutku.

“Baiklah, akan saya usahakan, Mbak.”

***

Pagi itu akhirnya mobil pasien rumah sakit jiwa berangkat menuju rumah kami. Dengan didampingi tiga orang perawat beserta supir. Dua perawat laki-laki dan seorang perawat perempuan yang biasa merawat Kakakku. Mereka dengan pakaian seragam biru muda menemani perjalanan kami. Bersyukur bahwa Kakakku tidak mengerang atau tidak mengamuk ketika akan dibawa, dia seperti manut saja ketika di gandeng menuju mobil. Tidak bertanya, tidak berkata apa-apa. Hanya menampilkan ekspresi kosong dengan ranting selalu berada dalam genggamannya.

Bahkan ketika sampai di depan rumah pun dia tidak masih saja patuh. Melangkah dengan tenang sambil terus di gandeng oleh perawat-perawat itu. Awalnya aku berpikir niatku ini akan berhasil, sampai akhirnya semuanya gagal.

“Tidaaak…! Pergi…! Tidaaak…! Hahaha….” teriak Kakakku ketika kita baru saja sampai di pintu. Dia mengamuk. Mengerang dan berusaha melawan para perawat itu.

Perawat-perawat dengan sigap mengambil tindakan. Mengikat tangan dan kaki Kakakku dengan tali yang mereka sudah siapkan. Segera dengan secepatnya mereka membawa kembali Kakakku.

Aku yang menyaksikan kejadian itu amat menyesalinya. Betapa bodohnya aku sehingga mempercayai mimpi semu. Betapa putus asanya aku sehingga menuruti perkataan Ibuku yang hanya hadir lewat mimpi.

***

“Sayang, bawa Kakakmu pulang…bawa dia bersamamu. Dia amat menderita di sana. Ingatkan dia akan kenangan-kenangan kita,”

“Ibu? Ibu? Aku mendengar suara Ibu. Ibu dimana? Kenapa gelap sekali?”

“Bawa Syifa pulang, sayang. Sembuhkan Kakakmu.”

“Ibu? Ibu dimana? Aku tidak bisa melakukannya. Ibuu…!”

“Bawa Syifa pulang, sayang. Sembuhkan Kakakmu.”

“Ibuu..!” teriakku seketika terbangun.

Lagi-lagi mimpi yang sama kembali muncul malam itu. Aku terbangun dengan keringat bercucuran didahiku. Aku gemetar dan nafasku terengah-engah, sama seperti kemarin. Apa maksud semua ini?. Kenapa mimpi yang tidak bisa aku wujudkan terus mendatangiku?. Aku berpikir keras malam itu. Mencoba menjernihkan pikiran. Aku bangun dari tempat tidur, lalu mondar-mandir sambil memikirkan apa maksud dibalik semua mimpi itu. Mungkin ada sesuatu yang berusaha Ibu sampaikan kepadaku melalui mimpi.

***

Keesokan harinya aku kembali mengunjungi Kakak. Seperti biasa, aku bertemu dengan perawat perempuan yang biasa merawat Syifa.

“Apa kemarin Kakak saya baik-baik aja, sus?” tanyaku.

“Iya, Mbak. Syukur kejadian kemarin tidak berlansung lama. Dia kembali tenang ketika kami dalam perjalanan,” jawabnya, “Hal itu terjadi mungkin karena dia merasa tidak nyaman berada di lingkungan asing. Lingkungan yang tidak biasa dia lihat,” sambungnya.

“Tapi rumah itu ‘kan tempat tinggal kami dulu, sus,” tukasku.

“Memang, Mbak. Tetapi bisa jadi ketika dia dibawa kembali ke hal-hal di masa lalu yang membuatnya sedih, maka kemungkinan besar kejadian kemarin bisa saja terjadi.”

“Tapi, Mbak. Saya mohon untuk sekali lagi mengizinkan dia supaya dibawa ke rumah kami,” ujarku, “Kali ini, adalah kali terakhir saya meminta hal ini, sus. Tolong izinkan saya, sus. Saya mohon,” pintaku sambil menangis dihadapan perawat itu.

Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba menangis. Air itu dengan sendirinya keluar dari mataku. Saat itu aku hanya berharap bahwa aku akan diizinkan membawanya pulang, sekali lagi. Dan setelahnya, apapun yang terjadi aku tidak akan meminta hal ini lagi.

***

Rupanya Tuhan masih memberiku kesempatan. Setelah aku memohon-mohon untuk diizinkan, akhirnya Kakakku dibawa kembali lagi ke rumah kami. Namun para perawat yang mendampingi kami berpesan bahwa ini kali terakhir aku diizinkan. Mereka adalah perawat yang sama yang mendampingi Kakakku kemarin.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku tiada henti berdo’a semoga hari ini hal baik terjadi. Walaupun dalam hati kecilku merasa bahwa hal ini mustahil untuk diharapkan, tetapi aku meyakinkan diri. Selama masih ada harapan, sekecil apapun itu, aku akan memperjuangkannya.

***

Begitu tiba di depan rumah dan melangkah perlahan hingga sampai di depan pintu, aku merasa tenang sebab Kakakku tetap diam dan menurut saja ketika diajak masuk. Tidak ada suara teriakan ataupun tindakan penolakan darinya.

Aku memutuskan untuk mengajaknya lansung ke kamar Ibu. Dia menurut saja ketika perawat itu menggandeng tangannya. Sampai akhirnya aku menceritakan tentang kejadian yang selama ini berbulan-bulan aku selidiki. Menceritakan kronologis kematian bidadari kami. Bahkan semua kenangan yang aku miliki bersama Kakak dan Ibu aku ceritakan kembali.

Dia hanya diam, menatap lantai dengan tatapan kosong. Butiran hangat itu kembali menetes dari pelupuk mataku. Aku merasa ini perbuatan sia-sia. Namun segera aku menghapusnya.

Lalu seketika aku teringat akan baju-baju peninggalan Ibu. Baju-baju yang masih simpan rapi dalam lemari pakaiannya. Aku mengambil beberapa potong baju yang menurutku sering Ibu kenakan dulu. Aku juga mengambil beberapa potong baju milik Ibu yang dulu sempat aku jahitkan. Aku mengeluarkannya dari dalam lemari dan menciumnya.

Lalu aku bawa ke hadapan Syifa. Meletakkannya dipangkuan Syifa sambil menceritakan bagaimana sosok Ibu. Aku mengusap lembut kepala Kakak sambil menangis menceritakan kehidupan bahagia kami dulu. Namun Syifa hanya diam mendengarkan, menatap baju-baju yang berada dipangkuannya.

Tapi tiba-tiba dia menoleh ke arahku dengan kondisi matanya berkaca-kaca. Aku terkejut bukan main. Tapi itu hanya berlansung beberapa detik saja, sebelum kemudian dia kembali menunduk, menatap baju-baju itu dengan tatapan kosong. Perawat itu tampaknya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya duduk disampingnya.

Aku menunduk, menelungkupkan wajahku dengan kedua tanganku. Menangis tersedu-sedu memikirkan apa yang sudah aku lakukan?. Tidak peduli seberapa keras usahaku, hasilnya akan selalu sama. Namun tidak disangka ketika aku merasa hampir menyerah seperti itu, suara lembut memanggilku,

“Syila…adikku.”

***

About The Author