Image by Edvard Munch
Image by Edvard Munch

“Dam! Tunggu, kau serius mau pergi?”

Lelaki berjaket merah itu terburu memasukkan dua-tiga bukunya dan tablet di meja ke dalam tas ransel. Aku yang di sofa segera bangkit duduk, menurunkan android dari pandangan. Tangan si laki-laki masih tak berhenti memasukkan barang-barang penting lainnya, mengacuhkanku. Aku melempar botol minuman kosong ke arahnya, ia gesit menghindar. Menatapku galak.

“Apa!”

“Kau serius mau pergi?” tanyaku lagi.

“Apa aku kelihatan bercanda sekarang?”

Adam kembali sibuk menoleh kesana-kemari dengan cepat, nada bicaranya kesal dan tak sabaran. Aku diam sejenak, mengambil kesimpulan. Tentu dia tidak sedang bercanda.

“Tapi, kenapa?” aku sama sekali tidak mengerti jalan pikirannya. Mengapa dia mau pergi, sedangkan dia bisa dapat apa saja dari Paman? “Sepertinya kehidupan kampus sudah menggeser otakmu, Dam. Kau perlu apa, biar kutelepon Paman—hei!”

Kali ini Adam yang melempar bantal sofa ke wajahku, berlari mendekat, dan mencengkram bahuku.

“Sampai kau menelpon Paman, jangan anggap kau pernah mengenalku sebelumnya. Aku tidak main-main, Sarah,” ancamnya serius.

“Oke, oke,” aku mematikan Android di tangan, menelan ludah. Cari aman. “Setidaknya beritahu aku alasannya. Paman memberikan semua yang kita mau! Android baru, hiasan kamar, TV layar lebar, Wifi, PS, bahkan baru kemarin lusa kau minta mobil! Hei, kau sadar tidak?”

“Baik. Sekarang aku tanya, apa kita diberi kebebasan, Sarah?” Adam masih sibuk mencari barangnya di sekitar sofa.

Aku mengerutkan alis, “aku tidak mengerti maksudmu.”

“Sarah, perusahaan yang Ayah bangun dari kecil, sekarang Paman pegang semuanya. Dari bawah tanah, sampai lantai lima belas, lantai paling atas. Menurutmu, kenapa Paman, adik Ayah, mau repot-repot mengurus kita? Sedangkan semua keluarga dari pihak Ayah bahkan tidak ada yang datang di hari Ayah dan Ibu dikubur! Paman hanya mengincar perusahaan Ayah karena kita tidak bisa mengurusnya. Dia memberikan semua yang kita mau agar kita terlena dan tidak menjadi ancaman baginya!”

Aku melongo mendengar kalimat panjang Adam. “Aku—aku tidak tahu harus bilang apa…”

“Apa kau pernah memikirkan hal ini sebelumnya? Kau sudah lulus SMA, gunakan otakmu. Jangan main gadget terus. Berapa nilai rapotmu kemarin? Memuaskan? Jangan kau pikir bisa berbuat sesukamu dengan uang,” Adam menutup tas ransel, menyampirkannya di bahu. Lantas memandangku. “Seharusnya kita yang pegang perusahaan itu. Ini amanah dari Ayah, Sarah. Amanah! Aku bahkan ragu kau paham arti amanah atau tidak.”

Aku masih diam mencerna kalimatnya, sedikit kesal. Aku tahu apa itu amanah!

“Aku bertanya-tanya apa kau bakal ikut denganku atau tidak setelah mendengar bahwa kecelakaan Ayah dan Ibu itu direncanakan. Menurutmu oleh siapa?” Adam berjalan menuju pintu, membelakangiku yang terkejut setengah mati mendengar kalimatnya. Selangkah dari pintu, lalu ia berbalik sejenak, “satu hal lagi. Kapan kau akan pakai kerudung…. Dek?”

Adam lalu hilang di balik pintu, menyisakanku sendiri dengan sejuta pertanyaan di kepala. Sedikit tersentak mendengarnya memanggilku “Dek—Adek”. Aku melirik meja, ia ternyata meninggalkan secarik kertas di sana. Aku membaca tulisan latin yang tertera. Malam 17 Agustus ini, aku bersumpah akan pergi untuk kembali mengambil alih perusahaan Ayah, merebut kebebasanku kembali. Tunggu dan lihat aku. Sampai kapan kau akan diperbudak dengan kesenangan bodohmu, Sarah?